Perspektif

Aktus Religius: Melampaui Objek Materiil

3 Mins read

Kewajiban puasa Ramadhan pun ditunaikan, dan akan demikian hingga sebulan penuh menurut penanggalan qamariyah. Dan aktivitas keseharian kita yang 24 jam, tetiba saja terasa seperti sepenuhnya religius. Bukan hanya ritual agama rutin yang di luar Ramadhan, yang memang senantiasa kita tunaikan.

Tapi yang saya maksud adalah seluruh perjalanan hidup kita dalam sehari, perihal berbicara misalnya di mana selama berpuasa kita dianjurkan tak berkata-kata kotor, tidak mengumpat, menggibah, memfitnah, bertengkar, dan sebagainya. Sampai-sampai untuk mengarahkan kecerewetan lidah kita, Tuhan meminta kita agar lidah sibuk berzikir dan melantunkan firman-Nya.

Dalam puasa Ramadhan, aktus religius kita dalam sehari jauh lebih intens dibanding hari-hari biasanya. Maka tercatatlah nama Max Scheler (1874-1928) yang pernah membincang aktus religius secara fenomenologis, seorang filsuf kelahiran Munchen, Jerman Selatan. Dia lahir dari ibu yang Yahudi, ayah Protestan tapi akhirnya di umur 15 tahun, dia memilih untuk menjadi Katolik.

Lalu sembilan tahun kemudian dia meninggalkan Katolik. Walaupun demikian, Katolik tetap berpengaruh terhadap pemikirannya. Max Scheler menempuh jenjang pendidikan univeristasnya di Munchen, Berlin dan akhirnya memperoleh gelar “doktor filsafat” di bawah bimbingan Profesor Rudolf Eucken di Jena.

Yang cukup menarik dari Max Scheler adalah penjelasannya mengenai aktus religius. Scheler menyebut ada tiga ciri aktus religius.Ciri Pertama, aktus-aktus religius mempunyai intensi yang transenden terhadap dunia. Jika kita menyebut istilah “transendensi”, maka seringkali dalam benak kita yang terbayang adalah sosok Tuhan dengan segala Ke-Maha-an-Nya.

Tapi dalam tradisi fenomenologi, sedari awal manusia yang berkesadaran adalah makhluk yang senantiasa bertransendensi. Kesadaran diasumsikan oleh fenomenologi (termasuk Scheler) senantiasa tertuju pada “objek” di luar dirinya, tak ada kesadaran yang memahami-mengenal-mengetahui sesuatu yang tak menambatkan intensinya (ketertujuannya) pada sesuatu tersebut, dengan kata lain kesadaran senantiasa “keluar dari” (melampaui) diri menuju selain dirinya.

Baca Juga  Beberapa Alasan Joe Biden Lebih Layak dari Donald Trump
***

Namun demikian, aktus religius tak seperti aktus-aktus kesadaran lainnya. Aktus religius tak mengarah kepada objek-objek biasa yang seringkali kita jumpai dalam keseharian (seperti gelas, meja, mobil, senja, istri, anak, dan lain-lain) tetapi tertuju pada sesuatu yang melampaui ke semua objek-objek itu. Dan hal tersebut terkait dengan ciri kedua dari aktus religius, bahwa hanya “yang ilahi” lah yang dapat memenuhi intensi aktus religius. Maksudnya, sesuatu yang melampaui objek-objek biasa dalam intensi kesadaran religius adalah “yang ilahi”.

Mungkin saja dalam sebuah aktus religius kita melibatkan objek keseharian. Semisal sebutir telur dalam peringatan maulid nabi, seekor sapi, atau kambing dalam ritual pengurbanan, suara lantunan kitab suci sewaktu sholat dan lain sebagainya. Tetapi, objek terindra tersebut bukanlah tujuan utama intensi dalam kesadaran religius, objek-objek tersebut hanyalah simbol atau hijab yang bisa menghantarkan atau melibatkan kita pada “yang ilahi” sebagai tujuan utama intensi kesadaran religius.

Hal tersebut juga bisa menjadi penjelas, mengapa aktus religius tak melulu hanya soal ritual belaka. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, terutama pada seorang mistikus (dalam semua tradisi agama), hal yang nampaknya remeh sekalipun (seperti nyala lilin, salju yang meleleh, sinar mentari, kicauan burung dan lain-lain), bisa menjadi bagian dalam aktus religius.

Lalu ciri ketiga dari aktus religius menurut Scheler, bahwa aktus religius hanya mungkin, jika “yang ilahi” yang menjadi tujuan utama intensi kesadaran religius, adalah Dia yang menyatakan diri pada manusia. Di sini, ada semacam titik tekan dari Scheler bahwa “yang ilahi” bukanlah objek atau informasi yang sifatnya saintifik, yang mesti ditemukan melalui pengamatan-perhitungan-pengukuran, justru “yang ilahi” lah yang akan menyatakan dirinya pada manusia.

Baca Juga  Nasib Pilkada Lanjutan dan Perppu Uji Coba
***

Tapi ini tidak berarti bahwa “yang ilahi” bisa dikenali tanpa upaya apapun, tetapi “yang ilahi” menyingkapkan diri di hadapan yang telah melakukan “upaya religius” secara layak. Manakah “aktus” atau “upaya” religius yang dianggap layak ? bagi saya ini adalah sesuatu yang sifatnya sangat intim-personal, berbeda dari satu orang ke orang lainnya tergantung interior ke-dirian-nya.

Bisa saja kita mendengar lantunan Al-Qur’an di kampung-kampung, yang tajwidnya tak sesempurna tajwid kita yang bersekolah di kota, tapi bisa saja “upaya religius” nya lebih layak dibanding kita, karena sesungguhnya huruf hijaiyahh hanyalah objek indrawi, yang berfungsi sebagai portal ke “yang ilahi”. Bisa saja sholat sunah kawan kita tak sebanyak sholat sunah yang kita dirikan, tapi kesadarannya lebih kuat tertambat pada “yang ilahi”, karena sesungguhnya gerakan sholat hanyalah objek indrawi yang menjadi jembatan menuju-Nya.

Gagasan Scheler bagi saya layak untuk direnungkan, karena ada semacam paradoks di zaman kita, keriuhan beragama tak berbanding lurus dengan kedamaian dunia global, kesemarakan retorika politik atas nama agama tak berbanding lurus dengan  kedewasaan kita dalam berpolitik. Bukan agamanya yang bermasalah tapi manusianya, mungkin intensi kesadaran kita di setiap aktus religius hanya berhenti pada suara, kata, huruf, pakaian dan gerakan, tak lebih dari itu.

Editor: Yahya FR
Avatar
7 posts

About author
Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sulawesi Selatan
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *