Falsafah

Pemikiran Kosmologi Sufistik Ibnu Arabi

6 Mins read

Pun manusia tidak akan pernah lepas dari kosmos, sebab kosmos merupakan tempat berpijak, berdialektika, berdialog dan belajar membaca ayat-ayat kauniyah. Ayat yang berbentuk pohon, berntuk tanah, berbentuk angin, daun-daun, laut, sungai bahkan nyamuk hewan paling kecil turut serta menghias kosmos ini.

Setiap kosmos itu memiliki keterkaitan dengan sang Pencipta dalam kosmologi sufisme sangat berkaitan dengan persoalan ketuhanan. Bagi Ibnu Arabi, kosmos ini memiliki visi mistik dan visi rasional juga memiliki spirit.

Upaya Mengenal Adanya Tuhan

Ibnu Arabi yang lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Juli 1165 M, di Kota Marsia, ibu kota Andalusia Timur (kini Spanyol), Ibnu ‘Arabi bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim ahli di bidang ontologi, kosmologi, tafsir, fiqih. Namun tulisan ini hendak membidik pemikiran kosmologi dalam perspektif Ibnu Arabi dan penulis mencoba menafsirkan secara filosofis.    

Dari penjelasan di atas, sudah jelas bahwa semesta merupakan sebuah ayat yang harus dibaca dan dipikirkan. Ibnu Arabi memulai hal itu dengan masuk gerbong wahdatul wujud sebagai titik tolak pemikirannya tentang kosmos ini. Sebab merupakan salah satu konsepsi tasawuf yang memposisikan keduanya tersebut sebagai manifestasi diri Tuhan.

Tuhan sendiri senantiasa menjadi misteri mengenai hakikatnya dan mengenal-Nya adalah sebuah kewajiban yang secara resmi sebagai “beban” pertama dalam syariat Islam. Hal ini berdasarkan interpretasi al-Jilani terkait “liya’budun” dalam QS. al-Dzariyaat ayat 56, bahwa pola kata tersebut ditafsirinya dengan “wa ya’rifun; dan mengenal-Ku”.

Dalam konteks ini, di antara manusia berlomba-lomba untuk mendekat kepada Tuhan. Ada yang mengenal dengan membaca ayat Qauliyahnya ada juga dengan ayat Kauniyahnya, tergantung pada magnet batin ia hendak kemana. Oleh karena itu, wajar jika Ibnu Arabi memiliki konsep kosmologi itu sebagai nilai dan sifat Tuhan untuk menampakkan dirinya pada manusia.

***

Kerisauan ini mulai terjawab oleh kesungguhan Ibnu Arabi dalam menapaki dunia sufi. Menurutnya, Tuhan tidak betul-betul ditetapkan sebagai Tuhan bila kita tidak mengenal siapa kita. Pengenalan diri ini sebuah upaya untuk mengenal Tuhan melalui alam semesta serta dengan penentuan sifat dan nama Tuhan dalam diri manusia, maka termanifestasilah nama dan sifat Tuhan itu melalui wajah-wajah alam semesta.

Tidak hanya manusia, kandungan QS. Fushshilat ayat 53 yang menempatkan manusia dan alam sebagai tanda keagungan-Nya menunjukkan akan kedua entitas ini selaras sebagai cerminan-Nya. Beberapa ajaran sufi memang tidak hanya menganggap dunia sebagai ilusi, namun dapat ditampakkan di sana nilai ilahi dan kebenaran hakiki.

Artinya, dengan sungguh-sungguh membaca alam semesta sebagai manifestasi eksistensi Tuhan, maka alam semesta akan memperlihatkan eksistensi Tuhan pada manusia.

Baca Juga  Nama-nama Ilmu Metafisika Menurut Ibnu Sina

Ibnu Arabi adalah tokoh mistik yang menuliskan pengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Mistik (sufisme) merupakan suatu pencarian kebenaran lewat jalan experience (penghayatan) dengan atas dasar cinta. Itulah perbedaan sufisme dengan filsafat, menurut Mutahhari.

Setiap manusia pun memiliki pengalaman yang berbeda dalam dunia mistik. Bagi Ibnu Arabi semesta ini adalah makhluk mistik yang harus ditelusuri kandungan substansial di setiap benda semesta.

Dalam dunia sufisme, manusia dan alam semesta merupakan manifestasi eksistensi Tuhan. Meskipun eksistensinya diyakini masih membutuhkan proses penghayatan untuk sampai ke perkampungan Tuhan. Akan tetapi, jika kita lebih dalam mengenal Tuhan kita akan lebih nikmat dan mendamaikan. Artinya, tidak hanya manifestasinya. Tapi proses pembacaan terhadap teks alam semesta pun menjadi nikmat bila berbarengan kenyatuan kita dengan Tuhan.

