Perspektif

Pentingnya Seseorang Punya Cara Pikir Ilmiah

4 Mins read

Ilmiah – Pernah dalam suatu forum, Buya Syafii (Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif) menyarankan kepada kita semua agar menjadi orang yang gemar membaca. Dengan ekspresi yang khas; kritikal dan provokatif, ia menyatakan, “Seandainya iblis menulis dan menerbitkan buku sekalipun, kita harus membacanya.”

Tentu itu ungkapan yang kuat, tajam, dan penuh keberanian, yang disampaikan Buya di hadapan bukan hanya komunitas intelektual cum aktivis, namun juga para dai yang gemar memainkan dalil keagamaan dalam berdakwah.

Dua Reaksi yang Timbul dari Perkataan Buya

Ungkapan itu mengundang banyak reaksi. Sekurang-kurangnya di antara reaksi yang ada, ada dua kelompok besar yang pendiriannya patut untuk kita pertimbangkan dan evaluasi.

Reaksi pertama muncul dari kelompok dai konservatif. Tanpa pikir panjang, jatuhlah vonis bahwa apa yang disampaikan Buya adalah hal yang sangat beresiko membawa kita terjerumus dalam jurang kekafiran.

Ungkapan itu dianggap, secara teologis, bersifat subversif. Membaca buku karangan iblis, adalah hal yang bisa membawa kita justru mengikuti segala bujuk rayunya.

Termasuk secara intelektual, mempertanyakan dimensi tauhid agama Islam dengan menggunakan argumentasi filosofis yang sukar dibantah.

Sebaliknya, kelompok pemikir liberal mengungkapkan reaksi yang berbeda. Mereka menyatakan bahwa karangan iblis sekalipun penting sekali untuk dibaca, karena kita harus memiliki kesempatan untuk mengevaluasinya secara kritis terlebih dahulu, sebelum membuat kesimpulan atas ide, gagasan, atau wacana tertentu yang kita hadapi.

Mengenai bahwa kesimpulan tersebut berpotensi membawa kepada kesesatan dan siapa saja merdeka untuk memilih jalan hidupnya, itu persoalan lain.

Kedua respon tersebut sangat menarik. Dua-duanya memang menunjukkan betapa dalam merespon gagasan tertentu, mereka memiliki sudut pandang masing-masing. Lebih dari itu, mereka memiliki asumsi dasar tentang kebenaran.

Baca Juga  Pilkades Serentak dan Wajah Demokrasi Kita

Mereka tidak memahami sesuatu secara “grounded” (kosongan dan alamiah) sebagaimana upaya yang dilakukan oleh para fenomenolog yang membiarkan “obyek yang ditelitinya mengirimkan berbagai informasi penting yang dibutuhkan oleh subyek.”

Keunggulan Masing-Masing Respon

Hal menarik berikutnya adalah, berdasarkan berbagai asumsi dasar yang dimiliki, masing-masing respon memiliki keunggulannya, yang dengan sengaja atau tidak ingin disampaikan kepada khalayak di hadapan mereka.

Respon dai konservatif memiliki kehendak untuk meyakinkan bahwa prinsip-prinsip akidah yang kuat sangat penting bagi kita semua. Sebaliknya, menurut kelompok liberal, prosedur dan tata cara berpikir ilmiah yang benar, yang berimplikasi pada kemerdekaan berpikir dan berbicara, adalah hal terpenting dalam dunia intelektual.

Yang menjadi persoalan, adakah jalan tengah di antara keduanya? Maksudnya, sebagai seorang intelektual dan aktivis Muslim, apakah mungkin jika kita memiliki akidah yang kuat, bersikap saleh dan penuh kebajikan, tapi sekaligus menjunjung tinggi tradisi akademik yang dikonstruksi hanya berdasarkan data-data ilmiah yang valid, releban dan kredibel?

Tentu saja mungkin. Buya Syafii menyarankan agar kita bahkan harus membaca karangan iblis sekalipun, agar kita memiliki “dalil” yang kuat dalam berpendapat.

Dalil dalam hal ini bermakna argumentasi dan bukti-bukti ilmiah yang tak terbantahkan. Karena itu, kalau kita berbicara berdasarkan dalil (argumentasi dan bukti ilmiah) maka sekalipun kita mengritik iblis, maka akan sulit dipatahkan oleh lawan-lawan kita.

