Nuklir Dunia Islam I Dari kejauhan, mata birunya menatap tajam awan jamur yang berbalut dentuman besar itu. Sesekali bibirnya bergetar, namun raut wajahnya tidak menunjukkan emosi yang dramatis, seakan-akan dirinya membeku dalam ruang dan waktu.
Menebak-nebak perasaan antara ketakjuban, ketakutan, atau keduanya. Pada akhirnya, kita disuguhkan dengan satu kutipan dari Bhagavad Gita sebagai pandangan profetisnya tentang kuasa kematian, perenungan pengetahuan, pergulatan moral, sekaligus momentum yang merubah sejarah dunia.
Begitulah cuplikan dari adegan film terbaru besutan Christopher Nolan yang berjudul “Oppenheimer”. Film biopik ini mengisahkan rekam jejak bapak atom dunia Julius Robert Oppenheimer berdasarkan buku berjudul American Prometheus: the Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer.
Meskipun terdapat pro dan kontra, film berdurasi hampir tiga jam itu berhasil membawa atensi penonton masuk kedalam kehidupan sang pemeran utama beserta realitas sosial di sekelilingnya yang penuh dengan lika-liku itu.
Film ini secara garis besar menceritakan kisah dibalik proyek pengembangan bom atom yang oleh Presiden Truman dalam pidatonya di USS Augusta selepas pengeboman Hiroshima dianggap sebagai perjudian sekaligus pencapaian terbesar akal Saintifik, dimana ilmuwan, pengusaha, dan militer bekerja-sama dengan dana yang lumayan besar.
Oppenheimer beserta mereka yang terlibat secara persona berada di antara kepahlawanan dan kebiadaban, meskipun pada awalnya motivasi Oppenheimer dan timnya hanyalah untuk mempertahankan eksistensi barat dari ancaman senjata pemusnah massal yang kelak akan dibangun oleh Jerman. Dikarenakan ciptaan tersebut, sampai hari ini dan nanti, senjata nuklir masih dianggap sebagai alat yang paling efektif dalam perang urat syaraf maupun fisik.
Senjata Nuklir sebagai Pistol Dua Laras
Terlepas dari banyaknya manfaat yang dihasilkan oleh nuklir, namun saat menjadi senjata maka kemudharatan yang ditimbulkan jauh lebih besar dari kerahmatannya. Oleh karena itu, senjata ini diistilahkan sebagai pemusnah massal. Karena hasil akhir dari kehancuran yang ditimbulkannya berupa pemusnahan seluruh kehidupan dalam skala yang amat besar bahkan menurun hingga ke generasi- generasi berikutnya dari mereka yang selamat.
Soal radiasi memang tidak main-main, jangankan senjata nuklir yang memiliki daya ledak besar. Sekelas bom-bom berkekuatan sedang saja, seperti yang dijatuhkan di Irak, Laos, maupun Vietnam misalnya, dapat menyebabkan peningkatan leukimia, kecacatan genetis, dan kanker pada generasi setelahnya. Bahkan menurut banyak laporan jauh lebih besar daripada di kedua kota Jepang itu.
Itu baru soal ledakan, belum lagi jika terjadi kebocoran seperti tragedi Chernobyl pada dekade 1980, yang juga membuat banyak kecacatan genetis dan kanker. Bahkan area di sekitar reaktor itu harus dikosongkan, karena radiasinya yang masih aktif hingga hari ini. Seiring dengan konflik antara Ukraina dan Rusia, ada kekhawatiran radiasi dari Chernobyl semakin membesar apalagi jika reaktor itu dibombardir oleh salah satu pihak.
Perihal matinya ekologis juga dapat terjadi akibat uji coba senjata nuklir, hampir di semua tempat yang menjadi sasaran uji coba senjata Nuklir, maka yang terjadi setelahnya adalah kerusakan ekologis yang tidak dapat diperbaiki bahkan harus dikosongkan dan dijauhi.
***
Saya sempat mengunjungi Republik Kepulauan Marshall empat tahun lalu, yang salah satu wilayahnya bernama Bikini Atoll. Wilayah itu sempat menjadi area uji coba senjata nuklir, meskipun secara teoritis radiasi di wilayah itu tidak ada lagi ataupun masih dalam skala yang kecil. Namun kerusakan ekologis, menurut para warga lokalnya masih belum sepenuhnya pulih. Hingga sampai saat ini masih tergolong dalam pulau yang berbahaya untuk dikunjungi.
Wayne Prince mengistilahkan perang nuklir antara dua atau lebih negara sama saja seperti bunuh diri. Sebab ia berpotensi menciptakan kiamat lebih awal. Hulu ledak nuklir sebanding dengan pistol dua laras, yang mana satu mengarah ke musuh dan satu lagi mengarah ke pemegang senjata. Menembaknya berarti melakukan pembunuhan dan bunuh diri secara bersamaan.
