Perspektif

Pesantren di Indonesia sebagai Pewaris Keilmuan Islam

3 Mins read

Setelah pembuktian atas keotentikan ajaran Islam dalam tema-tema sebelumnya, maka kali ini akan dibuktikan secara ilmiah bahwa keberadaan pesantren di Indonesia dalah manifestasi dari ajaran yang terkandung dalam Islam itu sendiri. NU sebagai ormas Islam terbesar di dunia, telah lahir dari rahim pesantren itu sendiri. NU tidak bisa dipisahkan dengan Pesantren.

Meminjam istilah Kiai Muchit Muzadi “NU dan pesantren bagaikan ikan dan air”. Para pengasuh pesantrelah yang mempelopori ormas Islam ini. Orang-orang seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Ali Maksum, Kiai Ahmad Siddiq, sampai Kiai NU sekarang seperti Abdurrahman Wahid, Kiai Hasyim Muzadi, Kiai Said Aqil Siradj, dan segenap Kiai yang berpengaruh belakangan ini, mereka semua memiliki latar belakang pesantren.

Dari segi sepak-terjangnya dalam kancah sosial-budaya, pesantren memiliki peranan yang tidak bisa dihilangkan. Lebih-lebih dalam membentuk dan mewujudkan karakter bangsa Indonesia yang tidak luput dari perjuangan dan jerih-payah kaum santri. Oleh karenanya, perlu kiranya mengkaji tentang kata “pesantren” secara terminologi, maupun etimologinya.

Etimologi Pesantren di Indonesia

Dari segi etimologi, Pesantren adalah asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Adapun dipandang dari segi terminologinya adalah lembaga pendidikan agama Islam tradisional di negeri ini yang perkembangannya berasal dari masyarakat. Definisi yang sangat terbatas ini, sangat minim untuk mengilustrasikan seabrek kondisi yang diaplikasikan dalam bumi pesantren.

Setidaknya ada lima komponen yang berperan dalam dunia Pesantren ini. lima komponen tersebut menjadi syarat utama untuk pendefinisian sebuah pesantren. Pertama, sosok kiai yang kharismatik dan ditaati dalam tindak-tanduknya, dalam hal ini seorang kiai tidak hanya menjadi sang master dalam pengembangan kecerdasan intelektual santrinya, tapi sang kiai juga memiliki beban moral dalam membimbing kecerdasan spiritual santri. Kedua, santri sebagai pencari ilmu (thalib al-‘ilm). Ketiga, kitab yang menjadi materi dalam pencarian ilmu di pesantren—biasanya kitab ini disebut dengan istilah “kitab kuning”. Keempat dan kelima, adalah masjid sebagai sarana yang multi-fungsi, selain menjadi tempat ibadah-sentral, masjid juga menjadi lahan untuk majlis-majlis ilmu yang biasanya diistilahkan dengan “halaqoh“.

Baca Juga  Ikhtiar Mengubah Stigma Kota Lamongan itu Kota Teroris

Pelajaran yang didapat oleh santri biasanya langsung diaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga hal inilah yang membentuk sebuah karateristik para santri yang menjadi nilai lain dari sistem pendidikan di luar pesantren. Perasaan untuk selalu bertanggung-jawab terhadap dunia-akhirat santrilah yang melatarbelakangi seorang kiai untuk memberikan wejangan-wejangan yang menggugah hati santri dan menambah imannya.

Dalam keterangan di atas setidaknya ada sebuah gambaran bahwa di pesantren, terdapat kegiatan belajar, mengajar, dan ilmu sebagai objek yang diajarkan. Dan tiga hal itu (ilmu, belajar, dan mengajar) memiliki keutamaannya masing-masing dalam agama Islam. Nah, hal inilah yang menjadikan Pesantren sebagai aktor yang berperan dalam melestarikan ilmu agama Islam—sebuah aktifitas yang dulu selalu dijaga konsistensinya oleh Nabi dan para sahabatnya.

Pesantren dari Sudut Pandang Sejarah

Selanjutnya, pesantren dari sudut pandang sejarahnya. Dalam hal ini, Syamsul Arifin Munawwir menyebutkan dalam Islam Indonesia Di Mata Santri bahwa “lembaga pendidikan Islam tertua ini (pesantren) sudah dikenal semenjak agama Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah, atau antara abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Adalah Maulana Malik Ibrahim, salah satu Walisongo, yang dianggap sebagai pendiri pondok Pesantren pertama di Indonesia.”

Munawwir secara eksplisit menegaskan bahwa pertama, pesantren merupakan lembaga pendidikan pertama yang ada dalam bumi Indonesia. Kedua, lahirnya pesantren tidak bisa lepas dari awal mula proses Islamisasi di Indonesia, tepatnya pada abad pertama Hijriah, atau abad ketujuh dan kedelapan Masehi.

Ketiga, Sunan Maulana Malik Ibrahim, salah saru walisongo adalah sosok yang mendirikan pesantren pada kali pertama. Yang menjadi titik tekan dari hal ini adalah bahwa pesantren pada kali pertamanya telah didirikan oleh sosok yang dengan latar belakang ahlussunnah wal-jamaah, yaitu syekh Maulana Malik Ibrahim yang akrab dipanggil dengan sebutan Sunan Gresik.

Baca Juga  Islam Nusantara: Menjaga Peradaban Indonesia dan Dunia

Sunan Gresik dengan latar belakang tasawuf telah menerapkan ilmunya dan mengajarkannya pada para santrinya. Fakta ini pada dasarnya menyatakan bahwa pesantren adalah milik aliran ahlusunnah wal-jamaah. Apabila menganalisa materi ngaji kitab dalam literatur pesantren, maka secara mayoritas dapat kita temukan bahwa kitab bermadzhab syafii-lah yang dominan.

Di samping itu corak pengajaran tasawuf juga tidak kalah kuatnya dalam pesantren. Terbukti dari perilaku para santri yang mengaplikasikan ilmu itu secara praktis dalam kesehariannya. Ilmu yang diterapkan ini meliputi tawadlu kepada guru, tidak sombong, derma dan lain-lain. Hal ini (paduan fikih dan tasawuf) yang kemudian menjadi karateristik penting dunia pesantren. Oleh sebab itu, para kiai pesantren tidak semata-mata ahli fikih saja akan tetapi juga memiliki kemampuan keilmuan dalam bidang tasawuf.

Editor: Nabhan

Mochammad Ichya Ulumuddin
1 posts

About author
Mahasiswa S1 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *