Perspektif

Pendidikan Multikultural: Solusi Pencegahan Konflik Horizontal

3 Mins read

Sudah tidak perlu diuraikan secara luas lagi kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa multikultural, multirelijius, multietnik, dan “multi-multi” lainnya yang mengindikasikan lapisan keberagaman yang kompleks. Demi mewujudkan hidup yang penuh dengan ketenangan dan kedamaian, sikap reseptif, apresiatif, kolaboratif, dan toleran harus ditampakkan di tengah koeksistensi keberagaman ini. Namun ternyata, implementasinya tak semudah membalikkan telapak tangan, banyak problem-problem multikultural horizontal menganga di depan mata yang belum kunjung ditemukan solusi patennya.

Reformasi tahun 1998 di Indonesia telah sukses menghasilkan identitas dan nilai kultural yang beragam. Identitas politik, sosial, dan kultural, yang sebelumnya masih “belum terlalu berani” menampakkan diri pada masa Orde Baru di bawah Soeharto, mulai bermunculan secara sporadis yang tidak jarang membikin orang kaget. Dunia politik dikejutkan dengan banyaknya partai baru yang bermunculan untuk menantang dominasi partai lama. Dalam ranah agama, misalnya, banyak gerakan Islam baru menampakkan jati dirinya di publik dan kerap kali mengambil panggung masa yang sebelumnya dikuasai oleh otoritas keagamaan lama.

*** 

Masyarakat Indonesia yang sebelumya terpaksa–hingga terbiasa–diseragamkan ke dalam satu warna dan identitas oleh Orde Baru, kini secara tiba-tiba berhadapan dengan realitas masyarakat yang membawa warna dan identitas mereka masing-masing. Perubahan lanskap dan watak sosio-kultural yang terjadi secara sekejap ini kerap-kali menimbulkan konflik horizontal antar identitas. Misalnya penolakan terhadap Jaringan Islam Liberal, Kasus Transito Mataram yang meletus akibat perbedaan keyakinan pemeluk Ahmadiyah, konflik Sampit, dan lain sebagainya.

Sampai sekarang, konflik horizontal akibat perbedaan identitas SARA (suku, ras, agama, dan anto golongan) pun masih sering dijumpai. Penolakan pembangunan tempat ibadah, peperangan antar suku, dan sentimen antar keyakinan masih sering kita dengar lewat pemberitaan beberapa media mainstream. 

Baca Juga  Orang Punya Ilmu Agama Minim, Boleh Berdakwah?

Dalam konteks negara Indonesia yang multikultural, keadaan seperti tadi tidak bisa dibiarkan begitu saja. Itu semua bisa berpengaruh pada ketentraman hidup berbangsa dan bernegara. Maka, salah satu solusi fundamental yang dapat diupayakan, bagi penulis, ialah melalui pendidikan multikultural yang memadai dan intensif di berbagai lapisan instansi pendidikan formal. 

Pendidikan Multikultural

Pendidikan dipilih sebagai salah satu jalur untuk melakukan transformasi besar-besaran dalam upaya mendidik masyarakat untuk memiliki wawasan terbuka (perspektif multikultural). Sikap ini dipilih berdasarkan fakta bahwa institusi pendidikan mengandung fungsi dan peran strategis dalam transformasi nilai di masyarakat. Irham dalam jurnalnya berjudul Islamic Education at Multicultural Schools telah membuktikan bahwa sekolah atau perguruan yang melakukan proses pendidikan dan pembelajaran secara berkualitas dan menghargai anak didiknya, telah menghasilkan lulusan yang baik dan bijaksana.

Pendidikan multikultural harus didesain untuk mengantisipasi munculnya konflik horizontal. James A. Banks dalam bukunya Multicultural Education menyebutkan lima dimensi yang harus terintegrasi dalam sistem/kurikulum pendidikan multikultural yakni integrasi bahan (content integration), proses mengkonstruksikan pengetahuan (the knowledge construction process), mengurangi prasangka (prejudice reduction), kesamaan pedagogis (pedagogy equity), dan pemberdayaan sekolah dan struktur masyarakat (empowering school culture and social structure).

