Tanggal 20 Januari 2020 menjadi petaka dunia. Saat virus Corona ini mencuat kepermukaan dan menelan banyak korban. Waktu itu, Badan Otoritas Kesehatan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, mengatakan tiga orang tewas setelah menderita pneumonia yang disebabkan virus tersebut, sebagaimana dilansir dari Asian Nikkei Review. Indonesia masih menilai virus itu dinilai lumrah dan biasa-biasa saja.
Hal ini terbukti, kesigapan dan respon cepat dalam antisipasi terhadap wabah virus Corona atau Covid-19 sangat lamban. Bahkan beredar di media daring sejumlah elit negeri merespon Covid-19 dengan nada kelakar bahkan terkesan nyiyir. Salah satunya Menteri Perhubungan Budi Karya mengatakan bahwa masyarakat Indonesia kebal dengan Corona karena orang Indonesia makan nasi kucing (23/3/20)
Pernyataan kontroversial dari menteri kesehatan (Menkes) terkait Covid-19 jauh dari seorang yang memiliki otoritas keilmuan di bidang kesehatan. Sungguh memalukan di tengah kepanikan publik bahkan dunia, alih alih Terawan Agus Putranto (Terawan) berempati kepada korban COVID-19. Justru ia memberi pernyataan kontroversial. Misalnya Terawan mengatakan difteri saja tidak takut apalagi corona, flu lebih berbahaya ketimbang Corona, Masker bagi orang sakit, dan mengomel kepada wartawan yang menggunakan masker.
Sebagai pejabat publik dan memiliki keahlian dalam bidang kesehatan pernyataan Terawan sungguh membingungkan khalayak. Bagaimana tidak, seorang Menkes bertitel Doktor dan ketua perhimpunan dokter spesialis Radiologi Indonesia 2014-sekarang dan World Chairman of World International Committee of Military Medicine (2014-2017), Deputy Chairman of World International Committee of Military Medicine (2017-2019) tetapi tidak memahami detail tentang penyebaran COVID-19, sehingga yang menggunakan masker saja dimarahin.
Terlepas dari pernyataan aneh kedua menteri itu, setelah wabah COVID-19 itu menyebar sangat cepat. Pemerintah pusat tampaknya serius merespon COVID-19 setelah beberapa orang terinfeksi dan positif mengidap penyakit Covid-19. Dengan dibentuknya satuan tugas percepatan virus Covid-19 adalah bukti akan ketanggapan pemerintah terkait Covid-19 ini. Meskipun lamban, tetapi sebagaimana falsafah orang Indonesia kebanyakan, lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali
Melawan COVID-19 tak hanya persoalan Negara, keterlibatan semua pihak menjadi penting untuk mengurangi penyebaran virus ini. Maka perlu diapresiasi Fatwa MUI, Surat Edaran PBNU dan PP Muhamamdiyah yang mengeluarkan maklumat dalam merespon COVID-19. Surat Edaran dari Kepala daerah, diliburkannya sekolah dan ditutupnya tempat–tempat keramaian adalah dalam rangka untuk membantu kebijakan pemerintah pusat.
Tetapi tak cukup dengan regulasi itu, jika masyarakat tidak tertib untuk diam di rumah, menghindari kerumunan.Regulasi hanyalah regulasi yang menguap begitu saja. Bahkan polisi membubarkan Kafe di wilayah Wiyung Surabaya baru-baru ini (22/3/20) itulah manusia Indonesia, ngeyel (susah diatur)Fatwa MUI, PBNU dan PP Muhammadiyah dipandang sebelah mata. Jika ini yang terjadi maka pencegahan penyebaran COVID-19 tidak akan efektif.
Bahkan banyak beredar dari Whatsapp Group (WAG) kematian itu sudah ketentuan Allah, Covid-19 itu adalah mahkluk Allah, kenapa harus ditakuti, sejatinya takut itu bukan kepada COVID-19 sebagai makhluk Allah, tetapi takutlah itu kepada Allah sebagai sang kholik. Pernyataan itu benar tetapi menyesatkan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Majelis Tablig Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fathurrahman Kamal yang mengatakan secara tegas dan lugas “Jauhilah teologi dungu Neo-Jabaraiyah yang menyerukan takutlah kepada Allah, bukan takut kepada Virus Corona” pernyataan yang sekilas benar namun ditunjukan untuk suatu kebatilan (qowlu haqin urida bihi al-bathil) sebab teologi ini sesat dalam meletakkan dalil dan keliru dalam memahami maknanya secara komprehensif, di samping fragmentatif dan miskin wawasan realitas serta buta maqoshid syariah. Dalam suasana seperti ini, umat hanya punya dua pegangan: Allah dan Rosul-Nya, melalui Fatwa Ulama Kredibel kemudian otoritas Negara/pemerintah melalui Gugus tugas Covid-19 para ahli kebencanaan, para dokter yang professional.saatnya kita mengakui otoritas ilmu wahu dan sains.”
