Ada dua wacana paling banyak menyita perhatian orang Indonesia sepanjang abad 20. Pertama, wacana negara-bangsa (nation state), di awal atau paruh abad pertama. Kedua, wacana kelas menengah di paruh akhir abad kedua puluh, begitulah kata seorang kawan saya.
Wacana nation state mewujud secara hegemonik dalam istilah NKRI. Pada istilah NKRI, terjebaklah kita pada imajinasi bagaimana kekuasaan itu sebaiknya diatur, yang harus memenuhi prinsip Summum Bonum (kebaikan tertinggi). Filosofi dari mekanisme politik seperti ini luput jadi pembicaraan. Yang ada besok atau lusa kita pemilu, sebelum itu kita sibuk bersiasat membagikan atau mendapatkan serangan fajar, bercawe-cawe ria, ataupun bersiap-siap mendapatkan roti dengan jilatan terbaik.
Jadi amat jauh jika kita akan fokus pada soal isinya yang harus dibentuk untuk kebaikan bersama, bukan baik bagi sebagian yang punya akses kekuasaan saja.
Belum lagi pertimbangan, apa tidak sebaiknya kaum pengusaha partikelir, kaum saudagar itu mesti dipisahkan golongannya dari golongan pemerintah agar konflik kepentingan agak bisa dihindari? pertanyaan ini tidak banyak yang mau menjawab atau mencari jawaban karena kita ini sudah NKRI, diskusi seakan sudah selesai, kita hanya butuh sekedar seremoni setelahnya.
Tapi pertanyaan berikutnya, harus memulai dari mana kita untuk membicarakan politik yang melampuai sekedar seremoni apalagi arak-arakan itu. Apalagi gelombang kebencian pada yang politik seakan beriringan dengan gelombang yang tidak memaknai yang politik untuk kebaikan bersama.
Meretas Kebencian Pada yang Politik
Jika ada yang membenci politik, tentulah itu tidak terjadi dalam semalam. Ada serangkaian realita yang dirasakan langsung maupun tidaknya, yang menjadikan kebencian pada yang politik menjadi fenomena yang menghinggapi generasi muda.
Memang benar ada antusiasme politik, namun ada pula kebencian terhadapnya. Sehingga memilih menjadi masa bodoh pada persoalan politik menjadi kewajaran.
Padahal sikap masa bodoh ini bisa menjadi dilematis. Kata seorang teman dari Serbia yang selalu memancing dialektika di komunitas bedah buku yang saya ikuti. Jika sikap masa bodoh ini adalah bagian dari pedoman dan sikap hidup terutama di kalangan terpelajar, maka hendaklah mereka menyadari akibatnya yang justru menjauhkan mereka dari prinsip Respondeo Ergo Sum (Aku Bertanggungjawab Aku Ada) bukan sekedar Aku Berpikir Aku Ada (Cogito Ergo Sum).
Kurang Pengetahuan, Minim Keteladanan
Yang perlu dilakukan untuk meretas kebencian politik berhubungan dengan niatan kita untuk menyadari kekurangan pengetahuan dan ketiadaan keteladanan yang menghinggapi kita ketika bersentuhan dengan yang politik.
Tetapi pertambahan pengetahuan dan hadirnya keteladanan itu tidak bisa kita harapkan pada para sophist berjubah agamawan, politisi, influencer, buzzer, selebritas, apalagi kanda-dinda di OKP yang berkutat pada urusan perut.
Pertambahan pengetahuan itu dimulai dari merubah sudut pandang antara yang ideal dan realitas. Dimana politik dalam sudut pandang realitas, terutama dalam konteks keseharian kita di negeri gemah ripah loh jinawi ini selalu identik kotor, busuk, dan tidak baik.
Kalau kata Ayahanda Ma’mun Murod, ketika politik terus menerus di ruang publik dari sisi negatifnya, maka sisi maslahatnya akan hilang. Padahal politik itu penting untuk muamalah.
Realitas ini memang amat pahit bahkan di dunia sastra sekalian pun tergambar jelas bagaimana realitas politik kita. jika pernah membaca Rasiah Nu Goreng Patut karangan Soekria-Johana yang pertama kali terbit tahun 1928, itu yang menceritakan bagaimana Karnadi, seorang yang pandai mematut-matut dirinya yang tidak istimewa (goreng patut). Kalau dalam istilah sekarang adalah pencitraan.
Yang salah satu kutipan berbunyi “Ari watekna karnadi teh sok wani ka nu teu puguh, ngajujur napsu, hayang ka nu lain layak, miasih nu lain tanding Tapi mungguhing manusa, sanajan nyucud goreng patut, tuna pangabisan, sok rajeun aya bae momonesna teh. Nya kitu deui Karnadi, jaba ti bida ngabeberes carita teh, tapi oge bisa ngahariring, calakan kana guguritan, nya teu wudu oge sorana teh rada ngeunah.” (hal 8) kiranya Begitulah budaya politik kita sekarang, banyak yang seperti Karnadi. Besar dalam pencitraan; kosong dan rapuh dalam argumen.
Sekali Lagi tentang Peran Intelektual
Peran intelektual amat penting dalam hal ini untuk meluruskan makna dan praksis politik yang sebenarnnya, di dalam maupun di luar sistem. Hal ini selaras dengan fungsi intelektual sebagai rausyanfikir yang bukan saja mencari dan menampilkan kenyataan sebagaimana adanya, namun memberi penilaian sebagaimana seharusnnya yang politik itu berjalan.
Golongan terpelajar artinya mereka yang berkesadaran akan tanggung jawab bersama, bukan malah dibajak atau sukarala berada pada barisan kekuasaan menjadi apa yang diistilahkan Edward said sebagai “ the poisonous embrace” yang justru mengambil jarak dengan tanggung jawabnya, menutupi kesalahan penguasa, dan tidak peka dengan ketertindasan rakyat. Di satu sisi mereka menampilkan diri sebagai pembela rakyat dan berbicara ide-ide besar seputar perbaikan, tetapi tidak pernah menggunakan keistimewaannya atau privilidgenya sebagai intelektual yang dekat dengan penguasa untuk bersuara tentang kebenaran.
Jadi benarlah kata Noam Chomsky dalam bukunya berjudul “THE RESPONSIBILITY -of intellectuals to speak the truth and to expose” tentang privilegde yang dirasakan oleh para intelektual dalam bentuk peluang dan harus dikembalikan dalam bentuk tanggung jawab seperti berposisi untuk mengungkap kebohongan penguasa, menganalisis tindakan mereka berdasarkan penyebab dan motifnya, serta mengekspose niat tersembunyi ke masyarakat. Tapi sepertinya mustahil hal ini dilakukan, apalagi jika sudah berposisi menjadi peliharaan penguasa.
Soal ketiadaan keteladanan pada yang politik saat ini amatlah sulit, kita hanya dapat menerka-nerka mana yang tidak terlalu jahat atau lesser evil katakanlah di tengah krisis nilai.
Jadi, semuanya berpulang pada tugas intelektual untuk menciptakan keteladaan itu atau memilih menjadi barisan “the chattering classes” ala kelas menengah yang identik dengan kelasnya kaum terpelajar yang diistilahkan oleh George Bernard Shaw sebagai kelompok yang suka ngomong besar, tetapi ketika mereka diperlukan di tengah kondisi carut marut justru mereka menghilang atau bergabung dengan kesemrawutan itu.
Jadi apa posisi IMM, silahkan nilai sendiri sekaligus di satu sisi kita dapat menciptakan ideal menurut kita sendiri, bukan? sebagaimana akrobat yang di atas.