Oleh: Handoko*
Masalah lingkungan hidup merupakan persoalan global yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Lingkungan yang baik dan sehat menjadi barang antik yang sulit untuk didapatkan, karena hampir disetiap ruang sudah terjadi kerusakan.
Kerusakan yang disebabkan oleh eksploitasi manusia akan lingkungan secara sempit menyebabkan beberapa fenomena yang seolah rutin terjadi seperti kebakaran hutan dimusim kemarau serta banjir dan longsor di musim penghujan.
Keanekaragaman Hayati Indonesia
Sedangkan secara luas dan berjangka panjang, perusakan terhadap lingkungan hidup seperti penebangan pohon ataupun pembakaran hutan menyebabkan terancamnya struktur hayati. Hutan tropis Indonesia adalah rumah dan persembunyian terakhir bagi kekayaan hayati dunia yang unik. Keanekaragaman hayati yang terkandung di hutan Indonesia meliputi 12 persen spesies mamalia dunia, 7,3 persen spesies reptil dan amfibi, serta 17 persen spesies burung dari seluruh dunia.
Diyakini masih banyak lagi spesies yang belum teridentifikasi dan masih menjadi misteri tersembunyi di dalamnya. Sebuah contoh nyata misalnya, data WWF menunjukkan antara tahun 1994-2007 saja ditemukan lebih dari 400 spesies baru dalam dunia sains di hutan Pulau Kalimantan.
Dilansir dari wwf.or.id Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Berdasarkan data FAO tahun 2010 hutan dunia–termasuk di dalamnya hutan Indonesia–secara total menyimpan 289 gigaton karbon dan memegang peranan penting menjaga kestabilan iklim dunia.
Kerusakan dan Paham Ekonomi
Sayangnya, kerusakan hutan di tanah air cukup memprihatinkan. Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah habis ditebang.
Refleksi mengenai hakikat manusia dalam konteks ekologis perlu dikupas secara mendalam, mengingat konsepsi khalifah fil ardhi kerap kali disalahartikan. Bukannya merujuk pada paham ekoteologis, konsepsi tersebut justru didukung paham kapitalisme bahkan sosialisme yang memandang alam hanya sebagai komoditas ekonomi semata. Cara manusia modern menghadapi alam itu bersifat teknokratik dan antroposentrik.
Kaum kapitalis ditopang oleh industri yang kuat umumnya berpandangan antroposentrik, yang memandang alam dengan berbagai species, kawanan binatang dan tetumbuhan, air dan mineral yang ada di dalamnya, dianggap sebagai sebuah entitas yang memang dipersiapkan untuk dieksploitasi manusia dan tidak memiliki nilai-nilai inheren (Green dan Citrin, 2000).
Untuk itu perlu adanya re-interpretasi terhadap pemahaman manusia akan lingkungan hidup yang dapat disebut sebagai ekoteologi. Seyyed Hossein Nasr menilai bahwa krisis lingkungan dewasa ini berkorelasi erat dengan krisis spiritual-eksistensial yang telah diidap oleh kebanyakan manusia modern.
Hal ini disebabkan karena menangnya cara pandang humanisme-antroposentrisme yang memutlakkan manusia. Implikasinya, yang menjadi korban adalah bumi, alam dan lingkungan yang diintimidasi dan diperkosa atas nama hak-hak manusia. (Seyyed Hossein, 1997).
Ekoteologi dalam Islam
Islam merupakan agama yang memberikan perhatian yang cukup besar terhadap Lingkungan hidup, karena dalam ajaran Islam (ayat-ayat Al-Qur’an) mengandung prinsip-prinsip etika lingkungan. Sehingga dapat dikatakan Islam merupakan petunjuk, arahan dan barometer benar tidaknya suatu tindakan dan perbuatan manusia.
Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Khaliqnya. Akan tetapi juga hubungan manusia dengan sesama makluk, sesungguhnya telah memiliki landasan normatif. Hubungan ini terjadi baik secara implisit maupun eksplisit tentang menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Inilah nilai ekoteologi dalam Islam.
Misal, tentang tugas melestarikan lingkungan hidup yang merupakan manifestasi iman (lihat, QS. AlA’raf [7]: 85), merusak lingkungan merupakan sifat orang- orang munafik (lihat, QS. Al-Baqarah [2]: 205), alam semesta merupakan anugerah dari Allah SWT untuk manusia (lihat, QS. Luqman [31]: 20; QS. Ibrahim [14]: 32-33), manusia adalah khalifah untuk menjaga kemakmuran lingkungan hidup (lihat, QS. AlAn’am [6]: 165), dan kerusakan yang terjadi di muka bumi akibat dari ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab (lihat, QS. As- Syuura [42]: 30; QS. Al-A’raf [7]: 56).
Alam semesta merupakan hasil ciptaan dari sang pencipta, ciptaan Allah memang berpuncak pada manusia, manusia merupakan ciptaan yang istimewa. Dalam perspektif Islam Manusia dan lingkungan memiliki hubungan relasi yang sangat erat karena Allah Swt menciptakan alam ini termasuk di dalamnya manusia dan lingkungan dalam keseimbangan dan keserasian.
Keseimbangan dan keserasian ini harus dijaga agar tidak mengalami kerusakan. Kelangsusungan kehidupan di alam ini pun saling terkait yang jika salah satu komponen mengalami gangguan luar biasa maka akan berpengaruh terhadap komponen yang lain. (Alef Theria Wasim, 2005).
Ekoteologi dan Maqashid asy-Syariah
Tujuan agama adalah melindungi, menjaga serta merawat agama, kehidupan, akal budi dan akal pikir, anak cucu serta sifat juga merawat persamaan serta kebebasan yang sering kita dengar dengan Maqashid asy-syariah.
Melindungi, menjaga dan merawat lingkungan adalah tujuan utama dari hubungan dimaksud. Jika situasi lingkungan semakin terus memburuk maka pada akhirnya kehidupan tidak akan ada lagi tentu saja agama pun tidak akan ada lagi.
Salah satu prinsip atau kaidah fiqih (hukum Islam) yang terkait dengan pemeliharaan lingkungan adalah la dlarara wa la dlirar (tidak berbahaya dan tidak membahayakan). Prinsip ini diambil dari ayat-ayat al-Quran (seperti QS. Al-Nisa’ (4): 29, QS. al-Baqarah (2): 195, 231, 233, dan 282) dan hadits-hadits Nabi Saw.
Dari kaidah ini dan juga kaidah-kaidah fikih yang lain, kita dapat mengembangkannya pada zaman sekarang, terutama terkait dengan mereka yang sering mengganggu ketertiban lingkungan dan melampaui batas, seperti yang dilakukan oleh industri-industri besar dan perusahaan-perusahaan yang tidak peduli dengan dampak yang bakal menimpa masyarakat.
Dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, perlu adanya kesadaran kolektif. Di situlah peran masyarakat secara umum khususnya umat Islam sangatl dibutuhkan dengan berpedoman pada wahyu ilahi serta memperhatikan kaidah fikih serta tujuan-tujuan ditetapkannya syari’at (Maqashid asy-syariah).
Kesadaran dalam rupa ekoteologi yang memberikan pengertian pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup agar bisa dinikmati oleh generasi yang akan datang.
*) Sekretaris DPD IMM Lampung Bidang Lingkungan Hidup