Pernyataan Fathurrahman Kamal tentu merespon beragam kegelisahan umat dalam menanggapi Fatwa MUI, Surat Edaran PP Muhammadiyah dan PBNU di mana salah satu himbauannya adalah untuk mengganti sholat jumat dengan sholat dhuhur, sholat berjamaah di Masjid diganti dengan sholat berjamaah di rumah masing-masing. Pesan substansialnya adalah menghindari kerumunan di mana potensi menyebarnya COVID-19 itu sangat potensial berada dikerumunan itu.
Sadar atau tidak, suka atau tidak itulah mental masyarakat kita. Tentu kita masih ingat apa yang disampaikan oleh Mochtar Lubis (ML) mengenai enam sifat manusia Indonesia. ML menggambarkan secara utuh mengenai watak dan ciri khas manusia Indonesia, tentu sesuai dengan pengamatan dan analisis ML, bisa dibantah bahkan dikecam pernyataan ML jika bertolak belakang dengan ciri manusia Indonesia, diatara sifat dan watak manusia Indonesia
Pertama, ciri manusia Indonesia itu adalah munafik atau hipokrit, suka berpura-pura, suka menjilat dan bermental Asal bapak Senang (ABS) gejala ini tampaknya menjangkiti masyarakat Indonesia.
Kedua, segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, sering melempar kesalahan kepada orang lain, semata-mata untuk lari dari tanggungjawab.
Ketiga adalah berjiwa Feodal seringkali mengkritik itu dinilai tidak baik, tidak sopan, akhlak yang buruk, implikasinya adalah seoal-olah atasan atau pemimpin kebal dengan kritik, atasan selalu benar.
Keempat, manusia Indonesia itu percaya tahayul. Ciri keempat ini seolah menyatu dan menjadi urat nadi bagi masyarakat Indoensia, meskipun sudah sarjana, alumni perguruan tinggi yang kredible, tetapi berpikir mistik dan irrasional tidak bisa lepas dari karakter manusia Indonesia. Tidak heran, jika ilmu pengetahuan selalu menjadi subordinasi dari perilaku manusia Indonesia, seperti himbauan melawan COVID-19. Alasannya kematian itu Takdir Tuhan. Jika waktunya mati ya mati (Jawa: lek wes wayae mati ya mati).
Kelima, manusia Indonesia adalah artistik, berpikir dengan naluri, perasaan, tidak heran banyak cipta dan karya kesenian di Indoensia berserak diberbagai suku. Aneka kesenian dengan ciri khas suku Indonesia menjadi bukti akan sikap dan ciri manusia Indonesia yang artistik dan ciri yang
Keenam, manusia Indonesia itu memiliki watak yang lemah, karakternya kurang kuat, mudah menyerah dan tidak yakin dalam mempertahankan keyakinannya. Dan pada gilirannya, banyak yang melacurkan diri untuk meraih sesuatu yang diimpikan dan mengabaikan prinsip dasar sebagai manusia yang hanif
Tentu simbol atau pelabelan karakter manusia Indonesia yang diurai oleh ML bisa saja benar atau sebaliknya. Tetapi fakta empiris menggambarkan apa yang disampaikan oleh ML mendekati kebenaran.
Di abad informasi ini, sulit membuktikan yang ahli dengan yang bukan, masyarakat seringkali termakan isu hoax, mudah percaya berita tanpa melakukan cek and ricek, yanga awam tiba-tiba tampil menjadi ulama, dan ulama tersingkir karena tergusur oleh ulama media sosial. Maka jangan heran, manakala ada seruan dari ulama dalam hal ini MUI, PP Muhammadiyah dan PBNU untuk menghindari kerumunan dianggap angin lalu. Itulah faktanya, Indonesia kok dilawan.