Perintah untuk menunaikan shalat lima waktu bagi kaum muslimin dari Allah, jamak diyakini datang ketika terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.
Dalam penelitian yang ditulisnya dalam Jurnal Ulunnuha Vol. 8 No. 1/ Juni 2019 dengan judul Rekonstruksi Sejarah Shalat Sebagai Lembaga Keagamaan Islam: (Telaah Kitab Tafsir Ibnu Katsir), Oktari Kanus mengajukan tesis bahwasannya perintah untuk mengerjakan shalat itu sudah ada bahkan sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad terjadi.
Perintah Shalat Sebelum Peristiwa Isra’ Mi’raj
Salah satu ayat Al-Qur’an yang dikutip oleh peneliti yang menegaskan bahwa sudah ada perintah mengerjakan shalat sebelum Isra’ Mi’raj adalah QS. Al-Muzammil 1-2 yang bunyinya:
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1)
Hai orang yang berselimut (Muhammad)
قُمِ الَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2)
Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)
Perintah shalat yang ada sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj tidak lain dan tidak bukan adalah perintah untuk menyelenggarakan shalat malam, merujuk pada keterangan ayat di atas.
Dalam kitab Fathul Baari, Abu Abdurrahman as-Sulami, al-Hasan, Ikrimah, daan Qatadah dengan sanad sahih menyatakan bahwasannya ditetapkannya kewajiban mendirikan shalat malam di Makkah itu mendahului perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu di malam Isra’ Mi’raj yang terjadi satu tahun sebelum Hijriah.
Husain Haikal dalam bukunya Sejarah Hidup Muhammad mencatat bahwasannya Nabi Muhammad dan istrinya Khadijah juga sudah menunaikan shalat berjamaah di waktu usia Ali bin Abi Thalib masih sangat remaja. Sementara, terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj itu ketika Ali sudah tidak lagi remaja.
Tafsir QS Al-Muzammil 1-2 Menurut Ibnu Katsir
Penafsiran dari QS. Al-Muzammil 1-2 di atas, menurut Ibnu Katsir dalam kitab tafsir karyanya Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, merupakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk menanggalkan selimutnya yang menutupi dirinya di malam hari, supaya bangun untuk menyelenggarakan ibadah shalat kepada Tuhannya dengan melakukan qiyamullail.
Pada permulaan turunnya awal QS. Al-Muzzammil, para sahabat melakukan qiyamullail yang durasinya serupa dengan qiyamullail pada bulan Ramadhan. Dan jarak tenggang waktu antara awal QS. Al-Muzzammil sampai dengan terakhir ayatnya memakan waktu kurang lebih satu tahun.
Mereka mengerjakan qiyamullail selama satu tahun sehingga telapak kaki dan betis mereka bengkak, hingga turunlah ayat 20 dari surat tersebut, para sahabat merasa lega dengan ayat tersebut. Hal yang sama dikatakan oleh al-Hasan al-Basri dan As-Saddi di dalam keterangan itu.
Praktik Shalat yang Dilakukan oleh Non-Muslim
Ditemukan juga ayat dalam Al-Qur’an yang menyinggung tentang praktik shalat yang dikerjakan oleh Kaum Pagan.
Keterangan tersebut bisa dilihat pada QS. Al-Anfal: 35:
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ اِلَّا مُكَاۤءً وَّتَصْدِيَةًۗ
“Shalat mereka di sekitar baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan”
Jawwad Ali dalam bukunya Sejarah Shalat (Asal-usul, Bilangan dan Kedudukan Shalat dan Islam) mencatat bahwa para mufassir, lewat penafsiran mereka, menjelaskan bahwasannya kaum Quraisy Quraisy melakukan tawaf dalam keadaan telanjang, bersiul, dan tepuk tangan.
Kata “shalatuhum” dalam ayat di atas artinya “doa-doa mereka”; mereka bersiul dan tepuk tangan sebagai ganti doa dan bacaan tasbih.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir At-Thabari ayat tersebut artinya, “Tidak ada shalat dan ibadah bagi mereka, kecuali sekedar permainan.”
Versi lain mengatakan, “Shalat kaum Jahiliyah yang diyakini oleh mereka dapat menolak pengaruh-pengaruh buruk tak lain hanyalah shalat dengan cara bersiul dan bertepuk tangan”.
Kaum jahiliyah juga mengerjakan shalat untuk orang yang sudah meninggal dunia, misalnya dalam bentuk menangis dan menampakkan kesedihan atas meninggalnya orang tersebut dengan berdiri di atas kuburnya.
Seperti itulah gambaran shalat yang dilakukan oleh orang-orang sebelum masa Nabi Muhammad yang sudah mempunyai tradisi ibadah shalat yang tertentu pula.
Reviewer: Yahya FR
Editor: Nabhan