Eksoterik Agama – Ada banyak perdebatan atau dialog antara pemeluk agama yang berbeda dengan tujuan mencari tahu agama yang yang benar. Namun, juga ada yang menggunakan perdebatan atau dialog tersebut hanya untuk membuktikan bahwa agama yang dianutnya adalah benar. Bukan mencari kebenaran, tapi mencari pembenaran atas agama yang dianutnya.
Semua orang tidak bisa memungkiri bahwa ia ingin mencari jalan keselamatan untuk dirinya, baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang mengaku atheis pun secara praktis mereka mengakui ada kekuatan besar di luar apa yang mereka bayangkan.
Maka dari itu, semua manusia yang sehat pasti mencari “kebenaran” tersebut secara tidak sadar dengan adanya dorongan dari fitrah kemanusiaan atau lebih tepatnya “ciptaan”.
Membicarakan bahwa manusia adalah ciptaan adalah hanya untuk orang-orang yang mempercayai agama. Namun, siapa yang dapat menyangkal bahwa manusia adalah ciptaan?
Sejauh ini tidak ada yang bisa membantah. Sekalipun seseorang membantah hal tersebut, lagi-lagi secara praktis ia mengakuinya.
Kemudian bagaimana cara menentukan agama yang benar? apa agama semitik (Yahudi, Kristen, Islam) atau agama non-semitik?
Definisi Agama
Kata “agama” setara dan sepadan dengan kata “religion” (dalam bahasa Inggris), dan الدين (dalam Bahasa Arab). Kata ‘agama’ berasal dari bahasa Sansekerta a yang berarti ‘tidak’ dan gama yang berarti ‘kacau’. Jadi, agama berarti ‘tidak kacau’.
Dari itu dapat dipahami bahwa agama adalah seperangkat aturan Tuhan yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga, mereka yang beragama tidak mengalami kekacauan dalam hidupnya, baik kekacauan akal maupun hati, baik lahir maupun batin.
Menentukan Agama yang Benar
Persoalan ini tidak bisa dibahas secara obyektif. Setiap orang punya metode sendiri atau hanya mengikuti orang yang sebelumnya untuk menentukan agama yang menurutnya benar. Seperti mengikuti agama orang tuanya, mencoba mencari kebenaran dengan riset (komparasi agama satu dengan agama lainnya), atau hanya dengan dorongan hati.
Semua yang dianggapnya benar adalah benar menurutnya. Kebenaran absolut masih hanya dimiliki Tuhan dan dengan hak prerogatifnya kita mengetahui kebenaran tersebut.
Masing-msing pemeluk agama akan meyakini agama yang dianut adalah kebenaran. Jika ada yang bilang bahwa semua agama adalah sama akan banyak dari mereka menyangkalnya. Dari sini pengertian lebih lanjut dari agama akan terurai.
Dimensi Agama
Agama memiliki bentuk (eksoterik) dan substansi (esoteris). Secara bentuk, agama adalah trans-historis. Di mana, bentuk dan bahasa agama pasti memuat budaya dari sebuah komunitas dan pada akhirnya akan melahirkan pengelompokan ideologi. Contoh; Islam dengan kearab-arabannya, Yahudi dengan ke-Israilannya, dan lain sebagainya.
Setiap penampakan agama pada dimensi eksoterik adalah khas dan unik. Di mana, hal itu memantulkan cahaya realitas arketif dari tradisi primodial (dalam pengertian metafisis) yang sejalan dengan bentangan sejarah.
Sedangkan secara substansial, semua agama menurut para Filsuf Perenial, pada hakikatnya adalah satu. Di mana, semua terpancarkan dari satu menjadi banyak bentuk yang berbeda-beda.
Pluralitas Hanya pada Dimensi Eksoterik
Bagaimana menjelaskan realita pluralistas eksistensi agama?
Menurut Al-Hallaj, pluralitas agama hanya nama dan sebutan yang berbeda-beda dan berubah-ubah. Adapun substansi dan tujuannya adalah satu. Hakikat agama adalah satu.
Namun karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. Pesan kebenaran yang Absolut itu berpartisipasi dan bersimbiosis dalam dialektika sejarah.
Maka setiap bentuk dan bahasa keagamaan juga mengandung muatan nilai-nilai budaya dari sebuah komunitas. Pada waktu yang sama, bahasa dan nilai agama yang terwadahi dalam lembaga budaya tertentu tersebut yang pada gilirannya akan melahirkan pengelompokan ideologis.
Inwardly, or in terms of substance, the claims that a religion makes are absolute, but outwardly, or in terms of form, and so on the level of human contingency, they are necessarily relative.”
Secara esoteris, atau dalam pengertian substansi, klaim ataupun pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh suatu agama bersifat mutlak. Tetapi, secara eksoterik, atau dalam pengertian bentuk, atau pada tingkat keberagamaan manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut mau tak mau menjadi relatif. [Komaruddin, 1995:5]
***
Maka dari itu Paul Knitter dalam bukunya No Other Name?: A Critical Survey of Christian Attitudes, Toward the World Religion (1985) mengatakan:
“You can’t say that one is better than another…, All religions are relative that is, limited, partial, incomplete, one way of looking at thing. To hold that any religion is intrinsically better than another is felt to be somehow wrong, offensif, narrowminded’’
Anda tidak bisa mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari agama yang lain. Semua agama pada dasarnya semua relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap sebagai jalan dalam melihat segala sesuatu. Menganggap bahwa sebuah agama secara intrinsik lebih baik dari yang lain, sekarang (oleh ahli agama-agama) dirasakan sebagai sebuah sikap yang agak salah, ofensif, dan merupakan pandangan yang sempit.
Dengan demikian yang perlu dikritik bukan pada dimensi eksoterik sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, melainkan otrokasi dan berbagai akses negatifnya yang merasuki seluruh bidang kehidupan.
Semua agama adalah benar menurut penganutnya, diksi tersebut muncul sebab ada dogma dari setiap agama yang harus mengakui kebenaran agamanya sendiri yang di mana hal itu juga menjadi sebab utama adanya pluralitas agama pada dimensi eksoterisnya.
Agama Heterodoks
Apa benar ada dogma pada agama yang heterodoks? Jika dianalisis lebih lanjut memang ada dogma agama yang heterodoks, lebih tepatnya sebagian penganut membuat dogma atau menganut dogma yang heterodoks.
Kenapa bisa begitu? Karena untuk menyesuaikan dogma agama dengan zaman, reifikasi agama terutama secara sosiologis harus dilakukan. Di mana, hal itu berpotensi munculnya agama buatan manusia (heterodoks) dan juga akan dianut.
Apakah itu kesalahan? Hal ini masih debatable. Orang-orang yang mempertahankan tradisi agama akan dianggap puritan. Begitu juga sebaliknya, orang-orang yang merekonstruksi sebagian dogma agama akan dianggap menyimpang.
Bagaimana untuk menentukan kebenaran akan hal itu? carilah kebenaran tersebut tanpa henti dan gunakan hati nurani di mana hal itu adalah fitrah makhluk yang diberikan Tuhan sebagai medium untuk mendapatkan dan menerima kebenaran. Wallah a’lam bi al-shawab.