Baru-baru ini ada kabar yang cukup menggegerkan publik. Kabar tersebut berasal dari Wakil Gubernur Jawa Barat Ruzahul Ulum yang menyarankan agar ibu-ibu mengizinkan suaminya berpoligami, guna mengurangi terjadinya penyakit kelamin menular seperti HIV AIDS.
“Daripada seolah-olah dia (suami) tidak suka begitu, tapi akhirnya kena (HIV/AIDS) ke istrinya sendiri, toh agama juga memberikan lampu hijau asal siap adil kenapa tidak? Makanya daripada ibu kena (HIV/ AIDS) sementara ketahuan suami seperti itu mendingan diberikan keleluasaan untuk poligami,” kata Ruzahul Ulum ketika ditanya wartawan.
Hal yang melatarbelakangi keluarnya pernyataan tersebut adalah data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bandung, dari 5.943 kasus positif HIV di Bandung selama periode 1991-2021, sebanyak 11 persen di antaranya adalah ibu rumah tangga (IRT).
Salah satu pemicunya adalah suami yang melakukan hubungan seks tidak menggunakan pengaman dengan pekerja seks. Selain IRT, 6,9 persen atau 414 kasus terjadi pada mahasiswa.
Maka dari itu, wakil Gubernur menyarankan berpoligami dan para pemuda untuk segera menikah agar tidak terjadinya perzinaan.
“Saya berharap kepada anak-anak muda kalau kebelet, kawin saja, orangtua memberikan dukungan, jangan dihalang-halangi, kalau dihalangi semacam itu, khawatir lebih parah lagi (dampaknya),” katanya.
Terlepas dari kontroversi tentang HIV AIDS, mungkin sudah banyak artikel yang muncul mengenai kritikan terhadap Wagub Jawa Barat tersebut. Baik itu dari sosiolog, akademisi, maupun pakar kesehatan.
Poligami Bukan Solusi Mencegah HIV/AIDS
Di sini penulis akan lebih menguraikan poligami dari aspek teologis. Karena beliau menyenggol tentang agama, patut dipertanyakan kembali bagaimana perspektif teologis beliau tentang poligami.
Apakah hanya sebatas paham bahwa Islam tidak melarang poligami sehingga pria dapat menikahi perempuan lebih dari 1? Tentu hal itulah yang patut didiskusikan lagi kepada masyarakat. Bahwasannya poligami tidak serta merta hanya tentang nafsu belaka. Sehingga dijadikan seolah-olah solusi yang absolut untuk mencegah beberapa bentuk kemudaratan.
Berbicara mengenai poligami, tentu dalil yang cukup familiar untuk melegitimasi tentang poligami adalah QS. An-Nisa Ayat 3 yang artinya:
Dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (ketika kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senang: dua, tiga, atau empat, jika kamu tidak bisa berbuat adil, maka cukup seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS. An-Nisa: 3).
Tentu, dalam ayat tersebut Islam tidak melarang poligami, dan tidak mewajibkan pula poligami. Kalau dipahami lebih detail, justru mempunyai ruang yang kecil dalam hukum Islam. Adapun poligami hanya diperuntukan bagi orang-orang yang memiliki kondisi tertentu dengan syarat yang tidak ringan.
Bahkan ulama dari kalangan Syafiiyah yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia, tampak tidak memberi ruang yang luas mengenai poligami.
Bahkan al-Maraghi dalam kitab tafsirnya, menyatakan bahwa poligami diperbolehkan dengan menggunakan syarat-syarat yang rumit. Menurut al-Maraghi poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan yang ketat dan benar-benar memebutuhkan.
Kemudian, karena itulah al-Maraghi membuat kaidah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat). Catatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk berhati-hati dalam melakukan poligami.
***
Dan jika kita memakai logika kita dengan baik, sebenarnya poligami tidak ada kaitannya sama sekali sebagai solusi mencegah penularan HIV/AIDS. Kita tau bahwa HIV/AIDS bisa menular lewat transfusi darah dan hubungan seksual. Meskipun seseorang sudah poligami tapi mendapat transfusi darah dari orang yang mengidap HIV/AIDS, maka dia tetap saja tertular.
Pun katakan jika sudah poligami dan ternyata salah satu istrinya (atau bahkan sang suaminya sendiri) mengidap HIV/AIDS, sama saja dia bakal tertular juga. Berganti-ganti pasangan di luar pernikahan bukan menjadi sebab primer penyebaran virus HIV/AIDS, tapi soal bagaimana seseorang bisa melakukan aktivitas sosial dengan aman, selalu rutin melakukan cek kesehatan, dan tak sembarangan menerima transfuse darah.
Dengan urian yang penulis sampaikan bahwa solusi yang ditawarkan Wakil Gubernur Jawa Barat untuk mencegah terjadinya HIV AIDS adalah poligami, sangatlah tidak tepat. Karena bukan berarti praktik poligami ketika dijalankan dapat memberikan solusi. Justru sangat mungkin terjadi menambah permasalahan-permasalahan baru, seperti ketidakadilan dalam rumah tangga, kasus KDRT, perceraian, dan sebagainya.
Editor: Yahya FR