Islam yang masuk ke Nusantara sejatinya adalah Islam yang damai dan penuh kasih sayang. Budaya damai yang dibawa para ulama ini sejatinya merupakan ajaran yang penuh dengan kebaikan. Terutama di tengah-tengah umat yang multikultural.
Ajaran para ulama ini merupakan ajaran yang bersumber dari perintah Allah melalui Nabi Muhammad yakni menghadirkan Islam yang “Rahmatan Lil ‘Alamin”, yakni Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam semesta. Adapun ulama yang selalu mengajarkan cinta kasih atau toleransi di tengah-tengah umat adalah Sunan Gunung Jati dan Habib Ali Al-Habsyi Kwitang.
Pesan Toleransi Sunan Gunung Jati
Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, merupakan tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Beliau adalah salah satu ulama walisongo yang berperan besar dalam penyebaran Islam, khususnya di Jawa Barat. Sebagaimana para walisongo lainnya. Sunan Gunung Jati ketika berdakwah atau menyampaikan pesan keagamaan tidak dengan cara-cara kekerasan melainkan dengan cara yang damai dan santun.
Keberhasilan Sunan Gunung Jati dalam berdakwah sudah diakui sampai saat ini. Hal itu tidak bisa dilepaskan inti ajaran Sunan Gunung Jati, yang termaktub dalam “Petatah-Petitih”, yakni nasehat, pesan , anjuran, kritik, dan teguran yang disampaikan oleh Sunan Gunung Jati. Salah satu pesan itu berbunyi, “Den Welas Asih Ing Sapapada”. Secara harfiah artinya, “aku mencintai dan menyayangi semua orang” (Komariah).
Dalam konteks keagamaan pesan ini mengajarkan bahwa kasih sayang dan cinta harus diberikan kepada setiap makhluk hidup tanpa memandang latar belakang status sosial. Sebagaimana dalam hadist Nabi Saw, “Sayangilah siapa yang ada di muka bumi, niscaya kamu akan disayangi oleh siapa saja yang ada di langit” (HR. At-Tirmidzi”. Dalam konteks kepemimpinan pesan “Den Welas Asih Ing Sapapada”, mengingatkan untuk selalu berbuat adil dan peduli terhadap kesejahteraan rakyat. Sebagaimana bunyi, Qur’an surah Al-Hujarat ayat 9, “Berbuat adillah, sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil”.
Selain itu dalam konteks sehari-hari, pesan ini dapat menumbuhkan sikap saling menghargai dan mencintai. Menciptakan hubungan yang positif baik dalam lingkup keluarga ataupun masyarakat. Nilai toleransi ini juga dipegang teguh oleh Sunan Gunung Jati, hal itu terlihat ketika kita melihat Wihara Avalokitesvara di Banten. Konon vihara ini dibangun sejak abad ke-16, yang tidak lepas dari sejarah penyebaran Islam di Banten.
Vihara ini dibangun Sunan Gunung Jati saat di Banten pada tahun 1542 untuk menghormati pengikut putri kaisar yang masih teguh memegang keyakinannya, yang tak lain adalah istinya yang bernama Putri Ong Tien, seorang keturunan Tionghoa (Hestin, 2017).
Pesan Toleransi Habib Ali Al-Habsyi Kwitang
Sejatinya budaya toleransi telah mengakar kuat di kalangan masyarakat Muslim Jakarta, bahkan sejak zaman kolonial. Hal itu tidak lepas dari peran ulama yang selalu menjunjung tinggi perbedaan dan selalu mengajarkan kasih dan sayang kepada para jamaahnya. Ulama yang selalu berpesan untuk menghargai perbedaan adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang (1870-1968).
Menurut Alwi Shahab, Sejarawan Betawi, Habib Ali Kwitang dikenal memiliki kecintaan yang begitu besar kepada umat Islam. Semasa hidupnya atau dalam kegiatan dakwahnya Habib Ali Kwitang selalu menganjurkan kepada masyarakat untuk senantiasa melatih kebersihan jiwa melalui tasawuf. Beliau tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki ataupun fitnah (Nupin, 2023).
Habib Ali Kwitang selalu menekankan pentingnya persaudaraan atau ukhuwah bagi umat Islam. Ajaran tersebut sesuai dengan hadist Nabi Saw, “Perumpaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut turut merasakan sakit” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahkan dalam pidatonya, Habib Ali Kwitang selalu menangis setiap kali menyebut toleransi, cinta kasih, dan persaudaraan. Beliau tidak rela melihat umat Islam terpecah belah. Maka tidak heran jika Majelis taklim Kwitang yang didikan oleh Habib Ali Al-Habsyi sejak 1890 bertahan hamper satu abad, karena inti ajaran Islam yang disuguhkannya berlandaskan tauhid, kemurnian iman, dan solidaritas sosial. Selain beliau tidak pernah menanamkan ideologi kebencian (Jamil, 2017).
Nilai-nilai toleransi dan kasih sayang juga ditanamkan kuat oleh Habib Ali Al-Habsyi. Sebagai buktinya putra sulung Habib Ali Al-Habsyi, yakni Abdurrahman atau Wan Derahman menikahi seorang perempuan Indo-Belanda, bernama Maria van Engel perempuan yang semula beragama Katolik menjadi mualaf dan berganti nama menjadi Mariam (Matanasi, 2017).