Dewasa ini, makna dan tujuan pendidikan Islam dianggap telah berubah kiblat akibat arus modernisasi dan sekulerisasi. Kalangan peserta didik beserta orang tuanya terserang (diploma disease) atau penyakit diploma di mana pendidikan hanya untuk meraih gelar dan melewatkan kepentingan pendidikan itu sendiri. Diploma disease merefleksikan esensi pendidikan yang hanya sebatas alat mobilisasi sosial-ekonomi.
Dalam konteks ke-Indonesian, Albar Adetary Hasibuan melihat hampir semua lembaga perguruan tinggi atau universitas lebih memilih membuka fakultas yang menjanjikan lahan pekerjaan. Orang tua dan peserta didik juga demikian, fakultas ekonomi atau kedokteran dianggap lebih menjamin dibandingkan memilih fakultas filsafat atau sastra. Meski sejatinya, menurut Albar Adetary Hasibuan, semua ilmu adalah sama tergantung pada sejauh mana ia mengamalkan ilmu pengetahuan yang Ia dapat.
***
Terlepas dari problematika di atas, diskursus pendidikan tetap dianggap krusial dalam dunia pemikiran Islam. Pendidikan adalah instrumen yang akan menjembatani relasi antara Tuhan dengan manusia dalam skop religiositas. Menurut Prof. Dr. H. Muhaimin, MA., ummat Islam dituntut memiliki konsep pendidikan yang kuat, baik itu dari segi metafisika, epistemologis, konsep maupun dalam tatanan praksis. Pendidikan Islam menuntut bisa mengaplikasikan apa yang terkandung dalam wahyu Ilahi dan sunah rasul. Sehingga kesalahan memilih pijakan dalam kiblat ilmu pengetahuan akan berakibat fatal.
Karya tulis Albar Adetary Hasibuan, M. Phil., menawarkan Buku Filsafat Pendidikan Islam Tinjauan Pemikiran Al-Attas dan Relevansinya dengan Pendidikan di Indonesia. Pemikiran Al-Attas berorientasi pada pengkajian ulang ilmu dan Islamisasi Ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge). Islamisasi ilmu pengetahuan adalahi konsep fundamental dalam Islam seperti konsep agama (din), konsep manusia (insan), konsep (‘ilm dan ma’rifah), konsep keadilan (‘adl), amal yang benar (‘amal sebagai adab) harus dimasukkan kedalam tubuh ilmu apapun yang dipelajari oleh umat Islam.
Mengenal Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Siapa yang tidak mengenal Syed Muhammad Naquib Al-Attas, atau yang lebih sering disapa Prof. Al-Attas. Nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin. Lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Al-Attas merupakan putra kedua dari tiga bersaudara, pasangan Syed Ali Al-Attas dengan Syarifah Raquan Al-Aydrus yang merupakan keturunan ningrat dari Sunda di Sukapura.
Pendidikan Al-Attas berawal di Ngee Heng English School Malaysia (1936-1941) yaitu pada jenjang pendidikan rendah (Lager Onderwijs) atau setingkat dengan pendidikan dasar masa sekarang. Ia melanjutkan pendidikan di Masrasah Al-‘Urwatu Al-Wustqa Sukabumi (1941-1945); Bukit Zahra School; English College (1946-1951); The Royal Militery Academy, Sandhurst, Inggris (1952-1955); hingga Universitas Malay (1957-1959).
Al-Attas memperoleh beasiswa pascasarjananya dari Canada Council Fellowship dan pada tahun 1965, Al-Attas berhasil meraih gelar Doctor of Philosophy dari School of Oriental and African Studies (SOAS), Universitas London. Ia juga memperoleh gelar profesor di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) untuk studi sastra dan kebudayaan melayu dan diangkat menjadi Dekan fakultas bahas dan sastra Melayu (UKM). Al-Attas juga mendirikan Institut Bahasa, Sastra dan Kebudayaannya (IBKKM) 1973.
Al-Attas juga menjadi Profesor Tamu (Visiting Profesor) dalam bidang studi Islam di Universitas Temple, Philadelphia Amerika (1976-1977). Ia diangkat menjadi ketua lembaga Tun Abdul Razak untuk studi Asia Tenggara di Universitas Ohio, Amerika. Ia bahkan menggagas, mendirikan sekaligus menjadi rektor perguruan tinggi ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) Kuala Lumpur, Malaysia yang disiarkan pada tahun (1987) sampai sekarang.
Filsafat Pendidikan Islam
Terdapat banyak definisi terkait dengan filsafat pendidikan. Dalam karya tulis Albar Adetary Hasibuan sendiri, Ia maknai filsafat pendidikan sebagai sebuah aplikasi suatu analisis filosofis terhadap pendidikan. Dengan mengkaji filsafat Pendidikan, maka persoalan pendidikan akan dapat dipahami dan dikembangkan. Albar Adetary Hasibuan dalam filsafat pendidikan Islam di Indonesia mengkaitkan Al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai dasar pendidikan dunia Islam.
Pancasila sebagai landasan etika kegiatan bangsa Indonesia dianggap telah mewakili Al-Qur’an dan hadis Nabi dalam sila-silanya. Sebagaimana ajaran Islam pada dasarnya bersifat universal. Keterkaitannya dengan konsep Al-Attas yang akan dibahas ialah, gagasan tersebut dianggap dapat menjadikan sesorang menjadi beradab, menjadi seorang negarawan yang baik. Individu yang baik yang akan membentuk masyarakat yang baik pula.
Filsafat Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas ditinjau dari Filsafat Pendidikan
Pendidikan dalam konsep Al-Attas adalah ta’dib. Bagi Al-Attas, ta’dib adalah padanan kata yang tepat dan benar bagi pendidikan. Ta’dib sendiri sudah mencakup tarbiyah dan ta’lim ataupun kedua-duanya. Ta’dib menunjukkan pendidikan intelektual, spiritual, dan sosial bagi anak muda maupun orang dewasa. Al-Attas melihat bahwa istilah ta’dib sebagai konsep pendidikan sudah mencakup ilmu sekaligus amal.
Pemakaian istilah ta’dib bukan merupakan sesuatu yang baru, melainkan merepresentasikan secara sistematis istilah yang sudah lama dipakai pada zaman nabi dan sahabat. Pemikiran Al-Attas sejalan dengan parenialisme yang mengambil jalan refresif atau bact to culture. Ia sedikit bernostalgia dan berusaha menghadirkan masa lalu ke zaman sekarang dengan sedikit modifikasi.
Pendidik atau muaddib dalam pandangan Al-Attas layaknya seorang ayah. Ia dapat mengamalkan adab, menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan, serta mengembangkan aspek rohani dan jasmani peserta didiknya. Muaddib juga dituntut memiliki sifat sabar. Sementara peserta didik diharapkan dapat memilih muaddib terbaik dengan reputasi yang tinggi. Serta, Ia dituntut untuk menghormati dan percaya sepenuhnya pada sang muaddib sebagai tokoh sentral dalam proses pendidikannya.
Relevansi Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas dengan Pendidikan di Indonesia
Sistem pendidikan nasional telah dirancang sedemikian rupa. Kesetaraan hak dalam mengenyam pendidikan juga telah ditetapkan dan berjalan dengan cukup baik di Indonesia. Sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 mengenai jalannya sistem pendidikan nasional, “Tiap-tiap warga negara yang baik berhak mendapat pengajaran.” Lebih spesifik lagi, dalam UU no. 20/2003 bab V pasal 12 ayat 1 (b) juga menyebutkan bahwa “Peserta didik berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.”
Al-Attas melihat bahwa the loss of adab adalah permasalahan yang paling fundamental dalam kemunduran umat Islam saat ini. Ia mengatakan bahwa adab adalah pengetahuan yang dapat mencegah manusia dari kesalahan-kesalahan penilaian. Ia menawarkan solusi untuk permasalahan yang telah disinggung sebelumnya melalui ta’dib bukan tarbiyah ataupun ta’lim. Albar Adetary Hasibuan menilai bahwa konsep ta’dib sebagai pondasi menuntut ilmu relevan dengan konsep tujuan pendidikan di Indonesia.
UU no. 20/2003 bab II pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menurut Albar Adetary Hasibuan, dengan menerapkan konsep ta’dib secara komprehensif dalam sistem pendidikan nasional, maka apa yang selama ini menjadi penghambat tujuan pendidikan nasional akan teratasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam konsep ta’dib sebagai merupakan kunci untuk mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia. Ta’dib sebagai konsep pendidikan yang ideal tentunya diharapkan akan mencetak manusia Indonesia yang bersusila.
Editor: Yahya FR