Namun bagaimana proses kenyerihan jiwa dalam menyelami lubuk semesta untuk menemukan makna substansial, tapi kini dibiarkan tanpa makna. Maka salah seorang sufi yang cukup provokatif terkait kosmos tersebut adalah Ibnu Arabi, seorang sufi-filsuf abad ke-12 M.

Definisi Kosmologi

Kosmologi berasal dari kata Yunani “kosmos” dan “logos”. “Kosmos” berarti susunan, atau ketersusunan yang baik dan teratur. Lawannya ialah “Chaos”, yang berarti “kacau balau”. Sedangkan “logos” juga berarti “keteraturan”, sekalipun dalam “kosmologi” lebih tepat diartikan sebagai “azas-azas rasional” (Kattsoff, 1986: 75).

Dalam sejarah filsafat Barat, tercatat filsuf Phytagoras (580–500 SM) merupakan orang yang pertama kali memakai istilah “kosmos” sebagai terminologi filsafat. Bahkan dalam tradisi Aristotelian, penyelidikan tentang keteraturan alam disebut sebagai “fisika” (bukan dalam pengertian modern), dan filsafat Skolastik memakai nama “filsafat alami” (philosophia naturalis) untuk menyebut hal yang sama.

Apa yang disebut dengan alam semesta sering disinonimkan dengan istilah-istilah lain, seperti semesta raya, jagad raya, atau kosmos. Dalam tema-tema Islam, alam semesta atau kosmos (al-‘Alam) bisa didefinsikan sebaga “segala sesuatu selain Allah” (ma siwa Allah), dan merupakan tanda-tanda (ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu mengambarkan hakikat dan realitas Allah. Adapun untuk sampai pada hakikatnya dengan cara membaca teks semesta dan meyakini bahwa semesta ini merupakan “foto copi” dari Tuhan Yang Maha.

Oleh karenanya, definisi kosmos ini saya lebih mengacu pada pengertian alam semesta, karena lebih familiar dan mengandung makna yang holistik-universal.

Tuhan dan Kosmos

Pemikiran tentang alam semesta sangat terkait dengan Tuhan. Semua yang “ada” bersumber pada Tuhan dan merupakan penampakan dari-Nya dan Tuhanlah pula yang menjadi esensinya. Realitas alam semesta merupakan tajallî Ilâhî dan sekaligus cermin untuk melihat kesempurnaan Tuhan dan keagungan.

Semua penciptaan, termasuk manusia bertujuan untuk mengenal kesempurnaan Tuhan. Pembahasan tentang alam semesta tentu akan berkaitan dengan Wujûd Tuhan melalui nama-nama yang dilacak dari kitab suci yang dalam Islam disebut dengan asmâul husna.

Melalui sembilan puluh sembilan nama-nama inilah Tuhan menyingkapkan diri-Nya dan bisa dikenali oleh manusia. Setiap nama Tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits memberitahukan pada kita tentang realitas Wujûd, meski realitas puncak dari Wujûd itu tidak pernah kita ketahui.

Baca Juga  Rene Descartes: Tuhan Ada, Maka Aku Ada

***

Lain halnya dengan Ibnu Arabi yang terus terobsesi menelusuri dan menemukan akar ketuhanan terhadap semua fenomena di jagat raya melalui bantuan skriptural termasuk siapa sebenarnya manusia dan alam semesta itu.

Di titik inilah semesta membutuhkan pemikiran manusia untuk menguak teks semesta dan dikontekstualisasikan sebagai bentuk untuk menjawab problem lingkungan yang kini mengalami krisis.

Bagi Ibnu Arabi, nama-nama dan sifat Tuhan merupakan jembatan antara dunia non-fenomenal dengan fenomena, baik secara epistimologis maupun ontologis. Tanpa nama-nama Tuhan yang diwahyukan di dalam kitab suci, maka tak seorang pun mampu memperoleh pengetahuan yang utuh mengenai modalitas-modalitas Wujûd Tuhan itu sendiri. Nama-nama Tuhan merupakan realitas aktual dari Wujûd itu sendiri, yang mana nama-nama tersebut menampakkan diri-Nya.

Setiap entitas yang ada terbagi ke dalam semua sifat-sifat ketuhanan, karena masing-masing memiliki Wujûd, dan Wujûd itu sendiri adalah Tuhan, nama Esensi dari segala nama. Namun harus dipahami bahwa semua entitas bukan jelmaan sifat-sifat-Nya. Akan tetapi, kosmos dan segala isinya disusun menurut tingkatan kecanggihannya (tafad’ul), tergantung pada sejauh mana tingkat entitas yang ada dalam menyuguhkan sifat-sifat Tuhan.

Ada beberapa makhluk hidup dengan entitas tinggi dan ada juga yang sebaliknya, dan ada beberapa di antaranya tampak tidak mempunyai hidup sama sekali.

Melihat hal itu, alam semesta atau kosmos bukan kemudian dimaknai sebagai yang lain (ghair atau another) dari Tuhan. Namun menurut Chittick, kosmos bukanlah sesuatu yang lain di setiap sisinya, karena ia merupakan keseluruhan jumlah kata-kata yang diartikulasikan dalam jiwa Zat Yang Maha Pengasih.