Senjata Nuklir di Dunia Islam
Pada dasarnya, hanya lima negara besar saja yang dibenarkan memiliki hulu ledak nuklir yaitu Rusia, China, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Namun ada banyak negara yang membangkang terhadap konstruksi yang hegemonis ini seperti Pakistan, India, Korea Utara, maupun Iran dan ada pula yang mengembangkan senjata Nuklir dikarenakan mendapatkan dukungan dari salah satu lima negara (big five) seperti halnya Israel.
Berdasarkan data negara-negara yang memiliki hulu ledak nuklir terkini, hanya Pakistan saja yang dapat dikatakan sebagai negara Muslim yang masuk di dalam daftar tersebut. Pengembangan senjata Nuklir di Pakistan telah terjadi sejak tahun 1971 selepas kehilangan separuh teritorialnya yang kini menjadi Bangladesh.
Jika dahulu ada Iran yang sempat bersitegang dengan kekuatan barat sampai kemudian terjadilah serangkaian sabotase terhadap reaktor nuklirnya dan pembunuhan terhadap ilmuwannya. namun selepas perjanjian di bulan Juli, 2015 negara Mullah itu mulai melunak bahkan bersetuju membatasi proyek nuklirnya sembari membuka diri bagi tim internasional untuk mengecek reaktornya sebagai gantinya, sanksi internasional terhadap negara ini pun perlahan dicabut.
Lain Iran, maka lain pula Pakistan. Tidak seperti Korea Utara yang selalu beradu urat dengan kekuatan barat. Pakistan dengan kekuatan nuklirnya cenderung tidak menciptakan kontroversi apalagi ketegangan di peringkat kawasan seperti yang dilakukan Iran terhadap Arab Saudi dan Israel. Meskipun ada tensi dengan India, namun ini dapat terkendali melalui serangkaian hubungan diplomatis. Selain itu Pakistan pun tidak menutup diri dengan komunitas internasional termasuk forum antar negara Islam atau OKI maupun Non Blok yang menekankan perdamaian dunia.
Responsi Kelewatan terhadap Dunia Islam
Sejauh ini tidak ada satupun negara Islam yang menggunakan senjata nuklir untuk tujuan mencari ketegangan atau pun memusnahkan bangsa lain. Bahkan negara-negara Muslim yang memiliki cadangan Uranium terbesar seperti Kazakhstan, Tajikistan, Sudan, dan Nigeria memilih untuk menjadikan negaranya bebas senjata nuklir dan menggunakan Uranium untuk tujuan yang baik.
Namun respon kelewatan membuat seolah-olah pengembangan senjata nuklir bahkan nuklir itu sendiri oleh negara-negara Islam menjadi identik dengan hal-hal jahat. Bahkan temuan Uranium di negara Islam akan dipandang sebagai alarm.
Memang nalar antagonisme menjadi lumrah diglobalkan saat berhadapan dengan dunia Muslim, seolah-olah ketika senjata nuklir dikembangkan oleh mereka di bagian utara sudah pasti hasilnya menyelamatkan, sementara akan terjadi sebaliknya ketika dunia Muslim yang mengembangkannya.
Sanksi, invasi, dan demonisasi menjadi tiga prahara yang siap-siap akan dirasakan oleh negara-negara Islam yang mengembangkan senjata nuklir.
***
Dari segi demonisasi misalnya, jika berdasarkan kajian dari Malcolm M Craig tentang The “Islamic Bomb”: Perceptions of Middle Eastern Nuclear Proliferation, 1979–1989 ada upaya penggiringan opini seakan-akan semangat jihad akan dipakai dalam konteks pengembangan senjata nuklir sehingga memperbesar peluang jatuhnya teknologi itu ketangan yang salah.
Pakistan misalnya, dideskripsikan oleh banyak media sebagai satu-satunya negara yang mempunyai hulu ledak dan kelompok teroris bersamaan. Sehingga ada peluang fasilitas itu akan direbut oleh kelompok teroris yang kemudian digunakan untuk menghancurkan dunia .
Anggapan ini tentunya menyepelekan kemampuan Pakistan untuk menjaga keamanan negaranya sekaligus nalar kolektif umat Islam yang tidak akan bertindak segila itu.
Dari segi sanksi, Iran adalah contoh yang telah mengalami berbagai macam boikot. Dan invasi, tentu Irak menjadi contoh yang tragis, meskipun tragedi penggunaan senjata kimia terhadap warga Kurdi itu benar terjadi. Namun menganggap Irak memiliki banyak senjata pemusnah massal, merupakan hal yang juga keji karena selepas invasi tersebut ada banyak kerugian yang diderita oleh warga Irak. Apalagi telah banyak kajian dari akademisi, aktivis, maupun mantan tentara yang ikut menginvasi Irak kala itu yang menyatakan kekeliruan terhadap tuduhan ini.
Editor: Soleh