Jogja, 29 September 2022. Pukul lima sore aku keluar rumah di seputar Ringroad Selatan-Jogja. Aku menuju Dieng. Agenda utama mendampingi Prof Haedar Ketum PP Muhammadiyah meresmikan beberapa amal usaha Muhammadiyah (AUM). Mengikuti Googlemap aku melalui Jalan Godean, pedalaman Seyegan, Tempel, Ngluwar, dan keluar dekat Candi Mendut. Setelah makan di Salaman lanjut melalui jalan penuh kelokan tajam, naik turun, dan keluar di Sapuran-Wonosobo.
Jam sembilan malam aku masuk hotel dekat Candi Arjuna. Dieng pada ketinggian 2.000 MDPL masih sangat dingin. Masih seperti empat puluh tahun sebelumnya. Ketika kami berdelapan siswa SMA Muhi berkonvoi sepeda motor kesini. Tetapi kali ini perasaanku lebih hangat. Ada ceramah Ketum yang bernas. Lalu ada banyak cerita dahsyat dari para pejuang Muhammadiyah setempat. Apalagi aku menyopiri sendiri si Raize dan istriku yang manis sekaligus navigator duduk di sampingku.
Seiring dengan sinar matahari pagi yang hangat, pukul delapan pagi kami mengikuti rombongan Ketum bergerak. Tujuan pertama Masjid Mujahidin di Desa Telodas Kecamatan Pejawaran. Desa ini cukup jauh masuk dari jalan raya Dieng-Banjarnegara. Jalannya kecil, penuh kelokan, dan naik turun. Untuk saling berselisih salah satu mobil harus berhenti di bahu jalan.
Desa ini dikelilingi perbukitan dataran tinggi Dieng yang terjal. Tetapi Muhammadiyah sudah hadir disini pada 1956. Warga Muhammadiyah disini terkenal kompak dan antusias. Pada bulan Ramadan shalat tarawih diselenggarakan di sepertiga malam. Kehadiran Ketum PP Muhammadiyah tentu membuat warga makin antusias. Maka lantai dua masjid yang lumayan besar penuh sesak. Menariknya lagi di tengah desa ini tumbuh subur sifat kedermawanan. Maka sebuah masjid megah dengan nama Mujahidin senilai 4M berhasil mereka dirikan.
Prof. Haedar Nashir selaku Ketum mengapresiasi antusiasme masyarakat. Beliau teharu melihat warga Persyarikatan di pedesaaan tetapi berhasil membangun masjid megah. Merujuk pada nama masjid beliau memaknai berjihad adalah bazlul wus’i. Artinya mencurahkan segala kemampuan. Dalam hal ini jihad sering disalahartikan semata sebagai perang. Padahal makna jihad sangat luas. Jihad adalah semangat hidup berjuang di jalan Allah. Ketika tidak ada perang maka jihad harus tetap dijalankan. Dalam arti mencurahkan segala kemampuan dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan berjihad maka banyak hal bisa diraih oleh ummat Islam.
Demikian juga bagi warga Persyarikatan. Lanjut Ketum, “dengan berjihad sebuah Ranting bisa membangun masjid megah senilai 4 Miliar ini. Kalau sudah aman jangan perang. Alihkan pada jihad bangun masjid. Itulah semangat Muhammadiyah. Semangat hidup jihad fii sabiilillah..”
Pada bagian lain Ketum berharap dari masjid ini dijalin persaudaraan. Sesama keluarga, orang se-kampung dan orang se-iman. Bahkan juga dengan umat non-muslim. Walau masjid ini milik Muhammadiyah silaturahmi dengan kelompok lain harus dijalin. Persaudaraan bisa dalam bentuk saling menolong antar sesama. Muhammadiyah yang sudah ada sejak 1956 disini harus berlanjut. Maka kader muda harus didorong untuk maju.
Di hadapan Pak Kades Budi yang sangat energik, Ketum meminta warga Muhammadiyah Telodas mendorong kader muda untuk sekolah. Sebagian sudah kuliah di UMY. Ke depan harus ada yang kuliah ke luar negeri. Kader yang kurang mampu dibantu bersama-sama. Demikian juga untuk warga yang sakit. Kalau perlu kontak Lazismu. Nanti Lazismu bisa menghubungi PP Muhammadiyah. Inilah yang disebut Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah. Lanjut Ketum, “kalau kita sudah saling bantu maka Allah akan bukakan pintu-pintu.”
Selanjutnya rombongan Ketum menuju Kompleks Ponpes Muhammadiyah Istana Qur’an di desa Sarwodadi. Lokasinya tidak jauh dari Telodas. Disini Ketum meresmikan Masjid Bani H. Kartono senilai 2,5 M dan asrama puteri. Dua bangunan ini bagian dari Muhammadiyah Boarding School MTsM milik PCM Pejawaran.
Dibangun sebagai wakaf Bapak Haji Kartono sekeluarga. Beliau orang Sarwodadi dan pengusaha sukses di Bekasi. Awalnya penjual jamu. Kini pemilik rumah sewa dengan lebih dari 1000 pintu. Beliau dikenal sangat dermawan. Miliaran dana diwakafkan di berbagai tempat, khususnya melalui Muhammadiyah. Di lokasi acara ini Pak Kartono hadir bersama keluarga besar. Beliau duduk di panggung bersebelahan dengan Ketum menggunakan kursi roda. Pak Kartono memang dalam kondisi kurang sehat. Pada ujung sambutan Ketum memimpin doa untuk kesembuhan Pak Kartono yang dermawan. Maka ribuan jamaah penuh haru biru mengamininya.
Menurut Ketum, di dalam warga dan simpatisan Muhammadiyah selalu hadir jiwa beramal dalam berkemajuan. Ukurannya kadang di luar kewajaran. Thaarikul adah. Ini dicontohkan Kyai Dahlan. Beliau membuat sekolah moderen, meluruskan kiblat. Meski ditentang orang banyak beliau tidak mutung. Lalu Q.S. Al-Ma’un diterjemahkan menjadi panti asuhan, gerakan sosial, dan lembaga amil zakat. Itu semua harus terus dirawat sampai ke bawah.
Maka Ketum mengajak warga Muhammadiyah Sarwodadi menjadikan pondok pesantren ini berkemajuan. Artinya santrinya selalu berbakti pada orang tua dan bermanfaat untuk sesama. Membangun pesantren tidak untuk kembali ke masa lalu. Pesantren Muhammadiyah harus bersih. Tidak bangga dengan gudikan karena wudhu dan mandi di kolam bersama. Muhammadiyah membuat lembaga pendidikan yang sesuai perkembangan zaman. Anak-anak yang dididik akan menjadi generasi penerus pada masanya nanti.
Acara di Sarwadadi ini berlangsung di atas bukit yang indah. Ribuan warga Muhammadiyah mengelilingi panggung di halaman terbuka yang luas. Mereka duduk di kursi yang berjejer rapi melingkar. Sebagian duduk di atas terpal yang dibentangkan. Mereka datang dari berbagai penjuru. Selain dari Banjarnegara, juga hadir warga Muhammadiyah dari Pekalongan, Purbalingga, Wonosobo, Cliacap, dan Kebumen. Bahkan juga rombongan Cabang Muhammadiyah Rawa Lumbu Bekasi.
Di tengah acara yang sangat meriah, aku duduk di belakang Ketum bersebelahan dengan seorang tokoh setempat. Orangnya rapi dan ramah. Beliau Amin Mahsun, anggota DPRD Jateng dari PAN dapil Banjarnegara. Sebelum terjun ke politik, pada 1990 sampai 1998 beliau guru sekolah Muhammadiyah Kalibening, kawasan utara Banjarnegara. Meski baru kenal, kami terlibat pembicaraan yang sangat menarik. Tentang perjuangan membesarkan AUM di Kalibening.
Muhammadiyah Kalibening memang luar biasa. AUM-nya banyak. Di samping lembaga pendidikan juga ada lembaga ekonomi dan Kesehatan. Poliklinik ini dibangun dengan modal awal hanya semangat membara. Warga Muhammadiyah Kalibening ingin sekali memiliki AUM bidang Kesehatan. Tetapi mereka hanya punya lahan 243 M2. Dengan usaha ikhlas dan cerdas akhirnya keluarga polikilnik ini bisa dibangun berdiri gagah di tengah kota kecamatan yang sejuk ini. Lahannya kini berkembang menjadi 4.000 M2, berpagar keliling, dan berbentuk Poliklinik Pratama dengan rawat inap.
