Ajaran agama menyuruh kita untuk beramal yang terbaik di hadapan Tuhan. Dalam Al-Qur’an dikatakan,”Dia yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun” (QS:67:2). Ayat ini memberikan informasi kepada kita untuk beramal dengan kualitas yang terbaik.
Secara kebahasaan, ayat di atas menggunakan kata “Ahsanu Amalaa” yang artinya amal yang terbaik. Nabi sudah memberikan keteladanan kepada kita, dengan ungkapan-ungkapan bijaknya.
Nabi dikenal sebagai “Jamiul Kalimi”, yang punya ungkapan yang singkat, mudah dipahami, dan sarat dengan makna. Nabi punya retorika yang sangat bagus dalam menyampaikan pesan-pesan wahyu dan pesan kenabian.
Para sahabat Nabi adalah orang pertama menerima pesan-pesan dari Nabi, apakah itu berupa wahyu atau pesan berasal dari Nabi, berupa perkataan-perkataan Nabi yang disebut dengan hadist Nabi. Seluruh sahabat Nabi itu akan menjadi juru bicara Nabi, setelah Nabi wafat.
Para sahabat berperan sebagai mediator wahyu dan sunnah Nabi kepada para generasi sesudah sahabat yakni para tabi’in. Setelah tabi’in adalah tabi’in-tabi’in kemudian dilanjutkan ulama-ulama salaf atau ulama-ulama madzhab, kemudian sesudahnya yaitu zamannya Imam Al Ghazali dan seterusnya, mereka inilah yang menjadi penerus para Nabi yang dikenal dengan “warasatul ambiya”.
Keteladanan Nabi dan Sahabat-Sahabat dalam Beragama
Nabi dan para sahabat-sahabatnya telah memberikan keteladanan dalam beragama, baik yang berkaitan dengan ibadah yang berhubungan langsung kepada Tuhan atau ibadah mahdha maupun ibadah yang berkaitan dengan hubungan sosial di antara sesama manusia atau ibadah ghairu mahdha.
Dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama, Nabi dikenal punya retorika atau komunikasi yang menarik atau dalam istilah “jamiul kalimi”, punya komunikasi yang singkat, padat, syarat dengan makna dan menarik. sehingga ajaran-ajaran atau pesan-pesan yang disampaikannya, mudah diterima oleh para sahabat.
Retorika ala Nabi atau komunikasi ala Nabi ini, diadopsi oleh para sahabat. Salah satu sahabat yang punya bakat dalam ilmu retorika yang bagus adalah Ali bin Abi Thalib. Salah satu kitab yang menghimpun perkataan-perkataan Ali adalah Nahjul Balanga atau Puncak Kefasihan.
Banyak ulama atau cendekiawan muslim maupun non-muslim yang menjadikan kitab ini menjadi rujukan; para kyai di pesantren-pesantren tradisional maupun modern sampai ke kampus-kampus perguruan tinggi ternama menjadikan kitab ini sebagai bacaan utama.
Ali di mata Nabi punya tempat tersendiri, khususnya di bidang keilmuan. Dia juga dikenal sebagai sahabat yang sangat cerdas. Nabi pernah memujinya, dengan ungkapan “Ana madinatul ilmi wa Aliyyu babuha”, Saya adalah pusatnya ilmu dan Ali sebagai pintu masuknya. Perkataan Nabi ini punya arti yang sangat dalam, khususnya dalam aspek keilmuan.
Nabi memberi legitimasi atau pengakuan kepada Ali sebagai orang yang punya kapasitas dalam menterjemahkan keilmuan dari Nabi. Ali adalah model kyai yang intelektual dan intelektual yang kyai, model seperti Ali ini adalah model yang sangat langka hari ini. Kita butuh warasatul anbiya seperti model Ali ini. Di samping punya komunikasi keilmuan yang mumpuni, juga punya akhlak yang baik.
Cerdas dalam Beragama
Prof Quraish Shihab, salah satu ulama tafsir sekaligus cendekiawan muslim Indonesia yang punya banyak karya-karya intelektual dalam salah satu karyanya, yakni “Yang hilang dari kita Akhlak”, banyak mengangkat tema-tema akhlak seperti akhlak-akhlak yang terpuji maupun akhlak yang tidak terpuji.
Buku ini sangat baik menjadi konsumsi atau bacaan dasar bagi para generasi muda maupun cendekiawan atau mubaligh muda hari ini. Banyak muncul intelektual-intelektual muda hari ini dan punya wawasan yang luas tentang keilmuan Islam, tapi disatu sisi tidak diimbangi dengan akhlak yang baik. Itulah yang banyak terjadi hari ini, punya keilmuan yang mumpuni, tapi minus akhlak.
Dalam konsep Al-Qur’an, ulama atau cendekiawan yang dibutuhkan sebagaimana yang terdapat dalam ayat “Ajaklah kejalan Tuhanmu, dengan hikmah, nasehat yang baik, dan argumentasi yang terbaik”, tipe-tipe yang punya perkataan-perkataan yang hikmah atau kebijaksanaan, tidak keras, tidak melukai hati umat atau obyek dakwah, ada hikmah-hikmah yang membuat mudah diterima oleh masyarakat atau umat.
Kelanjutan ayat di atas adalah nasehat yang baik, ulama, kyai, ustadz, cendekiawan muslim adalah orang yang identik dengan perkataan-perkataan yang baik, orang yang menyatu dengan dirinya nasehat yang selalu mengajak kepada kebenaran, hikmah, dan nasehat yang baik.
Dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya adalah dua hal yang sama arti dan pengertiannya. Nasehat yang baik itu akan melahirkan hikmah atau kebijaksanaan, demikian juga dengan hikmah itu juga salah satu bentuk nasehat yang baik.
Di samping kedua bentuk komunikasi tersebut, juga hal yang sangat penting adalah argumentasi yang baik dan kuat. Ini juga perlu mendapat perhatian bagi para cendekiawan, ulama, ustadz, mubaligh untuk memperkuat dirinya dengan dasar-dasar filsafat atau ilmu logika.
Sebab ini juga salah satu kelemahan para da’i, mubaligh, ustadz, yakni lemahnya daya berfikir atau logika dan dasar-dasar filsafat mereka tidak kuat, sehingga mereka kurang dapat memberikan argumentasi atau menjawab persoalan umat yang semakin rumit. Itulah beberapa hal yang perlu dimiliki oleh para da’i, mubaligh dan ustadz, supaya dengan dasar tersebut dapat menjawab persoalan-persoalan umat yang selalu berkembang, sekaligus juga menjadi cara cerdas dalam beragama.
Editor: Soleh