Pentingnya Punya Pola Pikir Ilmiah

Buya sedang menyoroti betapa pentingnya kerangka berpikir ilmiah sebagai penguat keimanan kita. Dalam konteks ini, ilmu dan iman adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Dengan ilmu,  manusia tidak akan bodoh dan bebal.

Sebaliknya, dengan iman akan terbimbing ke jalan yang benar (shirath al-mustaqim). Keduanya adalah bekal untuk melakukan amal saleh, untuk berbagi kemanfaatan dengan sesama dan mendorong terjadinya kemashlahatan publik yang signifikan.

Baca Juga  IMM Bukan Ikatan Mahasiswa Manja

Buya mengajak kita berpikir kritis sekaligus komprehensif. Tidak membuat pincang ilmu dan amal. Tidak memperlawankan keduanya. Maka dalam konteks perbincangan filosofis ini, tidak ada pertentangan antara “wahyu dan akal.”

Seandainya kita memaksa keduanya bertentangan, maka sebenarnya yang terjadi adalah pertentangan antara akal (penafsiran yang konservatif, skripturalistik, dan legalistik) dengan akal (penafsiran yang liberal, kontekstual  dan moralistik).

Atas filsafat kritis yang diajukan Buya inilah kemudian kita bisa dengan mudah memahami betapa penting integrasi ilmu-ilmu pengetahuan. Ketika memahami ilmu-ilmu keislaman, perlu juga ditopang dengan ilmu-ilmu seni, ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu terapan, ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu lainnya.

Integrasi Ilmu Pengetahuan

Setali tiga uang dengan pemikiran filosofis Buya, Prof. Dr. Amin Abdullah menunjukkan secara lebih sistematis masalah integrasi ilmu-ilmu keislaman, seni, humaniora, sosial, sains dan teknologi.

Lebih dari itu, Guru Besar Filsafat ini juga menunjukkan kompleksitas kajian keislaman yang berkaitan dengan masalah normativitas (hal-hal yang bersifat normatif) dan historisitas (hal-hal yang bersifat faktual, empiris dan menyejarah).

Kata Prof. Amin, mesti ada pendekatan baru ketika memahami ilmu-ilmu keislaman. Bukan dengan disiplin ilmu yang tunggal dan monolitik, tetapi yang beragam, saling sapa, saling pinjam, dan saling membangun secara progresif.

Antara ilmu yang satu dengan yang lain bisa dielaborasi secara multidisipliner, interdisipliner, dan transdisipliner. Multidisipliner artinya menggunakan lebih dari satu disiplin ilmu sekaligus untuk memahami sesuatu (obyek kajian). Sementara interdisipliner adalah mengombinasikan lebih dari satu disiplin ilmu. Sedangkan transdisipliner, mengelaborasi berbagai hasil kajian interdisipliner sekaligus.

Tentu saja, mengenai integrasi usulah Prof. Amin ini bukanlah mazhab ilmu pengetahuan tertentu yang ideologis-tertutup dan kaku. Inilah mazhab ilmu pengetahuan yang inklusif dan progresif.

Baca Juga  Filsafat Bahasa Biasa: Menulis itu Biasa Saja!

Disebut inklusif karena senantiasa terbuka terhadap segala bentuk perubahan dan kemajuan, sementara disebut progresif karena berorientasi pada kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Memang hakikat ilmu pengetahuan, sejauh yang dipahami dan diketahui manusia, pada prinsipnya memiliki kebenaran yang bersifat temporal, sementara, dan relatif.

Karena itu, dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan — sejauh yang dipahami manusia yang tidak maksum — maka sebagaimana ungkapan Friedrich Hegel, “Kebenaran adalah kekeliruan yang belum terungkap.”

Pembicaraan Hegel bukan sama sekali soal teologi. Bukan menyangkut Tuhan yang transenden. Tapi soal “pemikiran manusia” tentang apa yang dipikirkannya.

Jadi, Buya mengajak kita berpikir kritis dalam kerangka ilmu pengetahuan ilmiah. Sementara Prof Amin mengajak kita lebih bijaksana dan bersahaja, karena itu dalam konteks elaborasi ilmu pengetahuan, para sarjana dalam berbagai disiplin ilmu perlu bekerjasama satu sama lain demi memecahkan masalah yang dihadapi. Pada akhirnya, marilah kita untuk berani berpikir secara kritis, ilmiah, namun bertanggungjawab dan bijaksana.

Editor: Yahya FR

Avatar
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *