Sebelum membahas pemikiran Gus Dur dan Buya Syafii, kita perlu memutar ke belakang menelusuri keterkaitan Islam dan keindonesiaan. Hubungan Islam dan kebangsaan telah lama menjadi sebuah diskusi bahkan berujung pada polemik dan konflik. Polemik yang bermula dari perdebatan antara Bung Karno dan Natsir tentang bentuk negara dan peran Islam dalam kenegaraan. Selain polemik, hal ini juga memunculkan konflik dengan meletusnya gerakan DI/ TII.
Kaum islamis menuduh kaum kebangsaan akan membawa pada sikap ashabiyah, padahal sosiolog muslim, Ibnu Khaldun justru mengkaji ashabiyah dengan sebuah pandangan positif yang menjadikannya bahan bakar yang baik agar kuat dan tegaknya sebuah negara.
Sedangkan di sisi lain kaum nasionalis menuding Islam sebagai sesuatu yang bertentangan diametral. Dalam pandangan mereka, Islam hanya sebuah agama yang signifikansinya tidak terlalu dalam pada kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan cenderung menjadi oposisi “ kepala batu”. Padahal Bung Karno tidak meninggalkan Islam dan memberikan penghormatan yang tinggi terhadap ajaran Islam dalam setiap tulisannya.
Pemikiran Gus Dur dan Buya Syafii
Dua diantara tokoh intelektual Muslim Indonesia adalah Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Ma’arif yang berangkat dari latar belakang berbeda. Wahid yang biasa dipanggil Gus Dur lahir dari lingkungan dan keluarga pesantren yang kental serta berasal dari trah kehormatan ulama Islam, Kiai Hasyim Asy’ari dan mewakili kaum tradisionalis yang bernaung dalam Nahdlatul Ulama. Sedangkan Ahmad Syafii Maarif lahir dari latar belakang intelektual yang berbeda dari suku Minangkabau serta berpendidikan Barat. Beliau mewakili kaum modernis Islam yang tergabung dalam Muhammadiyah.
Pribumisasi Islam dan Indonesia Islam
Menurut Gus Dur keragaman historis Islam sangat terbuka adanya konteksualisasi Islam yang ditujukan bukan untuk mengubah doktrin–doktrin Islam namun membumikan ajarannya agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terus berubah – ubah (Sahal dalam Geo Times, 4 Maret 2017). Konsekuensi dari pendapat ini adalah Gus Dur menolak arabisasi disamakan dengan islamisasi.
Bagi Gus Dur, Islam tidak identik dengan Arab ataupun budaya Timur Tengah. Pengidentikan Islam dengan Budaya Arab ataupun Timur Tengah membuat kita tercabut dari budaya bangsa kita sendiri. Islam adalah hal yang sakral sedangkan di satu sisi budaya Arab adalah hal yang profan. Untuk menjaga kesakralan Islam, maka ia harus dipisahkan dari yang profan tersebut sesuai dengan Islam yang rahmatan lil’alamin.
Dalam hal ini Maarif justru lebih menyetujui sebutan Islam rahmatan lil’alamin dibandingkan Islam Nusantara (Muthoifin, 2017 : 125). Beliau memandang hubungan Indonesia dan islam ini dalam kerangka sejarah. Alih-alih menggunakan kata pribumisasi Islam, Maarif lebih nyaman dengan menggunakan Indonesia Islam. Hal ini adalah konsekuensi logis dari jumlah mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam.
Namun, Maarif memberikan catatan bahwa dengan menggunakan istilah Indonesia Islam bukan berarti kepercayaan dan agama lain tidak dapat tumbuh dan berkembang di suatu negara yang dikaitkan dengan nama sebuah agama tetapi belum sebagai penganut mayoritas.
Menggunakan kacamata sejarah Maarif justru menekankan bagaimana Islam memiliki pengaruh yang sangat besar memberikan identitas dan nilai baru bagi Nusantara Dinamika sejarah inilah yang menurut beliau patut untuk diperhatikan dalam melihat hubungan islam dan negara di Indonesia.
Maarif setuju bahwa Islam tidak identik dengan Arab dan Arab pun tidak identik dengan Islam. Maka menafsirkan Islam sesuai dengan tempat Islam berpijak saat ini bukanlah hal yang tidak boleh. Ia juga menegaskan bahwa Islam mesti dibawa secara real ke tengah masyarakat agar menyentuh setiap sisi kehidupan.
Formalisasi Syariat dan Substansi Ajaran Islam
Desakan formalisasi syariat islam terkait erat dengan gerakan fundamentalisme yang diusung oleh beberapa tokoh dan kelompok. Mereka mengacu pada gerakan transnasionalisme yang melanda Indonesia akibat arus informasi yang berjalan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, peran corak Islam Timur Tengah memainkan peran dalam menyebarkan gagasan fundamentalisme Islam.
Gus Dur menilai Islam memiliki aspek keadilan sosial tanpa keluar dari garis kemanusiaan. Gus Dur memandang substansi ajaran Islam lebih penting dari bentuk formalnya. Sedangkan menurut Maarif, Hadirnya fundamentalisme di Nusantara ini tidak berangkat dari ruang kosong. Gagalnya negara menghadirkan keadilan dan kesejahteraan sosial disinyalir sebagai sebab utama dalam munculnya fundamentalisme.
Sikap Gus Dur dan Buya Syafii berangkat dari kesimpulan yang sama bahwa Islam tidak mengajarkan bentuk formal negara. Landasan yang digunakan adalah tata cara pemilihan khalifah pengganti Rasulullah SAW dimana sistem dan tata cara pemilihan dari Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib tidak seragam. Jika Nabi meninggalkan ajaran mengenai format negara, tentunya para sahabat tidak akan menggunakan cara-cara yang berbeda dalam pengangkatan khalifah.
Selain itu Nabi tidak meninggalkan warisan tentang bentuk negara Madinah. Berdasarkan pemikiran ini maka Pancasila adalah bentuk final dari ideologi negara. Ancaman terhadap eksistensi pancasila sebagai sebuah ideologi wajib untuk dihadapi secara bersama-sama. Kedua tokoh bangsa ini telah tetap konsisten untuk membela nilai-nilai Pancasila sebagai bagian dari kesepakatan dan musyawarah/syura dari para “Founding father” kita.
Demokrasi dan Pluralisme
Menurut Gus Dur ada tiga alasan mengapa demokrasi sejalan dengan Islam. Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas.
Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan (amruhum syuraa bainahum), artinya adanya tradisi bersama membahas dan mengajukan pemikiran secara terbuka dan pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan. Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Dengan tiga alasan ini, maka sejatinya islam adalah demokrasi itu sendiri. Ide ini muncul karena Gus Dur menilai bahwa Islam hanya dijadikan semacam alternatif bukan inspirasi yang diserap nilai-nilai substansinya.
Berbeda dengan Gus Dur, Maarif menganalisis demokrasi dan titik pertemuannya dengan Islam melalui kacamata sejarah dan sosiologis. Beliau menyimpulkan bahwa sudah sejak awal founding father kita setuju dengan sistem demokrasi. Demokrasi adalah serapan dari ajaran Islam dengan konsep syuranya. Menurut Maarif demokrasi dalam praktiknya di manapun di atas muka bumi ini selalu menuntut tiga atau empat syarat yang saling melengkapi, yaitu rasa tanggung jawab, lapang dada, rela menerima kekalahan secara sportif, dan tidak membiarkan kesadaran membeku (Maarif, 2009 : 149).
Maarif menilai pluralisme menunjukkan tingkat intelektualisme pada suatu bangsa Negara atau masyarakat tanpa pluralisme akan menghasilkan kondisi yang berantakan. Mematikan pluralisme sama saja dengan menumbuh suburkan diskriminasi berdasarkan ras ataupun agama. Bagi Gus Dur dan Buya Syafii jelas ini bertentangan dengan sila kedua Pancasila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Nilai–nilai etik Islam yang mendasar seperti keterbukaan dan toleransi harus mendapatkan tempat yang besar dalam iklim demokrasi terutama demokrasi di Indonesia.
Editor: Nabhan