***

Integrasi bahan di sini berkaitan dengan kemampuan seorang guru memanfaatkan variasi contoh, data, dan informasi dari bermacam budaya dan kelompok sosial untuk memberikan ilustrasi kepada peserta didiknya berbagai konsep, prinsip, generalisasi, dan teori kunci dalam disiplin atau bidang kajian mereka. Dengan ini, sang guru tidak terjebak pada satu sumber dan studi kasus yang saklek sehingga terkesan mono-perspektif. Kemudian, proses konstruksi pengetahuan adalah cara dan prosedur yang dilakukan ilmuwan dari berbagai macam bidang dalam menciptakan pengetahuan dan menelusuri kira-kira faktor apa saja yang memengaruhi konstruksi budaya, kerangka berpikir, serta bias-bias yang ada dalam sebuah disiplin keilmuan. Sebagai gambaran, jika konstruksi pengetahuan ini dilakukan di kelas, guru harus membantu peserta didiknya memahami bagaimana suatu pengetahuan diciptakan dan bagaimana, misalnya, perbedaan ras dan etnik memengaruhi pengetahuan atau posisi individu tau kelompok dalam tatanan masyarakat majemuk.

Baca Juga  Ibnu Khaldun: Tribalisme, Fanatisme, dan Teori Ashabiyah

Mengurangi prasangka dan kesamaan pedagogis terjadi saat guru menggunakan berbagai teknik dan metode yang memfasilitasi pencapaian akademik siswa dari berbagai ras, etnik, dan kelompok kelas sosial. Konsep pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial digunakan untuk mendeskripsikan proses merekonstruksi budaya dan organisasi sekolah sehingga siswa dari berbagai kelompok eas, etnik, dan kelas sosial akan merasaan kesamaan pendidikan dan pemberdayaan budaya. Intinya, pendidikan multicultural adalah tetap mempertahankan dan mempelajari kebudayaan masing-masing orang sehingga timbul rasa pengertian dan saling menghormati satu sama lain.

Kekurangan Pendidikan Multikultural di Indonesia

Junhao Zhang dalam jurnalnya berjudul Educational Diversity and Ethnic Cultural Heritage in the Process of Globalization mendapati bahwa pendidikan multikulturalisme secara eksplisit belum termuat dalam kurikulum di Indonesia karena relatif masih wacana baru. Saat meneliti pendidikan kewarganegaraan multikultural, Chang Yau Hoo dalam jurnalnya berjudul Multicultural Citizenship Education in Indonesia: The Case of a Chinese Christian School Multicultural Citizenship Education in Indonesia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia belum memiliki visi yang jelas mengenai pendidikan multikultural meskipun telah memiliki undang-undang pendidikan tahun 2003 dan panduannya tahun 2007 untuk penerapan model pendidikan multikultural bagi tingkat menengah. Hal tersebut dikarenakan pemerintah masih beranggapan bahwa multikulturalisme bisa dipelajari secara alami dalam proses interaksi yang terjadi dalam lingkungan sekolah. Karenanya, para guru menyiasatinya dengan menerapkan pendidikan multikulturalisme di kegiatan ekstrakurikuler siswa.

Urgensi pendidikan multkultural memang mendorong siswa untuk lebih terbuka dengan adanya berbagai budaya melalui komunikasi yang lebih intensif, beradu argumen, hingga pendekatan personal. Dengan demikian, akan tercipta keharmonisan di antara siswa dengan berbagai latar belakang etnis dan budaya.

Kesalahpahaman pendidik saat ini memang terlalu mengedepankan toleransi tanpa adanya pembahasan mengapa siswa harus melakukan demikian padahal jika siswa didorong untuk lebih kritis dan peduli maka budaya bangsa akan semakin konstruktif ataupun berkembang karena mampu menyeleksi budaya yang sesuai dengan hakikat manusia dan perkembangan zaman.

Baca Juga  Ustaz Evie Effendi Sebaiknya Belajar Bahasa Arab Lagi

*Artikel ini dihasilkan berkat kerjasama IBTimes.ID dengan INFID

Editor: Saleh

Yahya Fathur Rozy
39 posts

About author
Researcher | Writer | Project Manager
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds