Selama 141 tahun yang lalu, seorang perempuan dikenang melalui spirit emansipasinya atas manusia. Masih dalam suasana 21 April, hari yang kita kenal sebagai hari emansipasi perempuan, hari lahirnya Kartini. Tanda bahwa Indonesia memiliki sejarah perlawanan perempuan menuntut hak untuk dicerdaskan dan mendapatkan akses ke berbagai sektor kehidupan, sampai detik ini.
Sejak orde baru, peringatan itu didistorsi pemaknaannya sebagai hari kebaya, sanggul, dan make up di wajah. Yang tak ubah hanya symbol kebersolekan perempuan atas rapuhnya fisik tanpa dimaknai kontekstualisasi pemikiran dan spirit-spirit perjuangan Kartini.
Peringatan Hari Kartini kali ini nampak berbeda. Tak hanya dihikmati bersamaan dengan kondisi pandemi global coronavirus, tak ada lagi kontes-kontes kebaya, sanggul, dan make up sebagai suatu upaya pemutus rantai penyebaran virus covid-19.
Namun ada beberapa hal yang masih juga tak berubah. Salah satunya yakni masih banyak bermunculan tulisan-tulisan, opini, dan argumen yang santer meng-counter Kartini sebagai pahlawan nasional.
Saya sangat paham kegelisahan banyak orang yang selalu mempertanyakan “mengapa hanya Kartini yang diberikan hari peringatan khusus?”, “mengapa selalu Kartini yang dijadikan gambaran sikap perlawanan dan perjuangan perempuan, padahal banyak pahlawan perempuan Indonesia lainnya yang jauh lebih nyata kontribusinya?”.
Berbagai macam keresahan menyeruak, termasuk perbandingan-perbandingan antara Kartini dengan pahlawan perempuan Indonesia lainnya. Seperti Cut Nyak Dien dari Aceh yang ikut turun ke medan perang untuk melawan penjajah, Rohana Kudus sebagai jurnalis perempuan pertama dari Padang yang memperjuangkan hak-hak dan emansipasi perempuan melalui media persnya, Dewi Sartika yang mewarisi perjuangan pendidikan untuk perempuan sepeninggal Kartini, hingga Siti Walidah sebagai tokoh pendiri organisasi perempuan Islam terbesar, Aisyiyah, yang datang dari Jogja.
***
Beberapa orang mengkritik Kartini hanya memanfaatkan privilege-nya sebagai seorang perempuan anak Bupati Jepara, yang sejak lahir telah banyak mendapatkan hak-hak istimewa ketimbang perempuan lain seusianya. Selain itu, Kartini dianggap sebagai penjilat kepada pihak penjajah (Belanda) melalui korespondensinya dengan beberapa teman di Belanda, hingga tuduhan-tuduhan konspirasi Kartini sebagai antek dan kedok penjajah menghegemoni sejarah pahlawan perempuan Indonesia.
Keresahan-keresahan ini pada akhirnya membuat saya cukup geram, dan memunculkan kembali pertanyaa-pertanyaan. “Mengapa kita harus selalu membandingkan perempuan yang satu dengan perempuan lainnya?”, “Mengapa kita harus membandingkan Kartini dengan Rohana Kudus? Atau dengan Siti Walidah? Cut Nyak Dien? Atau Dewi Sartika?”.
Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita perlu tahu kondisi kita dan dunia hari ini mengenai pandemi atau wabah yang menyebar secara masif di seluruh penjuru negeri.
Pandemi Injustice and Inequality
Di tengah-tengah pandemi global covid-19 ini, yang tak juga kita ketahui akhirnya, kita masih saja disibukkan dengan berbagai PR-PR besar tentang penanganan injustice (ketidakadilan) dan inequality (ketidaksetaraan). Baik antar gender, antar kelas sosial, maupun ekonomi dan ketimpangan-ketimpangan lainnya. Dua hal ini menjadi momok beribu tahun yang lalu, sejak era sebelum Kartini tercerahkan hingga hari ini, di zaman yang telah maju dengan berbagai teknologi modern.
Ketidakadilan dan ketidaksetaraan ini adalah bentuk dari pandemi global yang juga tak kunjung rampung penyelesaiannya. Penyebarannya merata ke seluruh pelosok dunia, dan terus diperjuangkan setiap hari dengan berbagai tuntutan. Menuntut kesadaran dan mendesak berbagai pihak menciptakan sistem yang adil, setara, dan inklusif.
Salah satu pandemik ini adalah injustice and inequality dalam kontestasi gender. Seperti kata Mansour Fakih, hal ini ditandai dengan masih banyaknya praktek-praktek subordinasi, marjinalisasi, stereotype, kekerasan, juga beban kerja ganda terhadap seluruh makhluk bumi. Dan covid-19 makin memperjelas semua ketimpangan ini.
Komnas Perempuan mencatat selama pandemi coronavirus, kekerasan domestik (KDRT) meningkat di banyak negara termasuk Indonesia sekitar 75%, banyak perempuan miskin makin miskin dan kelaparan meningkat 10%. Perempuan-perempuan buruh banyak kehilangan pekerjaanya karena di-PHK, janda-janda, lansia, dan disabilitas menjadi kelompok miskin baru, yang makin terlupakan.
Banyak dari perempuan-perempuan ini adalah tulang punggung keluarga, namun publik banyak yang lupa. Menganggap semua baik-baik saja karena perempuan akan bertahan bersama laki-laki atau keluarganya. Perempuan masih dianggap sebagai kelompok lemah yang tanggungjawabnya ditanggung banyak pihak, bukan diri mereka sendiri.
***
Pandemi covid-19 harus segera ditangani dan diselesaikan dengan kebijakan-kebijakan yang tepat. Begitu juga pandemi injustice and inequality perlu diberikan perhatian lebih atas penyelesaiannya secara bersamaan.
Misalnya, segera sahkan RUU PKS untuk pencegahan dan penanganan kekerasan domestik maupun publik. Menciptakan kebijakan-kebijakan baru tentang kesetaraan ekonomi yang ramah perempuan dan juga kelompok minoritas.
Mendata perempuan-perempuan miskin yang menjadi tulang punggung keluarga dan memberikan bantuan khusus kepada mereka, tak lupa lansia dan teman-teman disabilitas ikut ditanggung kesejahteraannya.
Perempuan Indonesia, Pantaskah Dibanding-bandingkan?
Di samping pandemi injustice and inequality, tenyata “epidemi membanding-bandingkan” perempuan satu dengan perempuan lain juga terjadi Indonesia. Bahkan, kepada orang-orang yang mengatakan diri mereka sebagai manusia modern. Wabah ini menjalar di setiap lini kehidupan dan menjadikannya sebagai sebuah kebenaran yang diyakini banyak orang. Terus menguat menjadi banalitas kebudayaan.
Hari Kartini, sebagai hari peringatan atas salah seorang pahlawan perempuan yang paling diketahui publik, sebenarnya memiliki potensi untuk mengenalkan pahlawan-pahlawan perempuan lainnya. Menjadikan Hari Kartini sebagai hari di mana kita bersama mengingat dan merefleksikan pahlawan-pahlawan perempuan lainnya yang ada bersama Kartini melalui perlawanan dan konteks tempat serta situasi yang berbeda-beda.
Instead of membanding-bandingkan dan menyesalkan hanya hari Kartini saja yang diperingati, mengapa tidak kita kontekstualisasikan peran-peran pahlawan perempuan kita dengan berbagai masalah Indonesia hari ini?
Kartini dan Dewi Sartika dapat kita hikmati perjuangananya dalam menciptakan pendidikan untuk perempuan agar dapat membaca dan menulis, sebagai solusi masalah masyarakat dipelosok Indonesia yang hingga hari ini masih banyak yang tidak dapat membaca dan menulis. Rohana Kudus dengan perjuangannya menciptakan pers yang berimbang, factual dan ramah perempuan, di mana media dan pers kita hari ini masih saja berwajah maskulin serta tidak adil perempuan.
Siti Walidah dengan perjuangannya mendakwahkan syiar Islam lewat organisasi perempuan dan membentuk ulama-ulama perempuan, demi terimplementasikannya kontekstualisasi dalil Al-Qur’an dan hadis yang lebih humanis dan berkesetaraan. Juga Cut Nyak Dien yang idealis dengan perjuangannya menjadi perempuan merdeka di medan perang, bisa kita lihat hari ini pada sosok tenaga-tenaga medis kita yang berperang secara langsung di medan perang melawan virus covid-19.
***
Pengorbanan Kartini yang memilih rela dipoligami sementara ia menolak praktik pernikahan madu, mendapatkan sorotan yang tajam sebagai sebuah pengkhianatan dan menjilat ludah sendiri. Pengorbanannya disalahartikan, yang demi apapun faktanya adalah Kartini memberikan syarat-syarat khusus kepada calon suami, seorang Bupati Rembang.
Beberapa syarat yang Kartini ajukan adalah tidak mau melakukan prosesi adat berjalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki suami. Ia meminta dibuatkan sekolah serta mengajar di Rembang. Dan dalam keseharian, ia menghendaki untuk berkomunikasi dengan bahasa Jawa ngoko. Yang mana, hal-hal yang disyaratkan Kartini ini termasuk perubahan yang sangat radikal pada waktu itu.
Kartini, bersama Rohana Kudus, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Siti Walidah, dan pahlawan-pahlawan perempuan kita lainnya, telah mengambil peran di eranya masing-masing, di tempatnya masing-masing, dengan caranya masing-masing. Sudah saatnya kita mengambil peran, memberi peran, dan berperan bersama. Menjadikan hari Kartini dan hari-hari setelahnya menjadi era yang lebih berkesetaraan dan berkeadilan.
Mari berhenti membandingkan perempuan yang satu dengan lainnya. Mari rayakan perbedaan dan keberagaman, sebagai kekayaan sejarah dan intelektual. Ambilah nilai dan spirit pahlawan perempuan kita dengan bijak dan penuh kebanggaan. Salam Emansipasi!