Kosmos adalah penyingkapan diri (tajallî) Tuhan di dalam wadah manifestasi-Nya. Melalui kosmos, Wujûd menampilkan karakteristik dan kepemilikannya, yakni nama-nama khusus dan universalnya, baik nama Tuhan yang sembilan puluh sembilan maupun entitas abadi-Nya. Maka, jiwa Zat yang Maha Pengasih mengeluarkan realitas abstrak dan maya ke dalam bidang eksistensi dan bidang yang kongkret.

Kosmologi Ibnu Arabi

Alam semesta sebagai anak-anak dan mahluk lemah yang dikuasai oleh citra-citra Tuhan atau orang tua yang mewujud dalam kekuatan alam. Alam semesta, pada masa itu benar-benar bergantung pada al-Haq yang disertai sikap tunduk dengan tujuan untuk mendatangkan harmoni dan kesatuan (integrasi) dengan Tuhan.

Ibnu Arabi juga menggunakan istilah imajinasi untuk merujuk kepada ranah kosmos yang semi independen. Di dalam dunia luar atau makrokosmos, yakni gambaran dari mikrokosmos manusia, ada dunia makhluk yang fundamental, yaitu dunia jiwa yang abstrak dan dunia fisik yang kongkret.

Baca Juga  Dekolonisasi Studi Agama di Akademia Barat (Bagian 2)

Dunia jiwa merupakan tempat tinggal para malaikat, yang dalam simbolisme tradisional sering dikatakan tercipta dari cahaya, sedangkan dunia tubuh ditempati oleh dunia tumbuh-tumbuhan, yang merupakan salah satu makhluk yang terbuat dari tanah liat.

Pada tingkatan ketiga, imajinasi merujuk pada seluruh realitas antara yang terbesar, yakni kosmos secara keseluruhan atau jiwa yang Maha Pengasih. Kosmos berada di tengah antara Wujûd absolut dari ketidaan absolut. Dari satu sisi identik dengan Wujûd, dari sisi lain identik dengan non-eksistansi. Jika entitas keabadiannya sendiri dikenali, kosmos sebenarnya tidak memiliki Wujûd.

Kosmos dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah Dia. Kosmos mempunyai keserupaan, yaitu keduanya diciptakan menurut bentuk Tuhan, hanya saja kosmos mencerminkan nama-nama Tuhan menurut bentuk yang berbeda-beda (tafsîl). Maka kosmos menampilkan panorama kemungkinan eksistensial yang sangat luas.

Ibnu Arabi sering mengekspresikan ide tersebut dengan menggunakan istilah “dunia kecil” dan “dunia besar” atau “mikrokosmos” dan “makrokosmos”. Biasanya, Ibnu Arabi menyebut manusia kecil dengan “microanthropos” untuk manusia dan manusia besar atau “macroanthropos” untuk alam semesta.

Arah Kosmologi Ibn Arabi

Pada akhirnya saya sampai pada titik dimana kita harus mencari kesimpulan sementara dari artikel ini, bahwa pandangan-pandangan Ibnu Arabi tentang alam semesta yang penjelasannya penuh dengan visi mistik dan visi rasional.

Ibnu Arabi dengan konsep wahdat al wujud sebagai fondasi awal dalam memasuki konsep kosmos. Dengan mengatakan bahwa betapa keseluruhan sifat kosmos itu merupakan kumandang dari seluruh nama dan sifat Tuhan.

Sesungguhnya hanya ada satu wujud, satu realitas, dan segala entitas yang ada (termasuk makhluk alam) hanyalah manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan.

Secara filosofis lbnu Arabi menjelaskan bahwa inti dari substansi alam semesta ini adalah nafas Tuhan (nafs al-rahmani) yang dihembuskan kepada entitas-entitas partikular. Sebab nafas Yang Maha Pengasih adalah substansi yang mendasari segala sesuatu dan Ibnu Arabi mengatakan bahwa yang ingin mengetahui nafas Tuhan hendaklah mengetahui alam semesta, karena barang siapa yang mengetahui dirinya akan mengetahui Tuhannya. Nafas ini sebenarnya substansi dimana berkembang wujud materil dan rohaniah.

Penciptaan alam menurut teori Ibnu Arabi merupakan konsep tajalli (teofani, penampakan diri) diri Tuhan pada alam semesta. Konsep tajalli ini merupakan tiang filsafat Ibnu Arabi karena tajalli disini dimaknai sebagai penciptaan, yaitu cara munculnya sesuatu yang banyak berasal dari yang satu. Ibnu Arabi banyak menggunakan istilah metaforis dalam mengungkapkan hubungan Tuhan dan alam.

Editor: Soleh

Avatar
1 posts

About author
Dosen Filsafat di Kampus STKIP PGRI Sumenep
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds