“Sebaik-baik teman di setiap kesempatan adalah buku“
(Khairu jalisin fizzamani kitabun)
–Mahfudzat-
Bang, kita sudah lima hari di sini, tapi belum dapat buku, ujar David. Maklum itulah pertanyaan Presiden Serikat Pustaka dan pegiat literasi. Sontak ku jawab, ok kita cari toko buku terdekat di Paris. Menurut keterangan Abdullah, atau Dul biasa ia dipanggil David, di sini ada sekitar 50 toko buku. Perjalanan kami lanjutkan setelah mengunjungi Lovre tanpa usah masuk ke dalamnya dan menikmati indahnya lukisan Monalisa. Jelas saja karena waktu yang tidak memungkinkan sehingga cukup di halaman.
Sesampai di Toko Buku dengan spesifikasi humanities, kami pun mampir, hampir lima belas menit kami hunting buku dan menikmati pemenuhan dahaga intelektual itu, lalu David menyapaku. Jangan lama-lama Bang, masih ada toko buku yang lain yang bisa kita explore.
Toko Buku dan Ruang Kreatifitas
Shakespeare, Toko Buku Tua, kami pun harus sampai antre untuk memasukinya, diatur sirkulasi orang masuk dan keluar. Maklum, toko dengan bangunan tua dan sebagiannya juga dengan konstruksi semi permanen menggunakan papan, menunjukkan bahwa bangunan itu sudah berumur.
Seorang seniman sedang melakukan proses kreatifnya membuat sebuah puisi yang ia ketik dengan mesin ketik manual. Bahkan ia menuliskan di depan mesin ketiknya, “Ask me for a poem”, nampak ia menawarkan jasa kreatifitasnya untuk membuat puisi by request. Layaknya seorang pelukis yang menjaja jasa membuat lukisan sketsa wajah. Ia merupakan salah satu di antara seniman atau budayawan yang melakukan proses kreatif di sekeliling kota Paris.
David, memanjat tangga untuk hunting buku, ia pun sudah melirik buku-buku genre Indonesian Studies. Salah satunya ada nama Pramoedya Ananta Toer. “Dapat buku apa cak?” tanyaku. Saya pun sempat kecewa sedikit, karena David sudah dapat buku lebih awal meski saya yang siapkan tangga untuknya. Ternyata, Novel Tetralogi Pram dalam bahasa Belanda yang ia sudah incar. Sambil ia tunjukkan padaku.
“Ini buku Anak Semua Bangsa, ini Rumah Kaca danini Jejak Langkah”, meski aku masih menyisakan tanya apa betul, tapi sudahlah. “Ini Novel harus ku beli Bang, versi Inggrisnya ku sudah miliki lengkap, ini versi Belanda”, kata David.
“Meski ku belum bisa memahaminya, mungkin bisa jadi motivasi buat kita Bang, untuk belajar bahasa penjajah negeri kita dulu ini. Agar tidak cuma tahunya Verboden, Tante, Om, dan Gratis serta Makelar saja” kata David, Aku pun tersenyum meng-iya-kannya.
Informasi yang penulis dapat, Toko Buku Shakespare dulunya biasa dibuat menginap para seniman sambil membaca dan menuliskan inspirasi yang telah mereka dapat.
Bersamaan dengan Hari Buku Nasional, penulis berharap akan makin banyak bermunculan toko buku yang ramah buat pembaca, ramah untuk memfasilitasi kreatifitas, dan meneguhkan gerakan literasi di Indonesia. Paris bisa menjadi model yang inspiratif buat kita.