Menariknya cerita Pak Amin, sebulan yang lalu seorang ibu menawarkan tanah di sebelah komplek poliklinik Muhammadiyah ini. Beliau minta untuk dibangun masjid poliklinik disana. Bagaimana dengan harga tanahnya? Menurut Pak Amin ujar sang ibu, “terserah pada Muhammadiyah.” Masyaa Allah….
Tidak kalah menarik adalah cerita tentang pendirian SMA Muhammadiyah Kalibening. SMA ini didirikan pada 1990. Modal awal datang dari Bapak H.M. Mawardi. Lebih dikenal dengan Mbah Mawardi. Beliau berasal dari Kalibening dan tokoh nasional Muhammadiyah yang berdomisili di Jogja. Beliau pernah mejadi Direktur Muallimin Muhammadiyah Jogja dan beberapa periode di PP Muhammadiyah. Ketika aku masuk menjadi dosen UMY pada 1991 Mbah Mawardi merupakan ketua BPH UMY.
Untuk memulai pendirian SMA Muhammadiyah Kalibening Mbah Mawardi meminjamkan dana priadinya 12 Juta Rupiah. Jumlah yang besar untuk ukuran masa itu. Selanjutnya setiap selesai Idul Fitri PCM Kalibening bersilaturrahmi ke Jogja. Ke rumah Mbah Mawardi sambil membayar angsuran hutang. Pada tahun kesekian hutang itu lunas. Ketika rombongan hendak pulang kampung, mereka mendapat kejutan. Mbah Marwardi menerima pelunasan hutang. Tetapi Mbah Mawardi juga menyerahkan dana tunai yang diikat rapi langsung oleh beliau. Jumlahnya 24 juta rupiah. Masyaa Allah…
Sekolah ini kemudian menjadi tempat bersemi yang baik bagi anak remaja Kalibening. Terutama bagi mereka yang memiliki ketarbatasan finasial. Sehingga kesulitan untuk mejangkau sekolah di kota. Beberapa dari mereka aku kenal baik. Ini karena setamat dari sekolah ini mereka diajak Mbah mawardi sekolah di Jogja. Beberapa dititipkan Mbah Mawardi di Padepokan Almanaar dimana aku menjadi pembinanya. Beberapa tinggal langsung di rumah beliau yang besar di Jalan Agus Salim, tetangga Kauman Jogja.
Pada umumnya anak-anak Kalibening ini kuliah di UMY. Salah satunya kuliah di FAI UMY dimana aku menjadi dosennya. Namanya Nurwanto. Sebagai anak yang cerdas, rajin, dan tawadhuk, dia memiliki banyak berprestasi. Selesai kuliah S-1 kami rekrut dia menjadi dosen. Anak muda ini terus menorehkan prestasi. Selesai s2 di UMY dia S-2 lagi di Birmingham UK. Kini alumni SMA Muhammadiyah Kalibening anak asuh Mbah Mawardi ini sedang menyelesaikan studi S3 di Australia. Allaahu Akbar.
Sarwodadi, Dataran Tinggi Dieng, 30 September 2022. Menjelang zuhur agenda mendampingi Ketum usai. Ketum menuju kota Banjarnegara. Ada makan siang bersama Bupati dan peresmian Rumah Mocaf. Aku dan istri bersiap untuk melanjutkan agenda pribadi. Kami akan menginap di Dieng atau tempat lainnya di lereng gunung Sindoro dan Sumbing. Ini kawasan indah dan menawan. Harus dimanfaatkan untuk menguatkan kebersamaan.
Hari-hariku lebih banyak habis bersama Lazismu. Maka aku memang tidak berkabar hal kedatanganku ke teman-teman Lazismu Daerah. Tetapi kedatanganku tetap terdeteksi. Sebelum naik panggung di Sarwadadi, aku dipepet Mas Tyas Abu Yayan, ketua Lazismu Banjarnegara. Berkali-kali. Ucapnya penuh rayu “Pak Mahli habis acara ini ke Banjar ya. Nanti melihat peresmian rumah Mocaf dan menengok kantor baru Lazismu. Nanti Bapak buat pantun disana…” Maka aku dan istri hanya bisa tersenyum simpul dan “Insya Allah.” (Bersambung)
Tamantrito, 12 Oktober 2022
Editor: Soleh