Perspektif

Oligarki Milenial: Anak Muda Mental Kolonial

4 Mins read

Beri aku 10 pemuda, maka akan aku guncang kas negara!

Kalimat itu saya ambil dari lini masa yang berseliwuran di media sosial. Dengan gambar kartun 7 orang anak muda yang merepresentasikan anak-anak muda milenial yang menjadi Staf Khusus Presiden, meme itu menunjukkan sarkasme politik dengan membelokkan ungkapan terkenal dari Bung Karno, yaitu “Beri Aku 10 Pemuda, Maka Akan Aku Ubah Dunia!”.

Sarkasme ini merupakan kritik kepada anak-anak muda Milenial yang berada dalam pemerintahan Jokowi, tapi tindakan politiknya justru tidak mencerminkan spirit politik anak muda; lantang bersuara kebenaran, bersih dari korupsi, dan menawarkan ide-ide pembaharuan di tengah platform digital yang mengubah tatanan kehidupan dunia.

Sebaliknya, dua pemuda milenial ini memanfaatkan posisinya sebagai Staf Khusus Presiden untuk mendapatkan sumberdaya ekonomi yang itu berasal dari negara juga. Dua orang itu adalah Adamas Belva Syah Devara dan Andi Taufani Garuda.

Staf Khusus Milenial

Sejak awal, tidak sedikit yang mempertanyakan mengapa Jokowi mengangkat staf khusus milenial dalam pemerintahannya. Selain menghabiskan anggara negara, diangkatnya anak-anak muda itu dianggap sebagai upaya memperbaiki citra Jokowi kepada publik. Hal ini usai merebaknya kekecewaan karena ia memilih para menteri berdasarkan negosiasi partai politik sekaligus juga berusia tak muda. Satu-satunya yang relatif muda adalah Nadiem Makarim yang berusia 35 tahun menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Bagi Jokowi, alasan dirinya mengangkat 7 staf milenial itu adalah agar memberikan gagasan segar dan inovatif untuk dirinya. Dengan gagasan inilah setidaknya, bagi Jokowi, Indonesia bisa mencari cara baru mengejar ketertinggalan. Tidak kalah penting dari itu adalah diangkatnya ketujuh anak muda itu sebagai jembatan bagi Jokowi mengenal anak-anak muda dari pelbagai latarbelakang dan daerah (cnbcindonesia.com, 21 November 2019).

Alih-alih memberikan kontribusi, dalam setiap momentum atau peristiwa terkait dengan isu sosial dan politik, suara-suara anak muda ini hilang ditelan bumi. Dalam penanganan awal-awal Covid-19 misalnya, suara-suara mereka tidak terdengar.

Baca Juga  Ketika Ustadzah Ba’alawi Bangun Otoritas Keagamaan Baru di Ruang Publik

Meskipun bagi Ayu Kartika Dewi, posisi mereka sendiri sebenarnya sekadar memberikan saran saja kepada Presiden, yang tidak memiliki wewenang apapun untuk membuat kebijakan (kumparan.com, 1 April 2020).

Jika kehadiran mereka hanya sekadar untuk memberikan saran mengapa mereka bisa digaji perbulan sampai 51 juta per bulan? Sebuah angka yang sangat tinggi apabila dibandingkan oleh seorang Profesor di sebuah perguruan tinggi dengan kapasitas dan keilmuan yang dimilikinya.

Di sisi lain, presiden sendiri sudah memiliki Menteri dan para stafnya yang memiliki otoritas keilmuan di bidangnya masing-masing, yang memungkinkan untuk memberikan gagasan untuk membuat kebijakan yang tepat di masyarakat. Karena itu, sekadar memberikan saran di tengah kompleksitas persoalan kehidupan sosial dan politik di Indonesia, tidak bisa dipegang oleh anak-anak muda milenial ini yang dianggap representatif dalam gelombang digital.

Penyalahgunaan Jabatan

Lebih ironis lagi, di tengah pertanyaan kritis publik mengenai fungsi Staf Khusus Milenial ini, Belva dan Andi Taufani justru memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan mendapatkan proyek-proyek negara untuk menangani Covid-19.

Dalam akunnya di twitter (@AdamasBelva) mengaku bahwasanya proyek yang didapatkan oleh perusahannya melalui Skill Academy by Ruangguru untuk proyek kartu prakerja sebenarnya didapatkan sebelum ia menjabat sebagai Staf Khusus Presiden, yaitu pertengahan tahun 2019. Sementara ia diangkat sebagai staf khusus milenial pada bulan November 2019.

Namun, penjelasannya ini mengesampingkan posisi dirinya sebagai bagian dari sistem negara dan mendapatkan keuntungan melalui perusahaannya dari negara juga. Mau tidak mau, politik kepentingan memiliki peranan yang kuat dan tidak bisa dihindari. Apalagi, ia sendiri masih digaji oleh negara dengan pekerjaannya sebagai penasehat presiden yang bisa didengarkan dan tidak.

