Perspektif

Perjuangan Pendidikan dalam Melawan Korupsi

3 Mins read

Di Indonesia, kasus korupsi masih menjadi masalah utama yang terus menjadi bahasan akademis dan populer di publik. Usaha untuk melawan korupsi memang terus digalakkan secara institusional. Kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentu tiada lain demi melawan dan menghabisi korupsi sampai ke akar-akarnya.  Di ruang akademik semisal kampus, dialog dan seminar ihwal korupsi telah rajin diadakan oleh universitas. Kampanye anti korupsi di masyarakat pun tak sedikit diusahakan. Lalu kita bertanya, mengapa kasus korupsi masih saja menggelinding di wilayah publik.

Saat catatan ini dituliskan, baru saja kasus korupsi kementerian dalam kabinet Indonesia Maju mengemuka. Ini tentu menggemparkan, lebih-lebih dua menteri yang diseret KPK tak berjarak lama, hanya berselang 12 hari setelah menteri KKP ditangkap, Menteri Sosial pula terpaksa menyerahkan dirinya dihadapan KPK.

Penulis tergerak untuk mengkaji masalah korupsi sesuai dengan bidang akademis: Pendidikan. Hal ini sebab tampaknya ruang publik kita, dalam menanggapi masalah hukum semacam korupsi acap hanya dicandra dalam kacamata moral belaka. Alhasil, luput untuk menelanjangi problem yang sebenarnya. Bila, suatu masalah hukum hanya disorot dalam kacamata pandang moral belaka, acap yang timbul adalah cacian, umpatan, dan justifikasi moral saja. Semakin riuhnya umpatan tersebut seringkali melupakan ijtihad intelektual kita untuk memandang bagaimana proses pemberantasan korupsi seharusnya dijalankan.

Pendidikan dan Korupsi

Sangat sulit untuk mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan korupsi. Pada idealnya, institusi pendidikan merupakan tempat strategis demi membangun integritas pribadi untuk melawan korupsi. Meski demikian, di sanalah juga korupsi dalam makna yang seluas-luasnya, dipraktikkan dalam lingkungan sekolah. Mulai dari proses belajar mengajar, manajemen sekolah, lingkungan sekolah, dan lainnya.

Baca Juga  Ki Hadjar Lebih Pantas Menjadi Bapak Pendidikan Nasional daripada Kiai Dahlan, Benarkah?

Anggaran besar yang ‘mengguyur’ dalam birokrasi pendidikan menjadikan institusi pendidikan ini rawan untuk dibajak oleh para pencuri (koruptor). Hal ini misalnya tampak pada merebaknya korupsi dana pembangunan gedung sekolah, korupsi penyediaan sarana dan prasarana, korupsi dana operasional, dan lainnya. Bukan saja itu, praktik gratifikasi dan suap untuk mendapatkan posisi dalam birokrasi pendidikan acap dilakukan secara terbuka tanpa malu-malu, dari tingkatan institusi Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT), bahkan sampai pada tingkat birokrasi pemerintahan yang konsentrasi pada pembangunan pendidikan.

Bentuk korupsi yang paling sering dilakukan dalam bidang pendidikan antara lain; 1) orang tua bisa disarankan untuk membeli buku atau alat bantu mengajar yang ditulis oleh guru anaknya, 2) orang tua disarankan membayar sekolah khusus, 3) orang tua disarankan memberi sumbangan untuk dana pembangunan dan kegiatan ekstrakurikuler. (Kompas, 15/04/2010). Model korupsi tersebut berjalan dengan modus yang berbeda-beda dan acap sulit dihentikan sebab hierarki persekongkolan yang solid.

Maka sebetulnya, tantangan pendidikan anti korupsi justru ada dalam lingkup institusi pendidikan itu sendiri. Bila praktik korupsi merebak di lingkungan pendidikan, tentu rumit untuk membangun pendidikan anti korupsi.

Pentingnya Paedagogik Kritis

Bila visi pendidikan anti korupsi hendak dijalankan dengan baik maka, praktik pendidikannya juga harus berparadigma komprehensif. Dalam wilayah formal, pendidikan anti korupsi dapat ditempuh dengan pengembangan kurikulum maupun ekstrakurikuler. Dalam hal ini, pendidikan anti korupsi tidak berarti dengan membentuk mata pelajaran khusus, namun bisa juga melalui usaha integrasi kurikulum dalam satu mata pelajaran. Lebih daripada itu, pula diperlukan praktik-praktik anti korupsi dalam lingkungan pendidikan. Praktik tersebut tentu beranjak dari visi pembelajaran berbasis keteladanan.

Pada wilayah informal, pendidikan anti korupsi dapat ditempuh melalui kampanye masyarakat, seminar kemahasiswaan, pula acara lainnya yang melibatkan semua pemangku kebijakan semacam KPK, kepolisian, kejaksaan dan sebagainya (Handayani, 2009). Tentu dalam bahasan itu, diperlukan metode, media, materi yang kreatif agar masyarakat mudah dalam memahamai subtansi.

Baca Juga  Pilkades Serentak dan Wajah Demokrasi Kita

Dalam dari itu, penting untuk mempraktikkan pembelajaran berbasis paedagogik kritis. Untuk hal ini, perlu diketahui prinsip-prinsip teoritis dari paedagogik kritis dalam relevansinya dengan pendidikan anti korupsi. Pertama, prinsip sudut pandang. Teori sudut pandang adalah suara dari kelompok sosial yang memperoleh perlakuan tidak adil, tertindas dan terpinggirkan. Dalam soal itu, maka siswa sebagai subjek pendidikan disadarkan pada posisinya yang tertindas dalam masyarakat.

Kedua, prinsip demokratis. Dalam paedagogik kritis, prinsip ini niscaya penting dijalankan dalam proses pembelajaran. Dalam kaitannya dengan praktik pendidikan, prinsip demokrasi dilaksanakan tidak saja di dalam kelas, melainkan dalam keseluruhan lingkungan belajar. Ihwal ini, praktik demokrasi misalnya dapat dilakukan dengan pembangunan sistem penganggaran sekolah yang terbuka.

Ketiga, prinsip kontekstual, yakni usaha untuk mengaitkan antara materi yang didapatkan di dalam kelas dengan kasus yang terjadi di masyarakat. Keempat, prinsip tindakan riil. Dalam praktiknya di lingkup sekolah, ketika dihadapkan pada potensi korupsi oleh oknum tertentu di sekolah, maka pembelajaran harus mengarahkan siswa untuk berani bersikap melawan praktik korupsi tersebut (Subkhan)

Perjuangan Melawan Korupsi

Dari akar pendidikan yang baik, kebudayaan dan peradaban dapat terbentuk dalam wajah yang cerah. Sebuah bentuk peradaban yang adil, berkeadaban, berkemajuan, dan memiliki daya saing yang bagus. Posisi strategi pendidikan itulah yang menuntut banyak pihak untuk membangun praktik pendidikan yang beradab, berintegritas, dan jauh dari tabiat koruptif. Dari ruangan kelas, kita berharap terbentuk pribadi yang tidak kalah oleh hasrat duniawi dan materi yang mengekang.

Dari sana kita berharap bahwa tidak ada lagi politisi yang korup, pejabat yang mencuri, pemimpin yang tega merendahkan harkat pribadinya demi uang. Kerja-kerja melawan korupsi bukan saja tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi telah menjadi tugas bersama untuk menumpas budaya korupsi dari akar-akarnya. Maka kita, dalam segala bentuk dan perannya, harus berjuang melawan korupsi.

Baca Juga  Soal UAH dan Din Syamsuddin: Bukan Hadiah, Tapi Pilihan Hidup

Editor: RF Wuland

Avatar
11 posts

About author
Ketua Bidang Riset Teknologi DPP IMM
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds