Perjumpaan Pertama dengan Pak Busyro Muqoddas
Kali pertama bicara langsung dengan Pak Busyro pada seminar temu alumni jelang muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah tahun 2014 di Jakarta.
Kala itu saya tanya padanya, bagaimana menghubungkan aktivisme pelajar dengan kasus korupsi dan kasus agraria. Pada tahun itu, proyek investasi pabrik semen, pembangunan bandara dan tol tengah gencar-gencarnya di Jawa.
Dan dalam kasus Yogyakarta, ada pembangunan bandara baru, hotel dan mall. Saya hanya ingin tahu apa saran Pak Busyro. Ia menjawab, “Masalahnya ada dua, hulu dan hilir.” Ia melanjutkan, “Sistem pergantian kekuasaan kita dibayangi politik uang dan balas jasa. Kemudian jabatan politik dianggap sarana ganti modal.”
Pak Busyro adalah Harapan Bagi Aktivis Muslim
Perjumpaan itu membekas. Berlalu bertahun-tahun kemudian. Hingga saya berjumpa lagi dengan Pak Busyro pada awal 2020. Ia memberi sambutan pada peresmian Kader Hijau Muhammadiyah Cabang Yogyakarta.
Almarhum Tommy Apriando, jurnalis dan periset untuk film Sexy Killers yang pada waktu itu jadi pembicara di peresmian,bilang ke saya, Pak Busyro adalah harapan bagi aktivis muslim. Terutama di Muhammadiyah.
Menurut Tommy karena Pak Busyro merupakan salah seorang pegiat antikorupsi yang sudah lama mengamati hubungan gerak-gerik praktik korupsi dan kejahatan lingkungan. Menurut Tommy, sudah sangat tepat Kader Hijau Muhammadiyah menimba ilmu dari Pak Busyro.
Roy Murtadho seorang aktivis Forum Nadhliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) yang juga jadi pembicara peresmian mengatakan hal serupa.
Mereka berdua menganggap figur seperti Pak Busyro jangan sampai hilang di Muhammadiyah. Organisasi keagamaan perlu tokoh yang berada di jalur berbeda. Perlu berbagi tugas. Ada yang mengawal ideologi persyarikatan. Ada yang mengawal isu kebangsaan. Dan ada yang berdiri untuk isu hak asasi manusia serta masa depan lingkungan hidup.
Sepak Terjang Pak Busyro
Pak Busyro lahir tanggal 17 Juli 1952 di Yogyakarta. Ia bukan orang “baru” untuk urusan pembelaan hak asasi manusia. Setidaknya dalam ingatan saya, ia pernah menangani kasus pembunuhan mahasiswa bernama Mozes Gatotkaca. Seorang aktivis yang terbunuh akibat serangan aparat tahun 1997.
Di lain waktu, ia pernah turut serta menyediakan bantuan hukum bagi pedagang pasar tradisional yang terancam renovasi pasar oleh Bupati di Wonosobo akhir 1990-an.
Ia juga pernah menangani kasus peradilan sesat yang melibatkan kongsi antara kepolisian, intelijen, dan militer. Ada banyak rekam kasus yang ditangani Pak Busyro.
Terakhir, ia dianggap mengusik pertautan rahasia antara kejahatan kuasa kapital dan konsekuensinya pada pembantaian lingkungan di Indonesia.
Kiprah Pak Busyro di Muhammadiyah
Di Muhammadiyah, ketika menyebut nama Pak Busyro, orang akan langsung ingat sepak terjangnya di komisi pemberantasan korupsi (KPK). Ia diam-diam dikagumi dan dibanggakan.
Pak Busyro dianggap sebagai representasi militansi kader Muhammadiyah yang mencegah pembajakan negara dan menjunjung kedaulatan masyarakat sipil. Tentu posisi Pak Busyro bukan hal baru dalam sejarah aktivisme di Muhammadiyah.
Mulai dari pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan yang menunjukkan bahwa Islam mewajibkan pengikutnya memproteksi hak-hak warga miskin dan orang-orang terlantar. Pada nama Muhammadiyah, melekat makna “pengikut Muhammad” yang juga berarti mewarisi sikap Nabi membela orang-orang yang tertindas.
Jauh di dasar kesadaran orang Muhammadiyah, mengamalkan ajaran Islam tidak terpisah dari tanggungjawab sosial yang ada di sekitar mereka.
KH. Ahmad Dahlan mengingatkan bahwa seorang muslim tak puas diri hanya sekedar menunaikan ibadah. Setiap pengikut Muhammad harus mengambil tanggungjawab mencegah terjadinya kemungkaran dan secara kreatif mewujudkan kebajikan.
Pak Busyro dalam hal ini adalah suatu contoh. Ia seorang muslim yang taat sekaligus pimpinan Muhammadiyah yang berwibawa. Baginya, menyerukan penguatan pemberantasan korupsi adalah amal Islam.