Sementara itu, Andy Taufani memanfaatkan wewenangnya sebagai Staf Khusus Milenial dengan menggunakan kop resmi Sekretariat Kabinet. Ia meminta kepada semua camat di Indonesia untuk mendukung edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri (APD) melawan wabah virus corona.

Baca Juga  Gus Mus, Doraemon, dan Haul Gus Dur

Seruan itu dilakukan untuk mendukung perusahaannya sendiri, yakni PT Amartha Mirko Fintek yang mendapatkan dana dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Tindakan ini tidak hanya melampaui wewenangnya yang sekadar sebagai penasehat presiden. Melainkan juga melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan kop resmi Sekretariat Kabinet RI yang diperuntukkan bagi perusahaannya sendiri.

Ya, mungkin niatnya baik agar pendidikan dan pendataan APD di pelbagai daerah bisa cepat terlaksana. Namun, menggunakan kekuasaan yang bukan wewenangnya sekaligus menggunakan dana negara di saat ia masih menjabat memunculkan kecurigaan besar terkait dengan politik kepentingan.

Oligarki Milenial

Jauh sebelumnya, baik Belva dan Andi sendiri kuliah S2 dibiayai oleh negara yang merupakan uang rakyat melalui skema beasiswa LPDP. Tidak tanggung-tanggung, mereka berdua kuliah di kampus top Amerika Serikat dengan biaya yang tentu saja tidak terbilang murah. Adamas Belva kuliah di Stanford University dan Andi Taufan lulusan dari Harvard University.

Saat kuliah S2 dibiayai oleh negara, bekerja staf khusus milenial digaji digaji negara, dan memiliki usaha juga melalui bantuan uang negara. Pertanyaannya, struktur apa yang memungkinkan anak-anak muda milenial bisa seperti ini? Di mana uang negara menjadi bagian penting untuk penghidupan dan perusahaan mereka. Sementara rakyat selalu dijadikan dalih untuk pemberdayaan yang sebenarnya jarang mereka sentuh.

Di sini, saya menyebutnya sebagai oligarki milenial. Di mana segelintir kekuasaan yang dipegang oleh lingkaran elit pemerintahan Jokowi membuat mereka melakukan semacam aplikasi peniruan; menggunakan kekuasaan dan jabatan untuk menguntungkan dirinya sekaligus perusahaan yang dimilikinya. Dengan alasan formalitas yang seolah-olah itu dibenarkan oleh normalitas hukum dan publik.

Memang, proyek yang diambil oligarki milenial tidaklah sebesar para pendahulunya yang sudah malang-melintang dalam setiap pemerintahan dan periode rejim kekuasaan. Namun, cara yang mereka gunakan sangatlah mirip dengan pola-pola pendahulunya.

Baca Juga  Jihad Mencegah Kekerasan Berbasis Gender Online

Sementara itu, Revolusi 4.0 yang seharusnya dijadikan basis keuntungan melalui digital ekonomi adalah produk kapitalisme semu. Ini karena, pada saat bersamaan, mereka tidak benar-benar mendapatkan keuntungan dari dagangannya melalui start-up yang dikonsumsi oleh pasar, melainkan menjadi pemburu rente melalui cara menghisap uang APBN. Tindakan ala oligarki milenial ini memiliki pola yang sama sama dengan predator politik sebelumnya.

Kapitalisme Semu

Karena itu, saya setuju dengan penjelasan Yogie Setya Permana (2020), PhD Researcher di KITLV. Dengan mengutip karya lama dari Yoshihara Kunio dengan judul “The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia“, yang diterjemahkan oleh LP3S pada tahun 1990 menjadi “Kapitalisme Semu di Asia Tenggara“.

Menurutnya, “Kapitalisme di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berbeda dengan kapitalisme di masyarakat Barat atau Jepang sendiri, yang menyimpang dari prinsip Laissez-Faire. Hal ini karena kuatnya kehadiran para pemburu rente dalam aktivitas ekonomi dibandingkan kehadiran para industrious yang mandiri. Pada konteks Indonesia sendiri, Kunio melakukan risetnya pada tahun 1980-an saat Orde Baru sedang mesem-mesemnya. ‘Entepreneurship’ kala itu dipahami sebagai cari-cari proyek APBN-APBD lewat ketebelece dari Cendana. Sehingga, kapitalisme Indonesia yang muncul saat itu adalah kapitalisme yang terpusat pada patron di Bina Graha”.

Bagi Yogie (2020), meskipun sudah berusia 30 tahun, buku tersebut masih memiliki relevansinya saat ini bahwasanya era disrupsi. Kapitalisme imitasi ini bisa menyesuaikan diri dengan langgam dan modus kekinian.

Bertolak dari sini, terma oligarki milenial yang saya tawarkan bukanlah sekadar bentuk nyinyiran. Melainkan kategori konseptual yang bisa didiskusikan lebih mendalam di tengah platform digital ekonomi dengan agensi baru dengan wajah anak-anak muda milenial, tetapi memiliki ambisi ekonomi bergaya kolonial.

Editor: Nabhan

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds