Pilpres 2024 semakin dekat. Tanggal 14 Februari tinggal beberapa hari. Dibanding Pilpres 2019, kali ini Muhammadiyah terlihat lebih santai. Ada yang dukung 01, ada yang 02, dan ada yang 03. Dalam konteks ini,sikap politik warga Muhammadiyah sudah sejalan dengan Khittah Denpasar 2002 point ke-7: “Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai dengan hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus sesuai dengan tanggung jawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.”
Dalam kaitan ini Muhammadiyah netral. Jadi, dalam berurusan dengan “politik praktis” secara individual warga Muhammadiyah memiliki kebebasan sebagai hak pribadi. Namun kebebasan tersebut bersifat individual, maka tidak boleh mengatasnamakan dan membawa-bawa Muhammadiyah. Secara resmi maupun secara simbolik.
Akan tetapi sangat disayangkan sebagian warga, pimpinan, dan kader Muhammadiyah kurang seksama. Sebagian masih ada mengatasnamakan dan membawa nama, bahkan ada yang menggunakan institusi Muhammadiyah. Sebut saja GP Berkemajuan dan Marmud1912 yang diarahkan mendukung Ganjar-Mahfud. Garda Matahari, MU Perubahan dan Aliansi Masyarakat Madani (AMM) preferensi politiknya ke pasangan Anies-Muhaimin. Ada juga “Bergerak 1912”, Mentari Pagi, Kawan Gibran bagi yang mendukung Prabowo-Gibran.
Mengapa tidak boleh membawa nama, simbol, dan institusi Muhammadiyah? Ini bukan berarti Muhammadiyah anti politik, tidak butuh politik, atau menganggap politik itu negatif. Tidak. Justru secara prinsip Muhammadiyah memandang politik bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan urusan muamalah. Yang perlu dicatat, dalam Khittah Denpasar Muhammadiyah lebih memilih perjuangan politik kebangsaan melalui pembinaan Masyarakat. Sebaliknya tidak memilih perjuangan politik praktis. Untuk urusan perjuangan meraih kekuasaan biar menjadi arena partai politik. Itu pilihan ijtihad politik Muhammadiyah.
Jadi, jangan menurunkan marwah, martabat, dan kehormatan Muhammadiyah dengan membawanya ke dunia partisan sehingga mirip partai politik. Merebut kekuasaan bukan urusan Muhammadiyah. Muhammadiyah itu orang tua yang melahirkan negara ini. Jangan diposisikan untuk berkontestasi dalam politik merebut kekuasaan. Muhammadiyah harus diposisikan seperti orang tua, kekuatan penengah, dan menjadi benteng moral terakhir bangsa ini. Jangan jual Muhammadiyah dengan harga murahan.
Siapapun yang terpilih dan sah menjadi pemimpin bangsa ini akan didukung oleh Muhammadiyah. Itulah “Kepribadian Muhammadiyah”. Siapapun pemerintahnya Muhammadiyah akan mendukung, bekerjasama, dan bersama untuk memajukan Indonesia. Karenanya, menghadapi dinamika politik dan Pemilu 2024 dengan segala kaitannya bagi seluruh warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah haruslah benar-benar taat asas mengikuti koridor organisasi yang memiliki pijakan yang kuat sebagaimana Khittah Muhammadiyah.
Dalam menghadapi Pemilu 2024, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam forum Peneguhan Visi dan Komitmen Majelis/Lembaga/Biro Pimpinan Pusat Muhammadiyah menegaskan 4 sikap konkret:
Pertama, Muhammadiyah bukan parpol tetapi organisasi kemasyarakatan, posisinya tidak sama dengan parpol atau organ parpol, serta tidak ada hubungan afiliasi dengan parpol dan kekuatan politik manapun. Jadi, jangan membawa dan melibatkan Persyarikatan Muhammadiyah dalam proses kontestasi politik Pemilu 2024, atas alasan apapun dan untuk partai politik maupun kepentingan apapun.
Kedua, ikuti aturan dan ketentuan Persyarikatan yang berlaku, jangan terlibat dukung mendukung apalagi mengatasnamakan Muhammadiyah, apalagi menggunakan struktur dan institusi resmi Muhammadiyah. Simbol dan berbau saja tidak boleh, apalagi memanfaatkan struktur organisasi atau amal usaha Muhammadiyah.
Ketiga, jangan membawa sikap pribadi atau perorangan ke dalam Muhammadiyah sehingga mencampuradukkan politik praktisnya dengan organisasi dan membuat kontroversi di internal Persyarikatan.
Keempat, bagi seluruh anggota apalagi kader dan pimpinan Muhammadiyah harus selalu memedomani dan mengimplementasikan Khittah dalam bermuhammadiyah, termasuk dalam menghadapi tarik menarik politik praktis.
Dengan demikian, mari jadikan Khittah maupun Kepribadian dan seluruh aturan organisasi yang berlaku sebagai pedoman hadapi politik dan Pemilu 2024. Jadi semua anggota, kader, dan pimpinan menyadari dan memahami betul posisi Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan yang gerakannya non politik-praktis. Jangan terbawa arus politik partisan di dalam Muhammadiyah. Santai, dan biasa-biasa saja.
Pilpres dan pemilu 2024 menjadi ujian para kader, pimpinan, dan anggota. Siapakah yang benar-benar menjaga Muhammadiyah, memahami ideologi dan mengamalkannya. Bagi yang mencintai Muhammadiyah, tentu mampu menahan diri. Setiap orang memiliki pandangan dan sikap individu yang harus disimpan menjadi milik pribadi. Aspirasi politik yang berbeda jangan sampai menjadi urusan dan beban organisasi.
Untuk menjaga marwah Muhammadiyah, sikap partisan politik praktis yang bersifat individual hendaknya tidak membawa, melibatkan, dan mengatasnamakan Persyarikatan Muhammadiyah. Jadi posisikan Muhammadiyah pada posisinya: ormas. Jangan memposisikan ke yang tidak seharusnya: Partai Politik atau Tim Sukses.