Feature

Pak Malik, Literasi, dan Pergerakan

4 Mins read

Teks dan Kehidupan

Kata Pak Malik, “Buku itu mencerdaskan. Itulah sebabnya harus terhidang buku sebagai salah satu menu makanan, kalau kita menginginkan manusia dapat menunaikan tugas hakikinya membangun kebudayaan dan peradaban di muka bumi.”

Ungkapan Pak Malik ini, saya temukan di kata pengantar buku “Khazanah Islam Indonesia,” karangan Abdullah Fadjar dan kawan-kawannya (2006). Ungkapan ini mudah sekali dicerna. Demikian pula dengan ungkapan berikutnya. Meskipun, apa yang disinggung terakhir ini, sepertinya membuat kita harus berpikir jauh lebih reflektif.

Pak Malik bertanya, “Menyantap-membaca buku jelas merupakan aktivitas manusia membangun kebudayaan dan peradaban. Ini tidak bisa dibantah. Namun, siapa penghidang makanan itu? Agar buku bisa terhidang sebagai makanan ruhani, diakui hal ini harus melibatkan banyak pihak.” (2006).

Tentu pertanyaan ini bukan sekedar menghendaki jawaban. Namun juga komitmen untuk terlibat langsung, bagi siapa saja yang menghadapinya. “Siapa yang bertanggungjawab turut serta dalam perjuangan pembangunan literasi, dalam rangka menyokong proses pembangunan peradaban?” 

Sulit sekali menjawabnya. Bukan lantaran enggan menjawab “ya” atau sebaliknya. Tapi konsekuensi memberikan jawaban “ya”, berarti memelihara nyala api komitmen, agar kita senantiasa menjadi agensi yang terus-menerus terlibat dalam kerja abadi pembangunan literasi. Jelas, ini bukanlah tugas yang mudah.

Sebenarnya, literasi yang disimbolkan “buku” oleh Pak Malik, merupakan aktivitas olah pikir dan dzikir, sekaligus mengandung dorongan batin untuk peduli terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan lingkungan.

Sebagaimana yang diungkapkan seorang pedagog kritis terkemuka, Paulo Freire, dalam makalahnya “Reading the world and reading the word” (1985), ia menegaskan bahwa membaca bukan hanya memberikan perhatian yang besar terhadap teks, namun juga terhadap dunia. Artinya, ketika membaca teks, kita tidak hanya semata-mata bertumpu pada proses berpikir secara intelektual dan spiritual, namun juga mengupayakan refleksi mengenai kehidupan yang konkret.

Baca Juga  Strategi Sekolah di Era New Normal: Pengalaman Muhammadiyah GKB

***

Dalam kesempatan yang lain, salah seorang sahabat Pak Malik, Dr. Moeslim Abdurrahman juga pernah bertutur bahwa, “Penting kiranya di samping membaca kitab suci al-Qur’an yang tiga puluh juz itu, juga membaca kitab suci yang besar sekali, yakni kehidupan.” (Perbincangan dengan beliau dalam momen ngangsuh kaweruh atau diskusi intelektual pada satu dekade yang lalu). Berkaitan dengan hal ini, bahkan memahami teks-teks keagamaan pun, harus berjalan beriringan dengan konteks hidupan.

Atau, ketika berkaitan dengan disiplin ilmu sosiologi misalnya, seorang cendekiawan muda Melayu, Azhar Ibrahim (2021) belakangan ini secara kritis mempersoalkan adanya berbagai kertas kerja sosiologi yang enggan melibatkan masyarakat sebagai persoalan yang dihadapi oleh para sarjana (sociology without society).

Menurutnya, sosiologi dan bahkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tidak bisa terlepas dari akarnya: kehidupan masyarakat yang konkret dan material. Artinya apa? Membaca bukan hanya aktivitas yang berhubungan dengan teks (sebagaimana halnya sosiologi), namun juga dengan kehidupan masyarakat.

Jadi, dengan mempertimbangkan berbagai refleksi yang mendalam mengenai “membaca”, saya meyakini bahwa konteks literasi yang dimaksud Pak Malik adalah dua hal: teks dan kehidupan. Dengan menghubungkan kedua hal tersebut secara kritis, maka itulah literasi kritis.

Tradisi, Kebudayaan, dan Peradaban

Sementara itu, elaborasi teks dan kehidupan mustahil mampu membangun kebudayaan, jika hal tersebut tidak disertai dengan pembangunan tradisi. Dan pembangunan tradisi ini, berjalan melalui proses seleksi alam, yang di dalamnya berisi kontestasi mengenai hal-hal (argumentasi-argumentasi) yang dianggap benar dan praktik-praktik kehidupan yang dianggap baik. Kontestasi tersebut ada, lantaran tidak semua argumentasi dan praktik yang diajukan di tengah masyarakat kemudian disetujui.

Mengenai hal ini, kita bisa mengambil contoh Pancasila. Hal ini tidak dengan serta merta kemudian dianggap sebagai the common platform of the Republic of Indonesia. Tapi hadirnya Pancasila di hadapan kita semua, dilalui dengan “proses kontestasi yang sengit.” Terlebih bahwa, terdapat episode historis mengenai penghapusan Piagam Jakarta pada sila pertamanya, dalam rangka menjamin integrasi bangsa.

Baca Juga  Menulis sebagai Jalan Perjuangan Penghapusan Kekerasan Seksual

Kembali kepada masalah pokok yang kita bicarakan. Tradisi dalam konteks ini, adalah hal yang bersifat dinamis. Tradisi bukanlah hal yang usang dan kuno yang sudah out of date. Tapi tradisi adalah hal yang di dalamnya melibatkan berbagai agensi yang melakukan aksi komunikatif dan saling berbagi pengetahuan satu sama lain (kontestasi).

Agensi yang dimaksud, bukan hanya para intelektual, namun juga mereka yang termasuk dalam kategori “elit” – yang secara ekonomi, sosial dan politik memiliki pengaruh – dan juga masyarakat umum.

Sekali lagi, melalui proses aksi komunikatif dan berbagi pengetahuan ini, kemudian terciptalah pola-pola sosial tertentu yang secara signifikan berfungsi menjamin adanya hubungan sosial dan bahkan mempererat ikatan sosial (social cohesion).

Ketika mayoritas orang setuju dengan argumentasi yang diajukan dan praktik-praktiknya juga dilakukan sebagai hal yang biasa (lazim), maka mereka juga secara otomatis akan mempertahankannya. Pancasila sebagai dasar negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai praktik hidup berbangsa, adalah hal yang diterima dengan harga mati.

***

Tradisi “yang baik” ini, lambat laun menjadi hal yang semakin dianggap biasa. Bahkan hal tersebut mendorong sesamanya untuk melakukan atau mengimplementasikan, karena diyakini akan menjadikan mereka semakin solid, etis dan berbudaya. Dengan kata lain, hal ini lama kelamaan akan mendorong terciptanya kebudayaan (kebajikan yang meluas) di tengah masyarakat.

Kebudayaan-kebudayaan “unggul” yang menjadi bagian dari masyarakat, pada puncaknya akan mendorong terbitnya peradaban. Artinya, manusia dan lingkungannya beradab, berkeadaban dan memiliki ekspresi estetis yang luar biasa mengenai peradaban tersebut.

Kembali kepada pertanyaan Pak Malik, “Siapa yang mau membangun peradaban melalui pembangunan literasi?”

Dari Literasi ke Pergerakan

Masalah membaca ini (teks dan kehidupan), agar menjadi tradisi yang baik, harus disertai dengan aktivitas konkret. Sebagian kalangan lebih suka menyebut aktivitas konkret ini dengan aktivisme. Artinya, perlu perjuangan yang nyata.

Baca Juga  Toxic Relationship: Pelurusan Stigma

Mengapa perlu perjuangan nyata? Karena mustahil kita akan mampu menerbitkan peradaban, apabila tidak melaluinya dengan praksis sosial kebajikan. Dengan terma lain yang lebih mudah dipahami, literasi kritis yang berorientasi menyelesaikan kehidupan sosial masyarakat, hanya akan menjadi imajinasi intelektual belaka tanpa adanya gerakan konkret.

Saya masih ingat, Pak Malik sering menasehati kami. Kebetulan memang, kami yang berkecimpung di universitas, memosisikan diri kami sebagai sarjana (scholar). Menurut Pak Malik, menjadi sarjana di lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah, harus sekaligus melibatkan diri di dunia pergerakan.

Maksud dari menjadi sarjana cum aktivis pergerakan ini sederhana, yakni agar ilmu yang kita miliki, mampu mendorong adanya transformasi sosial menuju kepada segala kondisi yang lebih baik.

Di Muhammadiyah genap dengan ideologi keberpihakan. Ideologi ini tumbuh subur lantaran adanya fondasi teologi al-Ma’un. Inilah teologi yang mendorong kaum beragama agar supaya memihak mereka yang lemah, papa dan termarginalkan.

Inilah perintah agama yang mulia. Karena itu, maka kesarjanaan (scholarship) bagi Perguruan Tinggi Muhammadiyah, memerlukan follow-up aktivisme sosial yang berkemajuan.

Jadi, siapa yang mau membangun peradaban melalui pembangunan literasi? Para sarjana-aktivis pergerakan. Siapa para sarjana-aktivis yang dimaksud? Atau, siapa yang mau berkomitmen dalam agenda pergerakan ini? Kami jawab, kami siap!

Editor: Yahya FR

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds