–Moderasi- Pada hari Kamis (12/19) dihelat agenda besar yaitu Pengukuhan Guru Besar kepada Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2020 Dr. H. Haedar Nashir, M.Si di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Agenda yang dimulai pada pukul 08.00 s/d 10.30 itu dihadiri oleh utusan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) se-Indonesia, utusan Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia, utusan Ortom, Menteri Keagamaan Fachrul Razi, Menko PMK Muhajir Efendi, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, , Buya Ahmad Syafii Maarif, Malik Fajar, pejabat kampus UMY dan lain-lain.
Pada kesempatan tersebut, Haedar Nashir memberikan Pidato Pengukuhan dengan tema “ Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan; Persprektif Sosiologi”.
Dalam pidatonya, Haedar Nashir banyak menyinggung tentang issu-issu yang sedang hangat diperbincangkan di Indonesia. Yakni terkait radikal, radikalisme, dan ekstremisme.
“Radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan, lebih-lebih sama dengan terorisme. Sebagaimana sama keliru atau biasa jika dilekatkan pada satu aspek dan kelompok tertentu seperti radikalisme agama atau lebih khusus radikalisme Islam” kata Haedar.
Menurutnya, konsep radikal itu tidaklah linier. Bahkan dalam sejumlah definisi tampak ambigu. Hal itu sering bersifat sosiologis, tergantung pada orientasi dan relasinya dengan yang lain. termasuk dengan ektsremisme dan terorisme.
“Cara pandang serta langkah pencegahan dan penindakan oleh negara terhadap segala bentuk radikalisme haruslah adil, objektif, dan tidak diskriminatif” ujar Haedar.
Ia mengatakan bahwa issu radikalisme dan terorisme yang mewujud dalam narasi waspada kepada kaum “jihadis”, “khilafah”, dan “wahabi” sedang gencar-gencarnya dituntaskan akar permasalahannya dengan cara deradikalisasi. Haedar mengatakan bahwa radikalisme itu bukan issu sektarian yang hanya menyasar umat Islam, namun Issu itu bersifat universal dan bisa merambah ke semua lini. Seperti pembakaran masjid di Tolikara dan kasus pembantaian brutal di Masjid Christchurch di Selandia Baru, menjadi satu contoh kasus radikalisme dan terorisme yang pelakunya di luar kalangan muslim.
“Pelekatan radikal dan radikalisme pada konotasi Islam dan umat Islam merupakan bias dari cara pandang dan kebijakan negara-negara Barat yang beraura Islamofobia dan diawali oleh trauma politik pasca tragedi 11 September 2001 yang menghentak dunia itu”
“Hingga di sini penting untuk dikaji dan dirumuskan ulang tentang paham dan gerakan radikal di Indonesia dari satu sudut pandang dan hanya ditujukan pada radikalisme agama ke pandangan yang luas dan untuk semua jenis radikalisme. Hal itu diperlukan agar tidak terjebak pada “radikalisme melawan radikalisme” dan “proyek deradikalisme yang radikal melawan radikalisme”, yang kemudian melahirkan kebijakan dan tindakan radikal atasnama melawan radikalisme” imbuh Haedar dengan disaksikan Menteri Agama Fachrul Razi dengan seksama.
Maka kiranya, perlu reorientasi atau revisi konsep dan kebijakan “deradikalisme”. Hal itu relevan agar tidak salah pandang dan salah sasaran dalam melawan radikalisme, yang berujung pada salah kebijakan dan salah tindakan dalam melawan radikalisme di Indonesia.
Jalan moderasi, bagi Haedar, niscaya menjadi alternatif pilihan dari deradikalisasi untuk menghadapi segala bentuk radikalisme secara moderat. Menurutnya, moderasi Indonesia sesungguhnya merupakan kontinyuitas dari akar masyarakat di Kepulauan ini yang berwatak moderat dan telah mengambil konsensus nasional dalam bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang berdasarkan Pancasila dan ber-Bhineka Tunggal Ika sebagai titik temu dari segala arus keindonesiaan. Khusus bagi umat Islam, menurut Haedar, Indonesia sangat penting terus menembangkan moderasi Islam dalam arti membumikan Islam sebagai ajaran yang moderat untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Kenyataan memang masih dijumpai keberagamaan yang ekstrem atau radikal-ekstrem di tubuh umat Islam, sehingga memerlukan moderasi.
***
“Karenanya, moderasi merupakan jalan tengah dan penting bagi dunia Islam. Moderasi menjadi salah satu konsep kunci dalam Islam memberikan solusi ideal dan praktis untuk mengembangkan kepribadian individu serta mekanisme kontrol dalam masyarakat. Bagi umat Islam Indonesia jauh lebih mudah untuk gerakan moderasi karena watak dan ruang sosiologis dari masyarakat dan umat Islam di Kepulauan ini yang potensial moderat. Islam Indonsia sejatinya berkarakter moderat dan anti segala bentuk radikalisme, ekstremisme, dan terorisme” tutur Haedar.
Karenanya menjadi sesuatu yang bias dan peyoratif manakala radikalisme di Indonesia terbatas ditujukan objeknya pada radikalisme agama khususnya Islam sebagaimana tercermin dalam berbagai pandangan dan kebijakan deradikalisasi di negeri ini, yang belakangan menimbulkan kontroversi dalam kehidupan kebangsaan. Bias pandangan tersebut selain bertentangan dengan objektivitas kebenaran dan posisi Pancasila sebagaj tolok ukur bernegara, pada saat yang sama hanya akan menjadikan Islam dan umat Islam terdakwa dalam stigma radikalisme, sekaligus mengabaikan radikalisme lainnya yang tidak kalah berbahaya atau bermasalah bagi kepentingan bangsa dan negara.
“Cara pandang yang berlebihan dengan orientasi deradikalisasi atau deradikalisme yang overdosis bahkan dapat menjurus pada suatu paradoks: bahwa melawan radikal dengan cara radikal akan bermuara melahirkan radikal baru, sehingga Indonesia menjadi terpapar radikal dan radikalisme. Jika setiap hari isu radikalisme terus digulirkan, tanpa mengurangi usaha menangkal segala penyakit radikalisme, maka bumi Indonesia akan sesak-napas oleh polusi radikalisme. Apalagi jika isu radikalisme itu digelorakan dengan gaduh dan aura negatif, sehingga berapa puluh, ratus, ribu, dan juta pesan-pesan negatif yang terkandung dari ungkapan radikal, radikalisasi, radikalisme, deradikalisasi, dan deradikalisme yang menghiasi tanah, lautan, dan udara Indonesia yang mengandung dan menebar virus negatif di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta” pungkasnya
***
Secara panjang lebar, Haedar Nashir menjelaskan akar permasalahan timbulnya perbuatan radikal, radikalisme, dan terorisme menggunakan suatu pendekatan sosiologis.
Ia menyatakan bahwa penanggulangan tindakan radikalisme dengan deradikalisasi merupakan pilihan tindakan yang kontraproduktif. Menyelesaikan kasus radikalisme dengan deradikalisasi, menurutnya, hanya akan menimbulkan tindakan radikal-radikal yang lain. Karena cenderung saling berhadapan satu sama lain.
Alih-alih deradikalisasi sebagai solusi menangkal radikalisme, Haedar Nashir menawarkan metode moderasi yang lebih solutif dan efektif.
Haedar Nashir, di depan peserta acara, memberikan suatu perumpamaan sederhana perbedaan antara radikalisasi dan moderasi sebagai metode penuntasan radikalisme.
“Deradikalisasi itu misalnya menghapuskan materi tentang jihad dan menghapuskan pembahasan tentang khilafah di buku ajar, itulah contoh deradikalisasi yang tentu tidak benar. Karena khilafah dan jihad itu juga termasuk juga dalam khazanah keilmuan tentang Islam, yang tak mungkin kita mungkiri dan abaikan. Jika moderasi, kita tetap mengajarkan dan memberikan materi tentang khilafah dan jihad, namun kita berikan pemaknaan lain yang lebih mencerahkan dan pemaknaan yang sebenar-benarnya yang sesuai dengan spirit ajaran Islam yang sebenar-benarnya. Sehingga hal itu memberikan pencerdasan umat, bukan malah penghakiman” ujar Haedar.
.
Unduh teks Pidato Pengukuhan Lengkap di sini
.
Reporter: Yahya Fathur Rozy