Nurcholish Madjid, atau yang masyhur dikenal dengan panggilan Cak Nur ini lahir di Mojoanyar Jombang (Jawa Timur), pada 17 Maret 1939 M. Ia lahir dari sebuah keluarga yang kental dengan kultur kepesantrenan. Ayahnya bernama Abdul Madjid dan ibunya bernama Fathonah. Ayah Cak Nur ini juga merupakan kyai tamatan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, yang didirikan oleh Hadratus Syaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari (Founding Father of Nahdlatul Ulama).
Sedangkan ibunya adalah murid Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan merupakan anak seorang aktivis Serikat Dagang Islam (SDI) di Kediri. Menginjak usia 66 tahun, Cak Nur menutup usia di RS Pondok Indah Jakarta, pada hari Senin 24 Rajab 1426 Hijriyah pukul 14:05 WIB.
Kecerdasan Nurcholish Madjid
Kecerdasan dan kepintaran Cak Nur telah nampak sedari kecil. Ia mengenyam pendidikan sekolahnya di Sekolah Rakyat (SR), Madrasah Wathaniyah, Pesantren Darul Ulum Jombang, hingga Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo. Cak Nur kuliah tingkat sarjana di IAIN Syarif Hidayatullah dengan jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam dan berakhir di Universitas Chicago, Amerika Serikat, dengan predikat summa cum laude sebagai Doktor Filsafat.
Di tengah padatnya aktifitas, Nurcholish Majid juga banyak menorehkan karya-karya baik melalui media cetak, penerbitan buku, makalah, ataupun jurnal ilmiah. Buku yang telah diterbitkannya kurang lebih ada sekitar 12 buku berbahasa indonesa dan 3 buku berbahasa inggris. Karyanya pun tak lepas dari concern pada konteks keislaman, keindonesian dan kemodernan. Trilogi tersebut menjadi tema besar dalam pemikiran Cak Nur.
Nurcholish Madjid merupakan tokoh besar pembaruan pemikiran Islam yang tak lepas dari tiga tema besar, keislaman, keindonesia, dan kemodernan. Ketiga tema tersebut nampaknya dipengaruhi oleh teori transformasi sosial yang dilahirkan oleh Max Weber, yaitu Protestan’s Ethic. Ia adalah sebuah teori yang lahir sebagai upaya solutif teruntuk masyarakat Eropa dalam memasuki sekat-sekat modernitas. Dalam konteks keindonesiaan, Cak Nur berupaya mengadopsi epistemik-teoretik yang terinspirasi oleh trilogi Max Weber ‘Etika-Protestan-kemodernan-Eropa’. Namun, Islam lah yang menjadi basis pemikirannya. Dengan demikian, Nurcholish Madjid mencoba menghadirkan Islam sebagai basis dalam menaklukan atau beradaptasi kritis terhadap fenomena kemodernan.
Apa yang Salah dengan Modernisasi?
Jika mendengar istilah modern, modernitas, atau modernisasi sedikit-banyak dari kita akan menoleh ke Barat. Ya, orang-orang Barat itu yang menjadi kiblat kemajuan dan kecanggihan zaman. Bahkan secara ekstrim modernisasi yang dianggap sebagai sekulerisasi ataupun westernisasi. Padahal modernisasi dalam paradigma Al-Qur’an tidaklah demikian. Malahan suatu keharusan dan perintah Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagaimana Nurcholish Madjid berpandangan bahwa, “Modernisasi adalah suatu keharusan, malahan kewajiban mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa”. Secara mendalam, Cak Nur menafsirkan istilah modernisasi dan menjauhkan dari istilah sekulerisasi seperti di Barat yang memberikan jurang pemisah antara negara dengan agama.
Pemikiran yang begitu mendobrak tak lepas dari pemikran yang mendasarkan pada kitab suci Al-Qur’an. Sebagaimana ucap Cak Nur,”karena adanya perintah untuk mempergunakan akal pikiran (rasio) itu, maka Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan yang membuta terhadap tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya (QS 2:170 dan QS 43:22-25).”
Dengan demikian, maka modernisasi adalah berupa rationalisation dalam rangka untuk mengeksplor daya guna thinking and working semaksimal mungkin. Pada akhirnya, ia akan juga berujung untuk memperoleh kebahagiaan manusia itu sendiri di muka bumi ini.
Namun, boleh jadi pemikiran yang sekarang ini menjadi kolot dan tidak berguna pada masa yang akan mendatang. Oleh karena itulah kebenaran itu bersifat relatif dan yang haq adalah kebenaran Ilahi. Dalam hukum alam, sebenarnya sunnatullah telah mengejawantahkan dirinya, namun setiap individu ataupun sekelompok masyarakat belum menyadarinya. Maka untuk menjadi insan modern, kuncinya adalah mengerti hukum alam yang sedang berlaku (titah Tuhan)
Teologi Inklusif: Islam adalah Rahmat lil ‘Aalamiin
Di sisi lain, Nurcholish madjid menawarkan teologi inklusif sebagai upaya solutif untuk memasuki era kemordernan yang penuh dengan tantangan. Teologi eksklusif yang melekat di hati masyarakat muslim kala itu, Cak Nur menilai telah mengalami kejumudan, sehingga harus di ganti dengan teologi yang lebih segar dan lebih Islami.
Paras Islam yang sesungguhnya ialah yang bersifat terbuka dan rahmatan lil ‘alamin. Tidak ada manusia pun di dunia ini yang berhak mengklaim kebenaran yang bersifat insani menjadi suatu kebenaran yang mutlak atau bersandingan dengan kebenaran Tuhan. Apalagi Nabi Muhammad saw., sang pembawa kebenaran Islam juga pernah mengisbatkan, bahwasannya kebenaran itu seperti benda milik orang Islam yang hilang. Maka dari itu harus mengambilnya bagi siapa saja yang menjumpainya dan bahwa kebenaran itu harus dicari di mana pun dan kapan pun, sekalipun harus ‘sampai ke negeri Cina’.
Maka dari itu hendaknya setiap orang yang mengaku beragama Islam di muka bumi ini harus senantiasa berpikiran modern, maju, progresif, dan selalu berusaha memperbaiki diri sendiri (ihsan). Begitu pula seorang pemimpin, harus senantiasa sukarela dan sabar dalam memperbaiki masyaraktnya yang belum berpikiran modern menjadi sebuah masyarakat yang berpikiran modernis ala Islam. Nah dengan begitu, lengkap sudah titahan Tuhan yaitu Islam, iman, dan ihsan dalam aspek kehidupan ini.