Selalu Aktif Memantau Mangamati Dinamika Pemberantasan Korupsi
Ketika Pak Busyro lepas tugas di komisi pemberantasan korupsi (KPK), ia masih intensif mengamati dinamika politik pemberantasan korupsi. Ia jelas khawatir korupsi masih dianggap sebagai pelumas pertumbuhan ekonomi dan politik.
Satu hal yang mungkin makin Pak Busyro yakini adalah bahwa korupsi niscaya tali temali dengan konsolidasi oligarki bisnis dan politik.
Konsekuensinya adalah terjadinya benturan antara kepentingan publik seluas-luasnya dan akumulasi modal segelintir konglomerat.
Apa yang menghubungkan antara pembelaan hak asasi manusia, kasus korupsi, dan kerusakan lingkungan bagi seorang aktivis antikorupsi dan pimpinan Muhammadiyah? Tidak lain adalah penegakan keadilan.
Bagi Pak Busyro, hukum dan politik harus berlandas keadilan. Ia sendiri meyakini, bahwa sebagai seorang muslim, ia harus yakin betapa tingginya posisi keadilan di atas praktik politik yang bersifat sementara dan dapat salah. Maka manusia dibekali hati nurani untuk menimbang, supaya tak salah ambil jalan. Tidak berat sebelah.
Pak Busyro Rajin Puasa Senin-Kamis
Suatu kali kami mampir sarapan di warung soto di Boyolali. Kami waktu itu sedang dalam perjalanan menemani Pak Busyro untuk suatu diskusi terbatas di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Ketika hendak menyeruput soto, saya tanyak Pak Busyro, “Bapak pesan apa? Kenapa pesanan belum datang?” Maksud saya, kalau pesanan belum datang, akan saya konfirmasi ke pramusaji. Ia menjawab, “Saya sedang tidak makan.” Seorang di antara kami memperjelas, “Pak Busyro ternyata puasa senin-kamis, mas.”
Pak Busyro mempersilakan kami makan. Tak perlu segan. Dan ia mulai bercerita tentang dua tiga potong materi yang nanti akan disampaikannya. Kami mendengar. Sesekali melempar tanya pada kami. Terutama apa judul disertasi kami.
Kemudian, ia memberi saran supaya kalau menulis disertasi, jangan ambil isu-isu yang tidak bermanfaat bagi banyak orang. Dia bilang, “Banyak urusan publik kita yang jarang dapat tempat di ruang akademik. Seolah-olah kampus berjarak dengan masalah manusia sehari-hari.” Sambil terkekeh dia bilang, “Jangan sampai kehidupan kampus cuma mengurus persoalan rangking.”
Ketika kami tiba di UMS, tuan rumah menghidangkan tengkleng Solo. Menu yang tak perlu diperdebatkan keistimewaannya. Supaya Pak Busyro senang tentunya. Beberapa dari kami yang menemani Pak Busyro saling pandang. “Ini makanan spesial. Tapi beliau tak bisa menikmati sekarang” batin saya.
Sebagian besar, mungkin semua jajaran pimpinan Muhammadiyah rutin berpuasa senin-kamis. Gaya hidup berpuasa itu sangatlah unik. Dalam konteks Pak Busyro, ia menganggapnya sebagai latihan untuk tak mudah goyah dan tergoda. “Kalau orang Islam itu mengamalkan prinsip puasa, tak akan ada korupsi. Karena orang hanya ambil yang mereka perlukan” katanya.
Teori Politik Rumah Kaca
Pada tahun 2011 Pak Busyro menerbitkan disertasinya menjadi buku berjudul Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Kasus Komando Jihad. Buku ini memantik pembicaraan di mana-mana. Karena buku itu menunjukkan dua premis penegakan hukum.
Pertama, hukum dan institusi peradilan dibentuk oleh sejarah politik. Kedua, dalam konteks Indonesia, rezim intelijen berpengaruh kuat pada penegakan hukum dan lembaga peradilan.
Artinya siapa yang berhasil mengendalikan rezim politik dan intelijen, maka kuasa atas peradilan dengan mudah bisa digenggam. Hingga sekarang, ia masih berpegang pada dua temuannya itu.
Dalam buku itu, Pak Busyro menjelaskan tentang peran intelijen sebagai instrumen pengendalian rezim politik. Beserta pengaruhnya pada demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil. Menurutnya, cara kerja kekuasaan mempertahankan posisi tidak lepas dari cara kerja intelijen.
Suatu rezim politik tidak sekedar memproduksi otoritas, hukum, dan aturan. Tapi juga memproduksi wacana yang menciptakan arena di mana kehidupan masyarakat sipil diawasi dan dikontrol.
Pada era kolonial Belanda, praktik intelijen negara dimaksudkan untuk mencegah kaum antikolonialisme mengkonsolidasikan kekuatannya. beliau menganalogikannya dengan politik rumah kaca.
