Dakwah itu mengajak, dakwah itu bergembira. Itulah kesan yang ditangkap dari para jamaah Pak AR Fachrudin. Sufi yang memimpin Muhammadiyah itu telah memberi warna baru dalam sejarah Muhammadiyah. Muhammadiyah menjadi organisasi yang adem, ayem, sekaligus ngayomi, ngemong. Umat lain pun merasa teduh dalam naungan Muhammadiyah. Dalam kepemimpinan Pak AR Fachrudin, Muhammadiyah menjadi organisasi yang populer di kalangan akar rumput.
Pak AR sendiri adalah Kiai Kampung. Ia tak lelah bergerak dari kampung ke kampung. Dengan motor bututnya Pak AR bisa lebih fleksibel masuk ke gang-gang sempit di dusun-dusun. Dakwah Pak AR tulus, ia selalu menolak pemberian amplop, katanya: “Saya mendapat undangan dakwah ini karena Muhammadiyah, lalu mengapa saya harus dibayar? Kalau saya tidak di Muhammadiyah, belum tentu saya akan diundang seperti ini.“
Pak AR
Pak AR adalah ketua Muhammadiyah paling lama bahkan lebih lama dari K.H. Ahmad Dahlan. Dalam situasi kepemimpinan Soeharto atau rezim Orde Baru itulah, Pak AR menahkodai Muhammadiyah dengan sangat cerdas dan arif. Pak AR memahami betul karakter atau watak Soeharto.
Meski begitu, bukan berarti Pak AR adalah orang yang tidak bersikap sebagai pemimpin organisasi Muhammadiyah saat melihat Pak Harto kala itu. Pak AR justru memberi masukan dengan gaya orang Jawa.
Pak AR memahami Pak Harto sebagai orang Jawa, ia memberi masukan dengan halus. “Pak, tahun 1990, samangke kulo pun mundur le Pak, punopo jenengan mboten lengser lan digantos kader ingkang gantosaken sampean?” (Pak, tahun 90 nanti saya sudah selesai, lalu apa anda tidak mundur juga, digantikan kader anda?).
Selepas memberi masukan dari ruang tertutup itu, Pak AR tidak langsung mengatakan pembicaraan itu kepada pers sehingga Pak Harto pun tidak marah. Ini mengingatkan kita saat Pak Amin Rais mendapat informasi dari Habibie bahwa Pak Harto marah besar saat disinggung perkara Freeport menjelang tahun-tahun jatuhnya Pak Harto. Pak AR tahu, orang Jawa harus disinggung secara halus.
Seni politik Pak AR inilah yang membuatnya dekat dengan Pak Harto kala itu. Sehingga pernah saat Muhammadiyah menyatakan berkeinginan mendirikan kampus di Yogyakarta, Pak AR menyurati Pak Harto. Pak Harto melalui ajudannya memberikan amplop yang waktu itu cukup untuk membiayai pembangunan kampus UMY. Strategi high politic yang dimainkan Pak AR membuat Muhammadiyah tidak kehilangan posisinya sebagai organisasi dakwah yang terus berjuang dalam menegakkan amar maruf nahi munkar.
Politik Helm
Sewaktu Soeharto menerapkan asas tunggal pancasila sebagai asas organisasi masyarakat pada waktu itu, terjadi pertentangan yang cukup sengit. Ada kesan kuat seolah-olah Pak Harto memusuhi ormas Islam.
Pak AR yang memimpin Muhammadiyah waktu itu cukup kebingungan bagaimana menjelaskan sikap Muhammadiyah terhadap sikap Soeharto di waktu itu. Maklum, banya organisasi Islam di waktu itu yang kebingungan juga dengan sikap Soeharto. Bahkan dikabarkan santer bahwa banyak warga Muhammadiyah akan berpindah ke NU jika Muhamadiyah tidak menolak aturan dari pemerintah saat itu.
Pak AR yang bijak pun memberi penjelasan dengan sangat arif. Pak AR menerangkan bahwa: “apa yang dikehendaki oleh Pak Harto itu seperti politik helm. Jadi, ketika kita di jalan raya, kita diwajibkan memakai helm, ya kita memakai helm. Namun memakai helm tidak mengubah identitas dan siapa kita yang sesungguhnya.”
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-38 tahun 1968 di Yogyakarta, diputuskan yang menjadi ketua Muhamadiyah adalah Fakih Usman, meski yang terbanyak suaranya adalah Pak AR Fachrudin. Namun karena Fakih Usman meninggal, ia digantikan Pak AR Fachrudin dari (1968-1990).
Memimpin Itu Melayani
Pak AR memimpin Muhammadiyah dengan kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan. Pak AR berjuang betul dari tingkat bawah sampai puncak kepemimpinannya di Muhammadiyah. Wujud kesederhanaannya itu dipraktekkan dalam keseharian. Pak AR adalah penjual bensin yang memimpin ribuan umat islam di kala itu. Ia menolak dihadiahi mobil oleh Pak Harto. Sampai wafat beliau tidak memiliki rumah sendiri.
Sikapnya yang zuhud telah membawa Muhammadiyah menjadi besar pula. Pak AR memberi keteladanan bahwa memimpin itu melayani. Sikap itu menjadi laku keseharian Pak AR semenjak berjuang menjadi guru, menjadi aktifis pemuda muhammadiyah, hingga duduk di pucuk pimpinan Muhamadiyah.
Pak AR berdakwah ikhlas di Muhammadiyah. Beliau tidak tergiur godaan dan harta yang menjadi iming-iming di waktu itu. Kalau beliau berkenan ambil bagian sedikit saja, tentu tidak menjadi masalah, namun Pak AR memilih menolaknya. Pak AR tidak mengharapkan apapun selain dari keikhlasan dalam mendakwahkan Islam, mendakwahkan Muhammadiyah.
Keteladanan Pak AR
Pak AR Fachrudin pernah mengatakan : “Kyai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah bukan sekadar untuk memperbanyak sekolah dan perguruan tinggi, bukan pula sekadar untuk memperbanyak rumah sakit, rumah yatim dan balai pengobatan. Tetapi Kyai mendirikan Muhammadiyah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga sekurang-kurangnya manusia Indonesia dapat mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur berjalan menurut garis yang diridhoi Allah.”
Hingga usia senjanya, Pak AR tidak lelah untuk berdakwah dan memperjuangkan Islam dan Muhammadiyah. Ia masih sering berdatangan untuk mengisi pengajian-pengajian di desa-desa hingga kota. Pengajiannya ramai dikunjungi umat islam karena ceramahnya yang segar dan tidak kaku. Pak AR juga sering mewarnai ceramahnya dengan humor.
Pak AR telah memberikan contoh keteladanan yang baik kepada kita, bahwa memimpin adalah melayani. Kita tidak boleh lelah dalam memberikan dedikasi dan pengabdian kita sebaik-baiknya saat kita menjadi pemimpin. Pak AR telah memimpin Muhammadiyah dengan kesederhanaan, kejujuran dan dedikasi yang tinggi. Sikap tawadu’ dan zuhudnya membuat kita iri sekaligus takjub akan keteladanan hidupnya.
Editor: Nabhan