Apa beda gerakan reformasi 98 yang dipimpin Pak Amien Rais dengan aksi bela Islam 212 dibawah imam besar Habib Rizieq Syihab?
***
Senayan dikepung. Ribuan ban bekas dibakar. 12 mahasiswa mati ditembak. Jakarta rusuh. Korupsi kolusi dan nepotisme diberangus. Soeharto tumbang. Demokrasi terbuka dihadapan.
Baca Juga: Maaf ke Buya Syafii: Pasca Tsunami Politik Menerpa Muhammadiyah
Jutaan orang swafoto di Monas. Jalan-jalan kembali bersih sebab semua sampah kembali dipungut. Koperasi didirikan. mart 212 diresmikan. Mall dibangun. Jutaan saham disebarkan. Roti Maidah dipasarkan. Habib Rizieq mengungsi. Ahok dibui.
Oposisi mati gaya, demokrasi setengah tiang. Tidak ada tokoh yang menyatukan dan narasi yang menggerakkan. Berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi sebab inginnya semua di depan. Pak Amien sudah sepuh. Amien muda belum juga lahir. Oposisi jalan ditempat.
Apa yang diharapkan dari demo 212 berjilid? Seperti membunuh seekor nyamuk dengan pistol. Terlalu besar energi yang dikerahkan dengan tuntutan yang amat sedikit. Tidak ada perubahan yang dihasilkan selain keruh dan politik identitas yang kian mengkristal. Amien Rais tidak seperti itu.
***
Merawat demokrasi itu merawat oposisi, jangan harap ada clean dan good gouvernent jika kontrol dilemahkan. Ujar William Lidle. Oposisi kehilangan narasi. Dalam urusan ini pak Amien tiada duanya. Bukan hanya menyatukan tapi juga membuat gerakan reformasi tak hilang arah dan punya taji. Rezim Soeharto yang kokoh selama hampir 32 tahun rubuh.
Oposisi butuh simbol, tapi siapa? Bahkan saya lupa masih ada PKS, PAN dan Demokrat. Tiga partai yang sama sekali tanpa kabar usai Pilpres, boleh jadi karena memang tidak dihitung dan dilemahkan secara kelembagaan. Atau sudah berusaha mendekat tapi tidak di reken. Mungkin ini bagian dari cara ibu mega membalas dendamnya pada pak Amien dan SBY.
Dari PKS, PAN dan Demokrat kita mau sebut siapa yang pantas mewakili ? Apalagi yang bisa menyatukan ketiganya dalam sebuah bangunan oposisi. Oposisi sangat lemah dan tidak ada koordinasi. Ali Syariati berkata massa butuh obor yang menggerakkan agar gerakan tak salah arah. Tapi siapa ? Jika negara terlalu kuat sementara oposisi melemah dikawatirkan oposisi jalanan makin subur.
***
Lantas bagaimana dengan posisi FPI dan HTI. Sama saja setali tiga uang. Michael Grroskhy seorang peneliti politik senior memberi ilustrasi menarik tentang kelompok skeptis yang ikutan bermain politik praktis.
Di sebutnya bahwa kelompok ini suka mendukung membabi buta. Bahkan memberikan apapun yang ia punya termasuk harta dan jiwanya bahkan ada yang rela dibui karena dukungannya yang kelewat batas.
Kawanan skeptis ini kerap hanya menjadi alat. Sebab saat menang tidak ikutan panen, tapi jelas menderita saat kalah. Mereka adalah kawanan pejuang yang tak dihitung meski telah berderai-derai dan ditinggal begitu saja saat semua usai. Saya menyebutnya martir atau kawanan yang bangga mati atau dibui atau mengasingkan diri sebab membela tuan-nya.
Demokrasi tak jadi sehat sebab katup kontrol tak dihidupkan. Penguasa cari aman dengan alasan persatuan. Kepercayaan rakyat terhadap negara menyusut. Demokrasi setengah tiang. Tapi apa salahnya demikian. Bukankah membangun negara butuh stabilitas. Maka demokrasi menjadi taruhan dan nasip rakyat dipinggirkan. Bentrand Russel filsuf Inggris itu harus merevisi semua tesisnya tentang kekuasaan yang terus memusat pada satu titik hanya menghasilkan kegaduhan kolektif.
***
Oposisi butuh sosok Amien Rais yang cekatan, berani dan mampu membuat narasi politik yang bernas . tapi sayang beliau sudah sepuh sementara Amien Rais muda tak kunjung lahir. Oposisi kehilangan ruh. Sebab dihuni orang-orang tak bernyali.