Ia fans berat Chelsea. Meskipun perempuan, plus ustadzah dan aktivis, ia aktif mengikuti perkembangan tim sepakbola tercinta. Juga perkembangan klub-klub lain.
Namanya Ninin Karlina. Ia, seperti cerita saya di artikel sebelumnya, mengalami perubahan yang cukup serius. Awalnya, ia adalah aktivis Islam konservatif. Hobinya menyerang kepercayaan agama lain. Aktif di komunitas itu. Sejak SMA. Ketika kuliah, ia pilih jurusan ushuludin. Supaya makin pandai menyalahkan agama lain dan membenarkan agama sendiri.
Apakah ia senang dengan hal itu? Awalnya iya. Lama-lama jenuh. Bukan jenuh karena rutinitas, tapi jenuh karena merasa gelisah. Hidupnya tidak tenang. Beragama kok isinya menyalahkan? Beragama kok isinya menghakimi?
Sekitar tahun 2016, ia ikut sebuah kegiatan yang digelar oleh Peace Generation. Ia menemukan hal lain. Menemukan Islam yang damai. Yang teduh. Yang tidak mau menang sendiri. Yang tidak menyalahkan orang lain. Islam yang nyaman di hatinya.
Sejak kecil ia memang sudah rajin membaca. Entah membaca buku maupun membaca realita. Maka ia tak pernah berhenti belajar. Termasuk di masa-masa itu. Ia terus mencari. Sambil bertanya, jangan-jangan apa yang selama ini ia lakukan itu salah.
Hatinya berlabuh pada Peace Generation. Rupanya Islam yang damai itu lebih membuat hatinya tentram.
Iapun memulai dakwah yang baru. Tahun 2018, bersama Peace Gen ia menjadi fasilitator Boardgame for Peace 2.0, sebuah kegiatan yang mengajak anak-anak muda di Solo untuk menjadi pribadi yang inklusif dan toleran.
Sebagai ustadzah, Ninin Karlina memiliki banyak panggung pengajian. Setiap pengajian ia manfaatkan sebagai momen menyebar pesan-pesan inklusivisme dan toleransi.
Pada tahun 2019, ia dipercaya sebagai Direktur Peace Generation Solo. Ia juga mengikuti berbagai kegiatan yang memperkuat toleransi dan perdamaian. Ia mulai menyambangi tokoh-tokoh kelompok minoritas seperti Syiah, Ahmadiyah, dan lain-lain di Solo. Menjalankan berbagai program kolaborasi.
Dalam hal akademik, ia aktif di Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pusat studi tersebut dikenal sebagai pusat studi yang serius mengkampanyekan Islam toleran dan damai.
Selain menjalin hubungan dengan aktivis dan tokoh lintas iman, ia juga aktif turun di berbagai kegiatan kebencanaan. Bersama dengan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PP Muhammadiyah, ia mendampingi psikologi korban bencana di berbagai daerah.
Sayang, sekali lagi, pilihan untuk menjadi aktivis dan dai yang menyerukan toleransi dan perdamaian itu harus dibayar mahal. Dalam sebuah artikel, Ninin Karlina menulis:
“Perjalanan mengajarkan perdamaian dan Islam yang rahmah memang tak selalu berjalan mulus sesuai harapan. Ada kelompok yang terus menyerang dengan lantang berteriak di banyak grup WhatsApp dan medsos lainnya. Mereka menyebut saya sebagai corong kafir Barat, si gender keblinger yang pemikiran dan gerakannya harus dicegah. Bahkan ketika saya mencoba mengajak berdiskusi dengan baik tapi justru muncul kata-kata `lakum dinukum waliyadin`. Secara tidak langsung mereka mengatakan saya murtad dan perempuan penganut feminis Barat.”
Namun, ia tak luruh. Ia mampu membuktikan ke orang-orang di sekitar bahwa ia tak gentar menghadapi semua cercaan itu. Berkat kerja kerasnya di dunia perdamaian, ia diganjar dengan berbagai penghargaan. Antara lain Agent of Peace of The Year tahun 2019 dan pemenang Audisi Talent Iklan Layanan Masyarakat untuk Pusat Pendidikan Karakter Kemendikbud tahun 2021.
Ia juga menjadi peserta International Visitor Leadership Program (IVLP): Empowering Muslim Women as Peacemakers and Agents of Change tahun 2021. Program tersebut berisi semacam pertukaran aktivis Indonesia dengan Amerika.
Di pesantren, ia memberikan contoh konkret kepada santri-santrinya. Ia berikan contoh bagaimana ia memberi ceramah di berbagai daerah. Di NTT yang 100% non muslim, di Bali yang 90% hindu, dan di Pamekasan yang mayoritas NU sementara dia Muhammadiyah, dan masih banyak lagi. Contoh-contoh itu lebih hidup dari sekedar teks-teks normatif.
Ia juga menjadi aktor utama dalam sebuah film dokumenter karya USAID Indonesia berjudul Breaking Down the Wall of Prejudice.
Selain pengajian dan pembelajaran formal di kelas, puluhan training dan pelatihan juga ia hadiri. Ia datang untuk memberikan sentuhan pesan perdamaian. Meski arus konservatisme menguat, ia tetap berusaha mendorong ke arah sebaliknya. Karena ia yakin, perdamaian itu harus diciptakan dan disebarkan.
*)Artikel ini merupakan hasil kerjasama dari IBTimes dengan INFID