Oleh: Mohamad Rivaldi Abdul*
Saat para pejuang kemerdekaan Indonesia berjuang sendiri-sendiri, kemerdekaan terasa bagaikan mimpi di siang hari. Namun saat kekuatan bangsa dapat disatukan. Para pejuang bersatu, baik golongan agama, nasionalis, bahkan komunis berjuang bersama sebab tujuan yang hendak dicapai adalah satu, yaitu kemerdekaan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Kemerdekaan pun dapat dicapai dengan persatuan. Puncaknya, 17 Agusuts 1945 menjadi momen bersejarah Indonesia.
Namun setelah Indonesia merdeka, persatuan perjuangan Indonesia mulai rapuh. Rasa haus kekuasaan, kepentingan, dan anggapan konsep kebenaran golongannya yang paling benar dalam menuju kemakmuran rakyat menjadi penyebab rapuhnya persatuan. Dari sini ketiga golongan (agama, nasionalis, dan komunis) mulai saling mencurigai.
Kerapuhan Persatuan Indonesia
Tan Malaka ditangkap bahkan dieksekusi, Buya Hamka ditangkap dan dipenjarakan. Banyak lagi para pejuang yang menjadi korban kerapuhan persatuan setelah kemerdekaan Indonesia. Padahal dahulu berjuang bersama dalam perjuangan kemerdekaan, namun setelahnya justru saling tuduh dan mencurigai. “Konflik menghancurkan hubungan antar warga negara yang tadinya hangat. Orang-orang saling mencurigai.” (Christanty, 2015: 8).
Bung Besar Indonesia Presiden Sukarno, hendak mengupayakan persatuan. Digagasnya NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) untuk menyatukan tiga kekuatan Indonesia yang pecah. Namun justru dirinyalah sendiri yang dilengserkan. Bahkan Bung Besar Indonesia menjadi korban dari kerapuhan persatuan dan ambisi kekuasaan suatu golongan. Tragedi mencekam dalam sejarah perjalanan Indonesia, Sang Proklamator harus menghabiskan sisa umurnya sebagai tahanan politik.
Bung Karno pun turun dari kursi Presiden Indonesia. Bukan karena tidak mampu mempertahankan kekuasaannya, namun karena tidak ingin melihat sesama anak bangsa saling memukul. Dari sini kita dapat melihat bagaimana jiwa Bung Karno sebagai seorang negarawan yang tidak terobsesi oleh kursi kekuasaan, dan mengutamakan persatuan bangsa.
Buya Hamka, salah seorang Pahlawan Nasional berkata, “Rasa cinta dan suri teladan yang tuan-tuan tinggalkan (baca: para Pahlawan), tetap menjadi penuntun kami dalam melanjutkan perjuangan menuju kemerdekaan, kebahagiaan, dan ketinggian tanah air kita.” (Hamka, 2015: 313-314).
Warisan Pahlawan
Satu hal yang penting untuk kita warisi dari para Pahlawan adalah semangat persatuan. Sebab tanpa persatuan para Pahlawan terdahulu, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak akan berhasil. Persatuanlah yang membuat para Pahlawan kita berhasil membawa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan.
Bagaimana cara kita menangkal radikalisme? Adalah dengan persatuan.
Bagaimana cara kita menagkal intoleransi? Adalah dengan persatuan.
Bahkan, sampai bagaimana mewujudkan masyarakat yang sejahtera, aman dan damai? Adalah dengan persatuan. Persatuan antara rakyat dan elit negara. Para elit harus benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, maka rakyat pun akan percaya pada para elit negara. Sehingganya antara rakyat dan elit negara akan dapat terjalin persatuan.
Persatuan merupakan pondasi utama dalam melanjutkan cita-cita perjuangan kemerdekaan. Namun mewujudkannya tidak semudah mengucapkannya. Bahkan banyak orang berteori tentang persatuan, merasa mengajak pada persatuan, tapi justru tanpa disadarinya pernyataannya menjadi penyebab retaknya persatuan. Hal ini disebabkan oleh ego diri.
Percaya diri dan yakin diri kita benar itu baik. Namun menjadi tidak baik jika merasa diri yang paling benar, sehingga mudah mengklaim yang lainnya salah, radikal atau ekstrimis. Merasa dirinya yang paling Indonesia, sehingga yang lainnya tidak Indonesia. Sebagian orang saling mengklaim bahwa perwujudan dirinya adalah Indonesia, dan yang bebeda dengannya tidak Indonesia.
Apalagi persoalan sekarang ini, hanya karena masalah pakaian saja saling menuduh yang lain radikal dan tidak mencerminkan budaya Indonesia. Padahal kita harus bisa saling menghargai perbedaan, terlebih jika itu adalah keyakinan orang lain dalam beragama serta beribadah.
Filsuf China kuno, Qong Qiu berkata, “Jangan melakukan sesuatu pada orang lain, yang kau sendiri tidak ingin diperlakukan demikian.” Sebagaimana kita yang tidak ingin dikatakan radikal (dalam konteks radikalisme), maka jangan terlampau mudah mengatakan orang lain radikal. Jangan suka mengeluarkan narasi yang mengganggu keyakinan orang lain dalam beragama serta beribadah, sebab kita pun tidak ingin diperlakukan demikian.
Bersatu dalam Perbedaan
Kalau saya ditanya siapa yang intoleran? Adalah mereka yang mudah mengklaim orang lain salah. Mereka yang mudah mengklaim orang lain tidak Indonesia. Sebab mereka tidak bisa saling menerima perbedaan, dalam beragama serta beribadah, berbangsa dan bernegara.
Jika kita hanya saling tuduh-menuduh justru hanya akan semakin memperparah perpecahan dikalangan masyarakat. Seharusnya kita bisa lebih bijak, dan mengeluarkan pernyataan yang dapat merangkul perbedaan, bukan malah pernyataan yang memukul mereka yang memiliki keyakinan berbeda.
Bhineka tunggal ika (berbeda-beda namun tetap satu), merupakan warisan persatuan yang ditinggalkan oleh para pendiri negara ini, tujuannya tidak lain adalah agar kita menjadi bangsa yang bersatu dalam perbedaan. Maka yang namanya Indonesia, memanglah harus memiliki perbedaan, berbeda suku, agama serta ibadah, dan perbedaan itu kita bingkai dalam persatuan. Bersatu dalam perbedaan, bukan malah mempersoalkan perbedaan.
Seharusnya Indonesia sudah menjadi bangsa yang dewasa dalam menyikapi konflik perbedaan. Saling menerima perbedaan, terutama dalam hal suku, agama serta ibadah. Sudah banyak luka yang dilalui bangsa ini, seharusnya ini mengajarkan kita menjadi bangsa yang bersatu.
Sebab persatuanlah yang dibutuhkan untuk membangun bangsa ini. Perpecahan terbukti ampuh tidak memberi sumbangsi besar dalam kemajuan bangsa. Persatuanlah yang memberi sumbangsih besar dalam kemajuan bangsa.
Persatuan adalah warisan dari para Pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Sebab kemerdekaan bangsa Indonesia tidaklah diperjuangkan oleh satu golongan saja, namun diperjuangkan bersama-sama. Sehingganya kita pun wajib bersatu. Bersatu dalam bingkai perbedaan, menciptakaan kehidupan yang penuh harmoni persatuan.
*) Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta