Haji merupakan ibadah yang sebagian besar merupakan tindakan menapak tilas pengalaman ruhani tiga manusia: Nabi Ibrahim, Hajar (istrinya), dan Nabi Ismail (putranya) dalam merintis ditegakkannya nilai-nilai kemanusiaan universal berdasarkan Tauhid. Dalam mewariskan dan melestarikan upacara-upacara suci itu, Nabi Muhammad Saw menegaskan bahwa inti ibadah haji ialah berdiam (wuquf) kurang lebih seharian di Padang Arafah.
Dalam Tuntunan Manasik Haji (PP Muhammadiyah, 2015), ibadah yang dilakukan di Arafah setelah mulainya wukuf adalah khutbah Arafah yang disampaikan oleh imam atau pemimpin rombongan, kemudian melakukan salat Zuhur dan Asar dengan qasar dan jamak takdim dengan satu azan dan dua iqamat. Bagi yang tidak dapat berhenti di Namirah, membaca tahmid, tahlil, takbir, berdoa, bertaubat dan berzikir kepada Allah Swt dan membaca kitab suci al-Quran. Apabila seorang jamaah haji mis (terlewatkan/tidak dapat) melakukannya, maka hajinya tidak sah. Ia dipandang belum melakukan ibadah haji.
Berkenaan dengan ini terkenal sekali sabda Nabi, “Al-Hajj ‘Arafah”—Haji ialah Arafah. Hanya sayang, kebanyakan umat Islam yang menjalankan ibadah haji tidak memahami mengapa Nabi membuat penegasan serupa itu Dengan penegasan itu, Nabi sebenarnya hendak meminta perhatian kaum Muslim kepada isi pidato beliau pada waktu di Arafah dalam satu-satunya kesempatan berhaji. Dalam pidato itulah, Nabi tegaskan tugas sucinya untuk menyeru umat manusia kepada tauhid dan menghormati hak-hak suci sesama manusia, lelaki dan perempuan (Ensiklopedi Nurcholish Madjid, 2012: 787).
Untuk lebih jelasnya, mungkin bisa kita kaitkan dengan hadis: “alhajj ‘Arafah …” (Haji adalah ‘Arafah). Maksudnya, dari sudut fiqih kalau orang itu tidak wuqûf di ‘Arafah, maka hajinya tidak sah, tidak sempurna, atau batal. Di balik ungkapan Nabi itu, sebetulnya ada makna yang sangat mendalam, yaitu ketika Nabi melaksanakan haji wadâ‘, beliau berpidato di ‘Arafah.
Dalam menyampaikan pidatonya ini, beliau terlihat penuh perasaan, dalam arti Nabi sangat menghendaki agar pidato ini benar-benar didengar dan dilaksanakan, hingga beliau berpesan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. “Bukankah aku telah sampaikan (pesan-pesan) ini?” Dan semuanya menjawab: “Benar! Engkau telah sampaikan.” Lalu Nabi berpesan agar yang hadir menyampaikan isi pidato itu kepada yang tidak hadir.
Pidato di Arafah itu, yang menurut Nabi sendiri merupakan inti ibadah haji, jelas-jelas merupakan pidato tentang nilai-nilai kemanusiaan, yang sebagian di antaranya sekarang dikenal sebagai hak-hak asasi manusia (HAM). Pidato itu sendiri umumnya disebut sebagai “Pidato Perpisahan” (Khuthbat Al-Wadâ‘), karena tidak lama setelah itu, selang tiga bulan, Nabi wafat.
Sesungguhnya menjelang wafat itu, Nabi banyak meninggalkan pesan tentang prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus dijaga, sejalan dengan ajaran Kitab Suci bahwa setiap pribadi (individu) manusia harus dihormati hak-haknya, karena setiap pribadi itu mempunyai nilai kemanusiaan sejagat (universal).
Paham kemanusiaan yang diajarkan oleh agama-agama itu dipercayai, dihayati, dan diamalkan sebagai bagian penting dari religiusitas masyarakat. Pandangan yang sangat tinggi dan hormat kepada harkat dan martabat manusia itu menjadi bagian dari ajaran agama yang harus dijalankan oleh para pemeluknya.
Pesan-Pesan Etis Kemanusiaan Pidato Wada’
Dokumen tersebut, meringkas ajaran Islam mengenai prinsip-prinsip ajaran kemanusiaan universal. Pertama, persamaan seluruh umat manusia. Karena Tuhan seluruh umat manusia adalah satu (sama), dan ayah atau moyang seluruh umat manusia adalah satu (sama) yaitu Adam. Dengan demikian “klaim keunggulan karena factor-faktor kenisbatan (ascriptive) seperti kesukuan, kebangsaan, warna kulit, dan lain-lain sama sekali tidak dibenarkan. Ukuran kemuliaan seseorang atas yang lain adalah ketakwaan (QS. 49: 13).
Kedua, darah atau nyawa—yaitu hidup manusia—begitu pula hartanya dan kehormatannya adalah suci, karena itu mutlak dilindungi dan tidak boleh dilanggar. Ini adalah prinsip hak asasi manusia yang paling mendasar, “Barang siapa membunuh seseorang tanpa kesalahan pembunuhan atau perusakan di bumi, maka bagaikan membunuh seluruh umat manusia, dan barangsiapa menolong hidup seseorang, maka bagaikan menolong hidup seluruh umat manusia” (QS. 5: 32).
Ketiga, semua orang akan kembali kepada Tuhan, dan Tuhan akan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan masing-masing secara pribadi mutlak. Kejahatan tidak akan menimpa kecuali atas pelakunya sendiri. Orangtua tidak boleh jahat kepada anaknya, dan sebaliknya. Ditegaskan juga: seorang Muslim adalah saudara bagi sesamanya, sehingga tidak dibenarkan melanggar hak sesamanya, kecuali atas persetujuan dan kerelaan yang bersangkutan.
Keempat, manusia tidak kembali menjadi sesat dan kafir, kemudian saling bermusuhan. Manusia tidak boleh saling menindas—melakukan eksploitasi—semua bentuk penindasan dan kezaliman di masa Jahiliah dinyatakan batal, termasuk transaksi ekonomi berdasarkan riba.
Kelima, memuliakan perempuan (istri), sebabnya wanita—karena pola kehidupan nomad—adalah makhluk yang sama sekali tergantung kepada pria (suami). Ditegaskan bahwa wanita dan pria mempunyai hak dan kewajiban yang sama secara timbal balik. Di sinilah Nabi mengingatkan bahwa pergaulan pria dan wanita sebagai suami-istri adalah amanat Allah, dan terjadi karena kalimat (pengesahan suci) dari Allah melalui akad (nikah) yang disebut “perjanjian yang berat” (mîtsâq ghalîzh).
Dokumen Pidato Perpisahan Nabi ini menurut Cak Nur mempunyai nilai kemanusiaan yang tinggi yang menjadikan Islam sebagai ajaran keagamaan yang sangat menghargai manusia, yang menghargai individu atas dasar prinsip egalitarianisme, demokratis, partisipatif, dan keadilan.
Dalam Khutbat Al-Wadâ‘ ini, Nabi menegaskan tentang––dalam bahasa sekarang––hak-hak asasi manusia. Setelah Nabi mengucapkan pidato ini, sore harinya turun (salah satu) wahyu terakhir yang menyatakan kesempurnaan agama dan rahmat Allah kepada pemeluknya.
Mengapa Inti Haji di Arafah, Bukan di Ka’bah?
Nabi mengatakan Al-Hajj ‘Arafah, maksudnya adalah untuk memahami ini. Dalam bahasa kita sekarang, Al-Hajj ‘Arafah artinya orang haji itu harus berkumpul di ‘Arafah dan meresapi nilai-nilai kemanusiaan universal. Sebab di ‘Arafah juga didemonstrasikan berkumpulnya segala macam bangsa, dari yang warna kulitnya putih, kuning, sawo matang, sampai yang berkulit hitam.
Menurut Al-Quran, manusia itu semuanya sama. Barangsiapa memandang orang lain lebih rendah dari dirinya––hanya karena warna kulit, tempat kelahiran, bentuk tubuh, dan yang sejenisnya––maka itu istilahnya sekarang adalah rasisme, yang merupakan dosa pertama yang pernah dilakukan makhluk. Yaitu ketika iblis menolak sujud kepada Adam hanya karena iblis diciptakan dari api, dan Adam diciptakan dari tanah. Kemudian iblis itu merasa lebih unggul daripada Adam.
Dari kenyataan di atas kita bisa mengatakan bahwa dosa pertama yang dilakukan makhluk itu adalah rasialisme. Banyak sekali kejahatan-kejahatan besar yang dilakukan umat manusia dilatarbelakangi oleh rasialisme ini. Di Arafah inilah kita menyadari persamaan sebagai manusia yang memiliki Bapak yang sama, yaitu Nabi Adam AS.
Editor: Soleh