“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”
Soe Hok Gie
Penggalan kalimat diatas biarlah menjadi pembuka bagi kita untuk secara pelan memandang, secara seksama mengamati, apa yang sebenarnya telah menimpa negara demokratis seperti Indonesia. Benarkah transisi negara dari rezim otoriter telah dapat menjamin keterbukaan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat? saya pikir masih banyak yang mesti kita pertimbangan secara mendalam.
Pada 2019 silam, Badan Pusat Statistik merilis hasil penelitiannya mengenai indeks demokrasi di Indonesia yang diukur dalam kurun waktu sedari tahun 2018. Hasilnya dinyatakan bahwa indeks demokrasi nasional mengalami sedikit peningkatan meski pada aspek kebebasan sipil mengalami penurunan. Data ini menunjukkan kenaikan pada aspek perbaikan lembaga demokrasi meski menurun pada dua aspek lainnya, kebebasan politik dan ikhwal hak-hak politik.
Pada sisi kebebasan berpendapat, gaung demokrasi pasca reformasi, khususnya pada kepemipinan Joko Widodo memang masih banyak mendapatkan kritik. Jerat pasal yang akhirnya mendera beberapa aktivis, pelarangan buku, pembubaran organisasi dan beberapa problem lain layak untuk menjadi diskurus demi memandang apa yang disebut sebagai paradoks demokrasi. Belum lagi bahwa media massa tidak banyak menempatkan posisinya sebagai pilar demokrasi yang secara edukatif mampu membantu kesadaran rakyat. Kesemua problem yang menemani jalannya proses demokrasi mengundang kembali pertanyaan, apa sebetulnya makna dari demokrasi?
Makna Demokrasi
Joseph A. Schemer memandang demokrasi sebagai suatu perencanaan institusional untuk meraih keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutukan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Tampak dalam hal ini demokrasi memberikan corak perbedaannya dibanding sistem feodalisme dan otoritarianisme yang cenderung pengambilan keputusannya diputuskan oleh kelas tertinggi.
Sementara itu, agar demokrasi berjalan pada pijakan norma yang subtantif, Nurcholis Madjid menerangkan beberaa norma-norma dan atau pandangan hidup demokratis yang menjadi pijakan fundamental dalam negara demokrasi, norma tersebut ialah:(1) Pentingnya kesadaran pluralisme. Negara seperti Indonesia perlu memahami hal ini dengan baik, apalagi keragaman suku, budaya ras dan agama sering menjad hantu polarisasi bagi kebersatuan bangsa.
(2) Semangat musyawarah. Pada posisi ini asas musyawarah sebetulnya adalah upaya untuk mendudukan perbedaan pendapat dalam masyarakat demokratis.(3) Pertimbangan moral. Demokrasi membuka kesempatan kepada segenap masyarakat untuk mengekspresikan dirinya, namun pada posisi inilah pula tantangan demokrasi sebetulnya. Demokrasi sering berhadap-hadapan dengan demoralisasi. (4) Pemufakatan yag jujur dan sehat. Kita memahami bahwa muara dari musyawarah yang baik adalah mufakat yang secara universala dapat mengakomodir segala pendapat rakyat.
(5) Pemenuhan segi-segi ekonomi. Demokrasi tidak semena-mena mengenakan hukum liberal pasar. Negara yang menganut sistem demokrasi mesti menjamin sendi-sendi ekomomi rakyat (6) kerja sama antar warga untuk mencapai iktikad baik masing-masing. Tidak adapat dielakkan pada posisi ini kerja sama elemen masyarakat adalah fundamen yang kuat dalam upaya menjami demokrasi tetap sehat (7) pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan pendidikan demokrasi.
Paradoks Demokrasi di Indonesia
Sebagaimana telah diterangkan pada bagian awal catatan ini. Jalannya proses demokrasi Indonesia di era reformasi sesungguhnya masing mengundang kritik. Cengkeraman oligarki pada masa orde baru yang sedianya dapat berkurang pada faktanya justru membuat oligarki kian mengembangkan dirinya dalam beragam sektor.
Ini adalah bagian kecil dari paradoks demokrasi. Pada sektor pendidikan, demokrasi sesungguhnya didambakan dapat menjadi keran pembuka bagi tumbuhnya manusia yang secara cerdas mampu mengendalikan kebebasan. Namun tampaknya para pemangku kebijakan tidak memahami pemaknaan Amartya Sen, bahwa demokrasi idealnya dapat memperkaya kehidupan masyarakat, memiliki perangkat nilai penting yang dengannya rakyat mampu mengeskpresikan tuntutan mereka dalam keputusan politik maupun ekonomi.
Namun jauh panggang daripada api, pendidikan selalu menjadi arena pertarungan ideologis yang sering hanya menguntungkan sebagian pihak, lebih banyak hanya mengakomodasi kepentingan kapitalis.
Akibatnya, pada perhelatan politik, negeri ini hanya menghasilkan kebisingan. Politik nasional sering hanya memunculkan demagogi dan para demagog, yakni politisi yang memanfaatkan demokrasi dan kebebasan berpendapat untuk menghasut orang banyak, melalui dusta dan janji palsu dalam rangka mengaduk emosi massa rakyat.
Sementara hukum tampak masih oportunis. Secara paradoksal, hukum sebagai produk masyarakat yang diwakilkan oleh pengambil kebijakan secara demokratis sering hanya digunakan untuk menggigit kalangan kecil yang tak memiliki kekuatan. Persoalan menambah kala aparat hukum justru tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga stabilitas demokrasi.
Belum lagi dalam masyarakat yang tidak seluruhnya memiliki kemampuan literasi yang mapan, kebebasan berpendapat seringkali menghasilkan ujaran kebencian pada percakapan publik. Polarisasi kian menjadi hantu menakutkan dalam geliat percakapan masyarakat, khususnya di era media sosial seperti sekarang ini. Demokrasi yang pada luarannya mengakomodasi kepentingan berpendapat dan kebebasan beroasiasi kerap memunculkan emosi dan egosektoral, penghambaan kepada identitas kelompok dan benci kepada entitas kelompok lainnya.
Dalam hubungannya dengan media, Chomsky (1997) mengkritik “Namun faktanya yang muncul di media massa tidak sepenuhnya sama dengan fakta yang sebenarnya, fakta di media hanyalah hasil dari rekonstruksi dan atau olahan para awak di meja redaksi”, lagi, demokrasi pada dasarnya adalah ruang terbuka bagi pertarungan kepentingan, salah satunya melalui media.
Dalam dari itu, pada dasarnya persoalan kita ialah keengganan untuk berpindah dari demokrasi prosedural menuju demokrasi subtansial. Nyata, pertarungan legal-formal masih mendominasi dibanding upaya untuk memastikan pemaknaan demokrasi telah tepat dipraktikkan.
Kita memang masih berkelindang dalam paradoks demokrasi; merayakan demokrasi namun masih memberikan kesempatan bagi kelompok feodal untuk mendominasi, membesarkan kebebasan berpendapat namun pendapat publik sering menuai kebencian, mengharapkan media namun ia sering hanya meliput kepentingan segelintir kelompok.
Mau tidak mau, demokrasi dan masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh kualitas individu dalam memahami subtansi demokrasi. Maka pemerintah tak boleh menekan kritisme sebab hanya dengannya demokrasi terang sebagai sistem yang mengakomodasi ragam persepsi.
Lebih dari itu, kekuatan akal budi adalah daya paling subtantif untuk menjaga makna dan esensi demokrasi. Ialah pula jalan terang untuk menjaga jarak antara demokrasi dan feodalisme politik.
Editor: Nabhan