Berita duka kembali datang. Agus Edy Santoso atau akrab dipanggil Agus Lenon meninggal dunia di RS Harapan Kita Jakarta tanggal 10 Januari pukul 21.11 Wib. Ia merupakan aktivis dekade 80an, penulis produktif dan pelaku penerbitan progresif di Indonesia.
Max Lane, Indonesianis asal Australia dan penulis buku Unfinished Nations mengenang Agus sebagai kawan dalam “pengalaman politik” di Indonesia. Banyak kawan dan sejawat Agus mengungkapkan perasaan kehilangan mereka di media sosial. Mereka di antaranya mengenang almarhum sebagai sosok yang penuh energi dan semangat. Terutama dalam aksi-aksi protes menentang rezim otoriter Orde Baru dan mengawal demokrasi pasca tumbangnya kekuasaan Soeharto itu pada Mei 1998. Bagi banyak aktivis lebih junior, nama Agus dianggap senapas dengan perlawanan terhadap bentuk ketertindasan ekonomi-politik.
Perkongsian Progresif
Pria asal Situbondo, Jawa Timur ini dikenal luas juga sebagai aktor penerbitan progresif di Indonesia. Ia turut serta mengeditori, menerjemahkan, mengumpulkan dan sekaligus menerbitkan banyak pamflet, naskah, dokumen dan buku. Mulai dari menangani naskah edisi Bahasa Indonesia Marx for Beginners, Madilog Tan Malaka, buku Soe Hok Gie, bahkan pengedar buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Entah berapa banyak naskah kiri yang sudah ditangani Agus. Menurut Adhe, penulis Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja, bersama Buldan (Yayasan Bentang), Agus membentuk kongsi penerbit bernama Teplok Press dan menerbitkan Bumi Berantakan: Buku Pegangan untuk Revolusi Hitam yang Mengubah Wajah Dunia (2000) karya Frantz Fanon.
Masih berdasarkan catatan Adhe, Agus menggunakan nama penulis Prancis itu untuk mendirikan yayasan Frantz Fanon Foundation atau disingkat FFF, dan menerbitkan skripsi Soe Hok Gie yang diabaikan banyak penerbit besar saat itu, Di Bawah Lentera Merah. “Jauh sebelum ada Marjin Kiri, ada Teplok Press yang menggelorakan penerbitan naskah-naskah progresif. Malam ini mendapat kabar bahwa penggeraknya, Agus Lenon, meninggal dunia. Aktivis yang tidak kenal Lelah” ungkap Ronny Agustinus, pimpinan redaksi Marjin Kiri dalam unggahan di status facebook (10/1).
Agus Lenon dan Muhammadiyah
Belakangan, setelah banyak berkiprah dalam gerakan pro-demokrasi, Agus Lenon juga aktif sebagai salah satu pengurus lembaga zakat Muhammadiyah, LazisMu. Hilman Latif, ketuga Badan Pengurus Lazismu Pusat mengatakan, “bersama kami di LazisMu 4 tahun terakhir ini, mas Agus Edy Santoso sangat serius mendorong Lazismu memperhatikan kelompok-kelompok marjinal”. Syaefudin Simon, salah seorang sejawat dekat bahkan kaget mendengar Agus aktif di Muhammadiyah. Dalam tulisan belasungkawa, Syaefudin menyergah Agus dengan pertanyaan “lalu siapa yang kau kagumi di Indonesia ini Gus?”. Agus membalas, “Aku mengagumi AR Fakhrudin!”.
LazisMu adalah tempat terakhir persinggahan aktivisme Agus. Beberapa bulan sebelum dirawat di rumah sakit, Agus sempat mengadakan acara LazisMu di Ancol. Ia memegang posisi sebagai Direktur Kelembagaan dan HRD Lazismu Pusat. Lukman Hakiem, mengenang Agus sebagai “sahabat kiri yang Islami”. Lukman mengungkapkan, kendati Agus berlatar belakang sebagai aktivis, ia selalu punya sisi pembelaan pada urusan-urusan mustad’afin.
Dalam suatu waktu, melalui whatsapp, Agus menyuruh Lukman untuk tidak mengambil kembalian saat belanja di minimarket. “Uang kembalian belanjamu, jangan diambil. Donasikan untuk LazisMu”. Agus juga kerap mengabari Lukman perkembangan-perkembangan LazisMu. Suatu waktu misalnya Agus mengirimi Lukman foto Rumah Sakit Terapung Said Tuhuleley milik LazisMu.
Ide Islam Progresif
Peran penting lain Agus tiada lain adalah ketika ia mengumpulkan dan menerbitkan korespondensi Nurcholish Madjid dan Mohamad Roem. Kita tidak tahu, andai ia tidak terbersit menerbitkan surat-surat itu kala menginap di kantor HMI, bagaimana arus utama wacana Islam moderat di Indonesia akan bergulir.
Dengan izin Cak Nur, sapaan Nurcholish Madjid, terbitlah buku Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Buku itu diterbitkan oleh Djambatan tahun 2000 dengan tebal 198 halaman. Semua orang tahu, asal muasal korespondensi itu berawal dari perdebatan antara Amien Rais dan Mohamad Roem di majalah Panji Masyarakat (no.376/1982 dan no.386/1983) mengenai konsepsi “Negara Islam”.
Artinya, Agus punya satu episode penting menyebarkan perdebatan wacana Islam yang saat itu tengah mekar. Buku Tidak Ada Negara Islam menjadi salah satu bacaan populer saat itu. Banyak orang menganggap itu buku yang sangat penting, dan berhasil mengantarkan pembaca awam untuk memahami perdebatan soal negara Islam. Ada juga satu buku Cak Nur yang disunting oleh Agus, yakni Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan terbitan Mizan tahun 1987. Buku ini juga berasal dari makalah-makalah Cak Nur yang dikumpulkan Agus dan ditanganinya sendiri.
Aktivis yang terus dikenang
Agus sudah hidup sepanjang waktu sebagai aktivis senior yang disegani. Ia merupakan saksi tentang dua hal penting. Pertama, berkaitan dengan etos aktivisme dekade 70-80an. Kedua, bagaimana ia tidak terlalu jauh ditelan perubahan waktu. Ia merupakan saksi atas bagaimana aktivis hidup dengan cara “dari bawah” atau akar rumput. Ia hidup bersama petani dan buruh yang selama masa kekuasaan Orde Soeharto menjadi kelompok paling nestapa. Perampasan tanah, kriminalisasi dan pembungkaman menjadi momok sehari-hari yang membayangi kelas bawah. Agus adalah bagian dari aktivis yang hidup ketika konsep “gerakan rakyat” masih begitu solid melawan rezim otoriter.
Agus juga termasuk aktivis yang tidak keburu ditelan usia. Sebagai angkatan senior yang dikenal lintas gerakan dan organisasi, Agus tetap kritis terhadap pemerintahan yang korup dan berbasis konglomerat atau oligarki politik. Bahkan di pilpres terakhir, pandangan-pandangan kritis itu masih ditampakkan benderang. Ini agak berbeda dengan rekan-rekan seangkatannya yang pasca reformasi berhasil hidup “sukses” dan tidak banyak lagi bersinggungan dengan aktivisme publik.
Benar juga Nezar Patria, “Setiap kali mendengar para senior aktivis wafat, saya merasa ada yang hilang, semacam sentakan yang menyadarkan bahwa pada diri mereka ikut pergi sebuah sejarah—betapapun kecil sumbangannya dalam gemuruh harapan perubahan pada masa itu, dan bagasi pengalaman politik yang gaduh itu akan tenggelam bersama jasad mereka yang kembali ke pangkuan bumi.” Selamat jalan Agus Lenon.