Ia meminjam istilah ini dari fiksi terkenal tetralogi pulau buru berjudul Rumah Kaca karangan Pramoedya Ananta Toer. Meski fiksi, siapa pun tahu, bahwa novel Rumah Kaca merupakan riset arsip Pramoedya tentang agen dan lembaga intelijen pemerintah kolonial Belanda.
Teori politik rumah kaca Pak Busyro terhubung dengan berbagai riset yang dilakukan ilmuwan berbeda. Setidak-tidaknya, riset mengenai politik Islam pasca reformasi menunjukkan teori Pak Busyro sangat diperlukan.
Misalnya, buku otoritatif tentang politik Islam awal milenium berjudul Laskar Jihad yang ditulis Noorhaidi Hasan. Buku ini secara tak langsung memetakan peran intelijen, militer, dan polisi pada kebangkitan Islam militan.
Begitu pula dalam buku investigasi paling otoritatif dan bereputasi untuk perkembangan Islam jihadisme di Indonesia berjudul NII Sampai JI oleh Solahudin yang menunjukkan hubungan intelijen dan militan Darul Islam pasca eksekusi Kartosoewirdjo.
***
Tapi yang sesungguhnya teramat penting dari teori beliau bukan saja pada kegunaannya untuk studi peradilan sesat terduga teroris.
Secara mengejutkan relevansi teori politik rumah kaca Pak Busyro justru datang dari tempat yang tidak diduga. Dari variabel kajian politik yang justru sebelumnya sedikit disinggung, yaitu kondolidasi kekuasaan oligarki politik dan bisnis.
Praktik penangkapan dan kriminalisasi pada aktivis lingkungan, jurnalis independent, serta warga sipil, menunjukkan perluasan guna politik rumah kaca.
Artinya, ada transformasi agen dan fungsi baru rezim intelijen dalam kehidupan masyarakat sipil. Praktik mengawasi, membayang-bayangi, dan intimidasi kini tak lagi untuk isu terorisme.
Bahkan politik rumah kaca itu juga merangsek hingga pada ekspresi warga di media sosial. Dunia digital yang sebelumnya digadang-gadang jadi pilar demokrasi modern, nyatanya berubah jadi tempat paling efektif untuk mempolarisasi dan mengatur politik.
Lalu di mana benang antara oligarki politik dan bisnis pada cara kerja politik rumah kaca? Sebagiannya ada di kebangkitan konglomerasi energi fosil, infrastruktur, kekayaan hutan, dan perkebunan monokultur.
Satu dasawarsa yang lalu, politik rumah kaca masih dianggap hanya berlaku untuk memproteksi persaingan ideologi pada ranah abu-abu antara negara dan swasta.
Kini, politik rumah kaca bertugas mengamankan perhatian publik dari problem kejahatan lingkungan. Dan sesuatu yang agak ganjil adalah politik rumah kaca tak lagi dimainkan tunggal. Melainkan melibatkan pesohor media, kaum akademisi kampus, dan mantan aktivis.
Terlebih lagi, adalah kian mendalam dan meluasnya praktik politik rumah kaca pada psikologi elit sipil yang merasa menjadi bagian dari upaya mempertahankan kekuasaan.
Pak Busyro dan Pak Haedar adalah Tandem Muhammadiyah
Di persyarikatan, beliau adalah tandem bagi Pak Haedar, ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mereka berbeda langgam dan gaya.
Pak Haedar adalah ilmuwan di bidang sosiologi, penjaga gawang ideologi dan kreativitas amal Muhammadiyah. Sedangkan Pak Busyro berlatar akademisi dan praktisi hukum, penjaga napas Muhammadiyah untuk penegakan hak asasi manusia.
Perbedaan di antara keduanya dipertemukan oleh kesatuan kata-kata dan tindakan. Satu alasan mengapa Muhammadiyah masih punya stamina menapak abad kedua, tidak lain karena organisasi ini masih dijaga oleh pimpinan dengan kualitas moral publik yang tinggi.
Siapa pun tahu. Menjaga Muhammadiyah tidak mudah. Organisasi ini dianggap paling kuat dan solid. Baik di atas kertas maupun di akar rumput. Pak Haedar dan Pak Busyro punya misi yang serupa. Mereka berupaya menjaga aktivis Muhammadiyah supaya tak gelap mata.
Politik memang punya daya tarik kuat. Dan pertahanan paling penting bagi Muhammadiyah ada di tangan para kadernya. Akan seperti apa masa depan Muhammadiyah sangat bergantung pada kapasitas moral kadernya.
Bagi saya, suatu keistimewaan menjadi aktivis Muhammadiyah di masa ini adalah karena kita masih punya teladan hidup. Kita masih melihat pimpinan Muhammadiyah tak ciut di hadapan kuasa modal.
Dan meski sering dipinggirkan, Muhammadiyah tak kalah dan gulung layar. Karena pimpinan Muhammadiyah yang tak kenal padam inilah aktivis Muhammadiyah akan menyala makin terang.
Editor: Yahya FR