Perspektif

Politik Identitas itu Mempertajam Polarisasi di Masyarakat

4 Mins read

Istilah politik identitas sudah menjadi kata yang terus disoroti sejak 2016 secara global, lalu sejak 2017 di Indonesia. Secara sederhana, politik identitas bisa diterjemahkan sebagai pendekatan politik praktis yang menekankan aspek identitas di atas wacana, ide, dan aspek lainnya. Memang, tidak bisa dinafikan bahwa pendekatan politik identitas bukanlah sesuatu yang baru saja muncul. Secara historis, banyak tokoh klasik yang sudah menggunakan pendekatan identitas dalam manuver politiknya—contoh-contohnya akan disebutkan kemudian.

Namun, politik identitas dalam konteks politik modern baru mulai muncul secara kentara pada era Nazi Jerman, dimana identitas Arya menjadi pusat dari narasi politik Partai Nazi. Lalu pendekatan ini bermunculan di negara-negara lainnya. Donald Trump dalam kampanyenya di pemilu Amerika 2016 secara gamblang menggunakan politik identitas dengan menekankan “White American” sebagai narasi utamanya. Dikarenakan kondisi sosial Amerika Serikat saat itu sudah sangat terpolarisasi, dan kekhawatiran kaum kulit putih terhadap tergerusnya posisi mereka dari tatanan sosial Amerika, Donald Trump berhasil mencapai kemenangan atas lawannya Hillary Clinton yang justru memperjuangkan kaum minoritas Amerika.

***

Tulisan ini tentunya tidak akan menyorot politik identitas di AS atau di Indonesia, lantaran sudah sangat banyak tulisan yang merefleksikan dan menganalisa dua contoh tersebut. Barangkali, satu persoalan yang mungkin masih menimbulkan pertanyaan di benak beberapa orang, dengan mengambil Indonesia sebagai contoh dimana identitas Islam menjadi centre of attention dari politik identitas, lantas apakah konsepsi politik menurut Islam memperbolehkan Politik Identitas? Tentunya sangat unik menyorot hal ini karena boleh jadi satu hal yang mereka tekankan sebagai tameng politik justru tidak membolehkan atau mengecam praktik politik identitas. Terlebih, salah satu partai (Islam) kontestan pemilu 2024 secara vokal mendeklarasikan penggunaan politik identitas dalam strategi politik mereka. Apakah politik “identitas Islam” merupakan sesuatu yang Islami atau tidak?

Baca Juga  Bahasa, Canda, dan Kopi Klotok Bersama Buya Syafii

Untuk menjawab problematika ini, tentunya bukan melalui jalur pembenaran subjektif penulis atau menyeleksi pendapat-pendapat cendekiawan Islam yang sesuai dengan narasi yang diinginkan. Objektifitas itu bisa dicapai dengan melihat kembali ke sumber yang menjadi standar untuk menyebut suatu hal Islami atau tidak, yaitu dua teks utama: Al-Qur’an dan hadis dibarengi dengan pemikiran cendekiawan Muslim khususnya para konseptor politik menurut Islam.

Islam Tak Pernah Membenarkan Politik Identitas

Namun, lantaran keterbatasan ruang tulisan, maka pembahasannya akan lebih padat dari standar idealnya diskusi tentang topik ini. Argumen utama tulisan ini adalah meskipun politik identitas secara praktik tercatat pernah terjadi dalam sejarahnya, Islam sendiri tidak pernah menyetujui dan membolehkan politik identitas karena pendekatan ini melanggar satu aturan akidah Islam yaitu takfir tidak langsung antara dua pihak yang sama-sama Muslim dan merusak kehormatan dan martabat manusia.

Hal pertama untuk dipertanyakan berkaitan dengan Al-Quran atau hadis dalam persoalan politik adalah apakah ayat atau hadis politik benar-benar ada? Jawaban terhadap persoalan ini tentunya relatif dan tidak monoton, karena seluruh ayat dan hadis bisa ditafsirkan dengan sudut pandang politik. Dengan demikian, akar permasalahan bukanlah pada teks ayat atau hadis tetapi pada cara penafsiran keduanya. Tentunya ada banyak sekali ayat dan hadis berkaitan politik, dan para pelaku politik identitas biasanya merujuk pada dalil-dalil yang mendukung narasi mereka, seperti ayat-ayat yang punya konteks perang atau menceritakan kondisi konflik antara kebenaran dan kezaliman.

Sebelum melihat langsung ke contoh, perlu diketahui bahwa membawa dalil-dalil di atas ke konteks yang tidak relevan adalah suatu pencederaan terhadap teks Al-Qur’an dan hadis. Sebagai contoh, menggunakan ayat tentang konflik Nabi Musa as dan Fir’aun sebagai tameng pembenaran kampanye politik demokratis satu kelompok. Tentunya ini bermakna bahwa kelompok tersebut mengklaim kebenaran absolut sebagai Muslim yang sebenarnya dan menempatkan lawannya sebagai representasi musuh Tuhan, padahal secara kenyataan kedua pihak sama-sama Muslim. Ringkasnya, cara ini sama saja seperti melayangkan kekafiran (takfir) pada lawan politik, di saat hal-hal yang membatalkan keislaman tidak eksis. Imam Ahmad bin Hanbal sudah memberikan peringatan bahwa menuduh kekafiran ke pihak yang tidak layak dikafirkan, maka tuduhan tersebut kembali ke si penuduh.

Baca Juga  Hasilkan Piagam Surabaya, AICIS 2023: Tolak Politik Identitas
***

Lebih lanjut lagi, pengguna politik identitas biasanya akan menyelaraskan kelompoknya sebagai kelompok terpilih yang berjumlah sedikit sebagai mana Muslim pada periode awal peradaban. Dengan penyelarasan ini mereka berdalih bahwa terdapat dua kutub dalam tatanan sosial: mereka yang mendukung jalan yang benar (red: mendukung kami) dan selain itu adalah kebatilan yang harus dilawan. Di sinilah mereka mendefenisikan identitas “Muslim yang sebenarnya” seakan-akan di luar mereka bukanlah Muslim. Sama seperti kampanye Donald Trump dahulu yang menekankan bahwa Kristen kulit putih yang benar adalah yang mendukung Trump, dan selainnya adalah pengkhianat.

Meskipun Al-Quran dan beberapa Hadis sudah menyatakan keragaman manusia dan kemustahilan seluruh manusia untuk disatukan, tetapi polarisasi (mengkotak-kotakkan) umat manusia—terlebih lagi sesama Muslim—merupakan hal yang juga dikecam oleh Al-Quran dan hadis. Tentunya surah Al-Hujurat ayat 9-13 menjadi dalil utama dalam persoalan ini. Para ulama yang mengkonsepkan politik dalam Islampun, sangat jarang menekankan persoalan identitas keislaman sebagai dasar pembeda antara musuh dan teman, bahkan dzimmi pun terkadang dikategorikan sebagai Muslim dalam makna kepatuhan mereka terhadap pemerintahan Muslim. Walaupun beberapa Sultan Daulah Umawiyah tercatat menggunakan identitas Umayyah mereka dalam mempersekusi baik Muslim non-Umawi atau non-Muslim dzimmi, tetapi tidak bermakna bahwa praktik Umawi ini memperbolehkan politik identitas.

***

Apalagi perubahan kondisi dan konteks zaman juga berimplikasi pada cara memahami perpolitikan. Realita sosial dalam konsep nation-state sangat erat dengan keragaman dan kemajemukan identitas, sementara kemajuan suatu bangsa dipengaruhi oleh bagaimana sosial berdamai dengan kemajemukan tersebut. Politik identitas bukan hanya mempersulit tercapainya proses damai, bahkan merusak tatanan sosial secara umum dengan mempertajam celah antara kemajemukan masyarakat.

Baca Juga  Untuk Para Khatib, Mari Berbenah

Terbukti secara historis, kesenjangan masyarakat dalam tatanan sosial Bani Umayyah terlalu tajam hingga setiap elemen masyarakat hanya boleh menggunakan warna baju tertentu. Konsekuensi dari politik identitas bukan hanya merusak persaudaraan, bahkan merendahkan kehormatan manusia lain. Kedua hal ini adalah pesan esensial yang dibawakan Al-Quran, dan merusak keduanya bisa dimaknai sebagai melawan Al-Quran. Mudah untuk mengatakan bahwa pelaku politik identitas melawan pesan-pesan Al-Quran.

*Artikel ini adalah hasil kerjasama antara IBTimes.ID dan INFID

Editor: Yahya FR

Avatar
9 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds