Sejenak merenung ulang, bagaimana pun juga topik tentang intelektual, tentu saja tak asing di telinga kita. Masyarakat dewasa ini, sebenarnya masih percil yang buta tak kenal warna. Bagaimana tidak, selain bersikeras menuduh seenaknya, para akademisi justru malah diperlakukan sebagaimana penjahat pada umumnya.
Sebut saja di tahun 1898, melalui radar dari seorang novelis terkemuka di Perancis, Emile Zola menyatakan bahwa Dreyfusard (pembela Alfreld Dreyfus) terancam pupus. Sejak saat itu, mensiklus tipu muslihat perwira artileri Perancis, Alfreld Dreyfus dihukum mati atas tuduhan penghianatan dan segalanya dibungkus menjadi mata-mata militer.
Ilustrasi yang disajikan Dreyfusard adalah ilustrasi yang menyajikan peran intelektual sebagai pembela keadilan yang menerobos kekuasaan dengan nyali tiada tandingan.
Namun, malahan mereka tidak dijunjung seperti halnya jati diri pemimpin. Bahkan, sebagai kelas minoritas justru Dreyfusard terkucilkan dalam lingkaran intelektual arus utama.
Siapakah intelektual yang dimaksud itu? Mendengar pertanyaan khas di mata memandang, inilah pemaparan yang reflektif tentunya, terutama dalam pandangan ajaran Islam sendiri.
Secuil tentang Identitas Intelektual
Secara mendasar, intelektual adalah figur manusia yang kolot terhadap kreativitas. Tentu saja kalangannya tidak serta merta melupakan dalam mencari kemungkinan baru yang tentu jauh lebih menarik ketimbang sebelumnya.
Secara implisit ini menjadi pemantik tentang sikap hidup. Bahkan bukan hanya sekedar memposisikan pada pendidikan belaka, tetapi juga memposisikan dari yang sifatnya begitu pasif menjadi aktif dalam menyoal keberagaman polemik di sekitar.
Adapun syarat untuk meraih identitas intelektual. Pertama, bersikukuh dengan pengalaman yang semakin hari semakin berkembang dan mampu merangkulnya. Kedua, menjalani kehidupan sebagai ajang pembelajaran yang terus menerus terevaluasi.
Ketiga, mampu menyederhanakan segala problematika yang sulit dengan aspek psikologi. Keempat, memiliki daya berfikir yang sehat dan jernih.
Masyarakat, Keadilan, dan Intelektual
Di mana-mana, keadilan memang entitas di luar jangkauan. Karena keadilan pada umumnya adalah memberikan sepeser apa pun itu kepada orang yang seharusnya menjadi satu-satunya hak kepribadian. Pangkal lidah dari sumber ketidakadilan pun, disebabkan adanya pembentrokan antara perubahan dan masyarakat.
Elemen dasar yang memang perlu menjadi sandaran dalam mendukung masyarakat supaya utuh. Tentunya, perlu mengadakan rehabilitasi terhadap seluruh aktivitas intelektual kelas penguasa. Propaganda terus menerus melonjak, bahkan bertujuan untuk menyamaratakan pemikiran dengan satu titik. Seluruh inovasi pendidikan, peraturan, dan agama sesegera mungkin dicegah.
Nyaris tentunya dibilang sebutan nama. Sementara untuk keadilan masyarakat, sebagai landasannya berupaya mengembalikan ke tempat struktur aslinya. Artinya, keadilan bukan semata-mata bebicara hubungan antar individu, melainkan antar semua hal yang terlibat di sekitarnya.
Intelektual Sebagai Integritas dalam Pandangan Ajaran Islam
Pemimpin adalah gelar permanen manusia sebagai jiwa yang tegar. Memang bisa dibilang tegar, tetapi pupus rasanya manakala jiwa kurang terawat yang tentu hawa nafsu mendarah daging di dalam dirinya. Perkataan, perbuatan, perasaan, dan pengetahuan, secara implisit menjadi prinsip kesesuaian sebagai integritas intelektual.
Di dalam Al-Qur’an, nama sebutan terdekat daripada integritas intelektual adalah as-Shiddiq yang berarti jujur karena terproses dari kesesuaian terkait hal-hal yang benar. Lantaran seperti itu, integritas seorang pemimpin ditentukan berdasarkan baik karakter moral; iman, islam, ihsan, dll maupun karakter kompetensi; komunikatif, kritis, kolaboratif, dll.
Karakter integritas intelektual ini, harus berbasis dari nilai-nilai yang terwujud dalam suatu sistem daya dorong bersifat pemikiran, sikap, bahkan perbuatan yang secara intrinsik bisa diaktualisasi semaksimal mungkin. Di lain sisi pula, termasuk dari internalisasi nilai-nilai yang semulanya berasal dari lingkungan sendiri dan menjadi bagian tersendiri dari kepribadiannya.
Dalam Islam, integritas intelektual disebut atas nama sebuah karakter sempurna yang tentu berkualitas. Menakar suatu harkat tertinggi darinya pun menjadi proses keharusan yang tidak serta merta bisa ditawar.
Bagian ini menjadi bahan terpenting terhadap dikukuhkannya atas dasar sabda Rasullulah yang menghubungkan akhlak dengan kualitas, kemauan, amal perbuatan, dan jaminan masuk surga.
Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter mulia tentu merupakan sistem pusat dari perilaku yang dituntut langsung dalam agama Islam melalui nash Al-Qur’an dan hadits.
Lantaran demikian, intelektual yang sesungguhnya dalam pandangan Islam harus berprinsip moralitas berbasis integritas tertinggi yang dikembangkan pada potensi dalam diri masing-masing.
Editor: Yahya FR