Perspektif

Panic-gogy, Belajarlah dari Fabel Kancil Vs Siput!

3 Mins read

Istilah Panic-gogy diambil dari sebuat catatan Anya Kamenetz (2020) dalam artikelnya berjudul Panic-gogy’: Teaching Online Classes During the Coronavirus Pandemic. Istilah tersebut berusaha menggambarkan kondisi saat ini, di mana wabah Covid-19 menghentikan aktivitas pembelajaran di institusi pendidikan. Panic-gogy dari kata panic dan pedagogy (untuk panik + pedagogi).

Diksi tersebut menjelaskan sebuah kondisi yang mengharuskan kita semua segera beradaptasi pada kondisi baru. Sebuah kondisi yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dalam konteks pendidikan, aktivitas pembelajaran beralih dari pembelajaran di ruang kelas menjadi pembelajaran daring. Hal tersebut hampir terjadi di semua level Pendidikan.

Di Indonesia, Telkomsel mencatat lonjakan trafik komunikasi khususnya layanan broadband tertinggi mencapai 16% sejak masyarakat dan pelaku industri mulai menjalankan himbauan dari Pemerintah RI untuk beraktivitas dari rumah guna menekan penyebaran pandemi Covid-19.

Pemicunya adalah tumbuhnya pengguna aplikasi belajar berbasis daring (e-learning) seperti Ruang Guru, aplikasi yang tergabung dalam Paket Ilmupedia, situs e-learning Kampus dan Google Classroom. Sebuah kondisi yang banyak orang menyebut, Covid-19 adalah penyebab yang mendorong transformasi digital bisa begitu cepat di Indonesia. Wabah ini menjadi katalis utama dari transformasi digital yang bergulir dengan kencang.

Selain itu juga, wabah ini juga menjadi pembuktian bagi Mas Menteri (Panggilan Akrab Mendikbud), orang yang dianggap berhasil memanfaatkan teknologi untuk melakukan perubahan sosial melalui Go-Jek.

Kali ini bisakah Mas Menteri melakukan hal yang revolusioner di tengah kondisi yang tidak normal begini. Meskipun menyamakan Gojek dan Kemendikbud bukan apple to apple, karena Gojek adalah bisnis sementara Kemendikbud lebih dari itu. Justru kondisi ini menjadi tantangan tersendiri baginya. Semua orang menunggu langkah-langkah inovatifnya selain menggunakan TVRI sebagai TV untuk pembelajaran.

Baca Juga  Peluncuran Jurnal, Maarif Institute Bahas Pendidikan di Masa Pandemi

Internet dan Kecepatan

Thomas L. Friendmen dalam bukunya “The World is Flat” menggambarkan bahwa proses demokratisasi internet yang menyebar ke seluruh dunia membuat semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengonsumsi dan memanfaatkan informasi. Dunia hari ini telah didatarkan, semua orang di belahan dunia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh dan menyampaikan apa yang mereka mau.

Dalam buku tersebut digambarkan bahwa kita telah memasuki Globalisasi 3.0 yang terdapat 10 pendataran. Globalisasi 3.0 ini menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat kecil sekaligus mendatarkan permainan.

Kalau motor penggerak Globalisasi 1.0 adalah mengglobalnya negara; dan motor penggerak Globalisasi 2.0 adalah mengglobalnya perusahaan, uniknya, motor penggerak Globalisasi 3.0 adalah kekuatan baru yang bekerjasama dan bersaing secara individual dalam kancah global.

Individu dengan smartphone yang dimiliki bisa berinteraksi tanpa menghiraukan jarak. Itulah gambaran dunia hari ini. Kecepatan yang dimediasi oleh internet dan ruang digital dianggap banyak merubah dunia. Kecepatan dianggap sebagai kata kunci dari perubahan. Akan tetapi apakah yang cepat yang selalu menang? Yang cepat yang akan menguasai banyak hal?

Pembelajaran digital menyelamatkan keberlangsungan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan. Meski kerap dianggap tetap menghadapi persoalan karena tidak semua institusi pendidikan dianggap siap, tetapi perangkat digital banyak membantu mengatasi persoalan-persoalan pendidikan di tengah wabah.

Kecepatan internet yang banyak membantu kembali proses komunikasi antara yang pendidik dan yang dididik. Internet secara cepat mengatasi proses komunikasi di banyak bagian dalam pendidikan. Anggapan bahwa akses internet banyak membantu proses pembelajaran memang benar akan tetapi hal tersebut akan memunculkan persoalan jika terdapat kebergantungan kepada aktifitas digital yang berlebihan.

Mitos Kancil Vs Siput

Budayawan Seno Gumira Adjidarma pada perayaan Dewan Kesenian Jakarta ke 51 di Taman Izmail Marzuki, secara reflektif menyampaikan sebuah pidato kebudayaan. “Dalam gembar-gembor kenyinyiran 4.0, terkesan betapa apa yang berlangsung dalam dunia industri telah dengan sendirinya menjadi gejala kebudayaan, yang memang tidaklah keliru, tetapi yang dalam pendapat saya tidak harus selalu secara harfiah bermakna adu kecepatan—dan perihal kecepatan, manusia cukup sering tenggelam dalam mitos bahwa pencapaian terbaik adalah menjadi yang tercepat,” 

Baca Juga  Psikoterapi Islam, Apakah Mungkin?

Untuk membuktikan argumennya, secara cerdas Seno melogikakan dengan bercerita tentang Siput Vs Kancil. Siput, binatang yang dikenal begitu lambat. Pasalnya, ketika kancil bertanya posisinya, siput yang di depannya selalu menjawab. Kita tahu jumlah Siput itu bukan hanya banyak, melainkan tak terhingga. Sehingga praktis sebenarnya Siput tersebut tidak perlu bergerak sama sekali untuk menjadi pemenang. Apa kaitannya cerita di atas dengan kondisi saat ini?

Internet dan ruang digital yang menjadi simbol kecepatan faktanya memang banyak menciptakan perubahan di dunia ini. Akan tetapi apakah yang cepat selalu jadi pemenang?, cerita Kancil vs Siput memberikan gambaran yang menarik tentang itu. Yang tercepat tidak selalu mampu mengantarkan orang jadi pemenang. Begitu juga siput, meskipun lambat tidak selalu identik dengan kekalahan.

Apa kaitannya dengan pembelajaran? Dalam kondisi yang tidak normal begini, berharap sepenuhnya pada internet tidak seutuhnya benar. Setiap hari anak-anak kita harus dipaksa menghadap layar monitor untuk alasan agar tidak tertinggal pelajaran. Bahwa internet hanyalah alat dan kita butuh itu. Tetapi dari kisah Kancil Vs Siput kita bisa ambil hikmah bahwa ada kerjasama tim dari makhluk lambat yang bernama Siput. Bahwa dalam kontek kompetisi hal tersebut tidak fairplay, itu urusan lain.

Tetapi satu hal yang harus menjadi perhatian adalah ada sisi lain yang perlu diperhatikan dalam pendidikan kita di tengah wabah. Bahwa dalam kondisi begini adalah momentum untuk menekankan pentingnya kerja tim dan saling peduli. Kita semua tidak berharap kondisi wabah begini anak-anak kita menjadi semakin egois atau selfish. Mereka lupa dengan dunia di luar mereka, menjadi a-sosial.

Menjadi kecanduan dengan internet dan orang tua membiarkan dan memaklumi atas dasar alasan pembelajaran. Selain itu juga, sebulan berlalu jangan lagi ada curhat orang tua dan siswa/mahasiswa akan beratnya beban belajar. Bagaimana caranya, ya ini tugas anda Mas Menteri untuk memikirkannya dan umpama anda gagal, hal tersebut bakal menambah deretan generasi milenial yang gagal menjadi pejabat negara.

Baca Juga  Jangan Pacaran, Apalagi Zina
Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Dosen dan Guru Ngaji Komunitas di Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

3 Comments

  • Avatar
  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds