Saya tak pernah menilai seseorang dari kesalahan terburuknya, sebab boleh jadi akan menjadi jalan baginya menuju pintu taubat dan ridha—bolehkah saya shalat ghaib berkali-kali untuk kepergian Buya Yunahar Ilyas?
Dua Buya, Ulama Besar Muhammadiyah
Ketulusan tidak bisa dibuat-buat, kecintaan juga tak bisa direkayasa, kebencian juga tak bisa dipaksa pergi—dua orang mu’min saling mencintai karena Allah. Pertanyaan dasarnya: anda mencintai siapa karena Allah? Mungkin punya—mungkin pula tidak—karena merasa tak perlu. Sebab istri, anak, rumah dan pekerjaan sudahlah cukup—kita sibuk mencintainya mungkin sudah tak ada lagi bahagian untuk mencintai saudara seiman karena Allah.
Buya Syafi’ Maarif dan Buya Yunahar Ilyas—dua ulama besar di Muhammadiyah—tokoh besar dengan pikiran brilian yang melampaui zaman tapi tawadhu’-nya masya Allah. Kesabarannya dalam berdakwah, istiqamahnya menyampaikan pikiran moderat ditengah sengkarut radikal telah teruji. Dua Buya ini seperti pilar penyangga di Persyarikatan untuk menjaga Muhammadiyah dari condong ke kanan atau condong ke kiri. Dua Buya itu tetap tegas di tengah (wasath).
Persaudaraan dan kecintaan dua Buya itu patut menjadi teladan. Di tengah kesibukan yang sangat dan urusan yang padat, tidak menghalangi keduanya untuk saling mengunjungi. Saling berkabar, baik di kala sehat pun di saat sakitnya—dua pejalan dakwah itu sudah seharusnya saling menguatkan dan saling menggenapkan. Bukan sebaliknya.
Perbedaan yang Terus Dicari
Dua Buya memberi teladan ditengah perihidup egois dan hedon. Tiga kali Buya Yunahar menjenguk Buya Syafi’i di saat sakitnya—begitu sebaliknya di saat Buya Yunahar sakit. Kepergian Buya Yunahar Ilyas diakhiri dengan salat jenazah dan doa-doa yang terus mengalir dari Buya Syafi’i Maarif.
Sayangnya ada sebagian yang tak suka melihat keduanya berkawan—dan terus mencari-cari perbedaan dua Buya itu untuk dipertentangkan. Buya Yunahar pernah menyatakan tegas: “Jika cocok kalian dukung jika tak cocok kalian hujat, sesunguhnya kalian tidak sedang menghormati ulama tapi memperalat ulama”.
Ada yang merasa bahwa pandangan sendiri lebih baik dari siapapun dan ulama hanya dijadikan pembenaran atas pandangannya itu. Maka dicarilah ulama yang cocok untuk membenarkan pandangnya itu sambil menghujat ulama lain yang tidak sepandangan. Sebab banyak yang mengagumi pendapatnya sendiri dan abai terhadap yang lain.
Jalan Dakwah yang Terjal
Jalan dakwah adalah terjal banyak uji: baik ujian senang dengan banyaknya followers, kemewahan harta, hingga sanjung puji, maupun uji susah karena dihujat, dicela, dijauhi bahkan dikafirkan sebelum disesatkan.
Pada akhirnya pendakwah harus tetap tunduk patuh pada sebuah otoritas—yang meski tidak terlihat tapi cukup bisa memaksa untuk membuat keputusan yang meski terasa sangat tidak adil. Al-Hallaj dan Siti Jenar pun dipancung oleh otoritas yang tidak bisa dilihat.
Lantas darimana persaudaraan itu dimulai dibangun? Rabindranat Tagore mungkin bisa membantu. Tagore berujar pendek,
Kegagalan kita untuk memaafkan, kesediaan kita untuk mengakui dendam, adalah penerimaan tentang batas. Setelah itu adalah doa. Pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita bukan hakim yang terakhir… Di ujung sana, Tuhan lebih tahu.
Rabindranat Tagore
Persaudaraan adalah kesediaan untuk mengalah dan keikhlasan untuk mengakui kesalahan sendiri. Sebab setelah itu kita bisa menerima siapapun selain diri kita tanpa kata tapi.
Dua kali saya berkunjung ke ndalem Buya Yunahar Ilyas dan berpesan agar meneladani Buya Syafi’i Maarif dalam kesahajaan kesederhanaan dan dedikasi pada Persyarikatan, beliau tak pernah minta-minta untuk pribadi dan keluarganya.
Lima kali saya berkunjung ke ndalem Buya Syafi’i Maarif dalam salah satu kunjungan beliau berpesan agar meneladani Buya Yunahar Ilyas dalam konsistensi menjaga manhaj dan ideologi Muhammadiyah di tengah gempuran ideologi transnasional.