Review

Posisi Pengetahuan Manusia dalam Buku Iblis Menggugat Tuhan

6 Mins read

Buku Iblis Menggugat Tuhan merupakan buku terjemahan daru judul asli The Madness of  God &The Man Who Have The Elephant. Buku ini berbentuk sebuah kisah yang banyak dikutip dari hadis-hadis kemudian dikemas menjadi sebuah dialektika yang menarik dan mendebarkan dalam bentuk novel.

Pada bagian belakang buku ini, terdapat pendapat yang dikutip dari “Republika” yang mengatakan bahwa “novel ini penting dibaca oleh para monoteis yang kritis” dan juga kutipan dari “Gatra” yang berpendapat bahwa ini merupakan “novel nakal yang apabila tak dibaca hati-hati, bisa menggelincirkan”.

Kedua hal dari kutipan di atas memang benar adanya. Ini merupakan buku yang bagus dan memukau serta bisa dijadikan referensi untuk meningkatkan keimanan. Namun, terdapat sisi lain dari buku ini yang jika tidak berhati-hati dan tidak sampai tuntas membacanya, bisa menyebabkan pikiran menjadi liar dan tersesat. Bisa dibilang buku ini seperti pedang bermata dua. Jika ingin meningkatkan keimanan dan menjawab keraguan dalam diri, ini buku yang bagus, tapi syarat mutlaknya harus dibaca dengan tuntas.

Buku ini menceritakan dua kisah besar dalam perjalanan cerita dari 7000 tahun sebelum manusia di ciptakan hingga pada peristiwa lahirnya nabi Muhammad SAW pada tahun gajah. Namun, dalam buku ini, alur yang digunakan adalah maju mundur.

Isi Buku

Penulis mengawali tulisannya dengan uraian-uraian singkat sebelum memulai cerita pokoknya. Di awal buku, penulis memberikan pemahaman batasan agar pikiran pembaca tidak terlalu liar dalam memahami judul yang sekilas kontroversial. “Logikamu tak mampu mengukur, apalagi menjelaskannya. Tahanlah diri, karena tak sanggup kau cerna. Jangan abaikan beban ini, keseimbanganmu cacat adanya. Apalagi sampai jadi alasan bagi pengemis untuk mengeluh”.

Begitulah salah satu dari sekian banyaknya kutipan yang disampaikan penulis untuk memberi bekal awal dalam membaca buku ini. Setelah itu, mulailah penulis menguraikan sedikit demi sedikit kisah yang terjadi. Diawali dengan tema yang pertama yaitu The Madness of God (kegilaan Tuhan). Pada tema ini penulis benar-benar menggambarkan suatu suasana yang menegangkan dan membuat pikiran menjadi liar.

Berawal dari kisah seorang pendeta kristen yang mulai kehilangan keyakinannya terhadap Tuhan,  sebab terpengaruh oleh pemuda yang merupakan golongan dari kelompok morcionites atau kelompok yang terdiri atas penganut nasrani bereputasi buruk yang ingin menyingkap tabir rahasia ajaran kristus.

Awalnya, pemuda ini hendak belajar ajaran kristus kepada sang pendeta. Namun, pendeta tidak mau memberikan ilmu sedikitpun kepada sang pemuda, karena pendeta menganggap sang pemuda sebagai penganut aliran sesat. Hingga akhirnya, sang pemuda berhasil menyampaikan argumen-argumennya yang tajam dan menembus pertahanan kokoh keimanan sang pendeta.

Baca Juga  Meniti Mazhab Islam Revisionis ala Mun’im Sirry

Salah satu dari sekian banyaknya argumen pemuda yang menusuk yaitu, “Jika memang hanya ada satu Tuhan, dan apabila Tuhan bapak Yahwehnya bangsa Yahudi itu sebenarnya sama, maka Tuhan pasti sudah gila atau dia memang gila sejak awal! Bisakah kau menjelaskan kegilaannya?” dan selanjutnya sang pemuda merobek-robek Taurat (perjanjian lama) di hadapan sang pendeta.

Sejak kejadian tersebut, mulai muncul keraguan-keraguan dalam diri sang pendeta tentang keesaan dan keagungan Tuhan. Hingga akhirnya, sang pendeta bertemu dengan seorang anak yaitu Muhammad yang pada saat sebagai salah satu dari suku Quraisy sedang menjaga barang-barang sukunya.

***

Dengan penuh kekaguman, mulailah terjadi dialog antara sang pendeta dengan Rasulullah saw. Intinya, pendeta mempertanyakan tentang keesaan Tuhan yang sejak lama menjadi keraguannya. Kemudian Rasulullah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya keesaan Allah itu tersembunyi dari menara logikamu. Singkirkan keraguanmu. Pengetahuan tentang keesaan Allah sungguh berbahaya dan yang mencari sungguh mudah tersesat. Engkau tak mungkin sanggup menanggung beratnya pengetahuan yang engkau inginkan. Tak cukupkah engkau dengan nikmat keimanan dan kepercayaanmu pada Allah? Hanya dengan itu pun dia akan mencukupimu. Engkau tak mungkin bisa meraba ujungnya yang merupakan tujuan akhir dari semua ini. Mestikah orang yang rabun menilai bagaimana rupa puncak gunung? Cobalah untuk menahan diri dari logika dan penilaian pribadi dalam hal ini”. Lagi-lagi dalam hal ini, penulis menguraikan sebuah kutipan perkataan yang menjadi pagar agar pikiran bisa terkontrol dan tidak menggila.

Kemudian, sang pendeta dibawa oleh Nabi Muhammad menuju tempat iblis. Sehingga bertemulah sang pendeta dengan sosok yang sangat menyeramkan, yaitu iblis yang terkutuk. Ketika melihat iblis, sontak sang pendeta mengutuk iblis sebagaimana seluruh dunia dan segala isinya mengutuknya. Lalu, terjadi perdebatan yang menggelegar penuh kedalaman dan analogi-analogi logis tingkat tinggi. Inti dari perdebatan tersebut, iblis memposisikan dirinya sebagai hamba Tuhan paling patuh dan taat kepada Allah Swt.

Dengan argumen tipu dayanya bahwa yang memerintahkan iblis tidak tunduk dan sujud kepada Adam adalah Allah itu sendiri. Iblis tidak pernah mampu melakukan hal yang bertentangan dengan penciptanya. Begitulah argumen logis yang di jabarkan iblis untuk meyakinkan sang pendeta bahwa iblis dikutuk sebab skenario Tuhan.

***

Namun, sang pendeta menentang alibi iblis yang penuh tipu daya tersebut. Sang pendeta mengatakan bahwa iblis dikutuk sebab keangkuhan dan kesombongannya sehingga ibadahnya selama 7000 tahun hilang seketika akibat melanggar hal yang sangat fatal. Namun, iblis terus menyangkal dan memperkuat argumen-argumennya dengan banyak kisah yang intisarinya menyatakan bahwa iblis adalah sosok antagonis untuk menunjukkan kepada tuannya (Allah) kebusukan-kebusukan kaum adam di dunia. Argumen dan kisah yang dipaparkan iblis sangat meyakinkan, maka dari itu jangan sampai tidak tuntas dalam membaca buku ini.

Baca Juga  Negara Sekuler: Kritik Khaled Pada An-Naim

Argumen iblis tetap dipatahkan oleh sang pendeta yang telah mendapatkan pencerahan dari Rasululah SAW, bahwasannya bagaimana mungkin Tuhan menjadikan makhluk ciptaannya sebagai sekutunya dan membantunya. Tidak mungkin, sebab Tuhan tidak memiliki sekutu. Lagi lagi sang pendeta mengutuk iblis sebab upaya tipu muslihatnya. Iblis akhirnya mengakui keimanan sang pendeta. Biasanya iblis dengan mudah melancarkan tipu dayanya, tapi hal tersebut tidak berlaku pada sang pendeta. Hingga kemudian sang pendeta bersama Rasulullah meninggalkan iblis.

Akhir cerita dari tema ini, menjawab argumen-argumen gila iblis. Terdapat sebuah kalimat penutup yang menetralkan kembali monoteisme pembaca yaitu “iblis mengabaikan perintah langsung Allah dan dikutuk serta dibuang. Kebenaran iblis hanyalah separuh kebenaran. Dia buta akan kesalahannya sendiri dan karenanya dikutuk sampai akhir zaman. Iblis dalam hal ini layaknya bangsa yahudi yang menolak Isa, dimana dia merupakan manifestasi dari perintah langsung Allah. Iblis juga layaknya umat kristen yang menolak Rasulullah saw, di mana beliau Saw, merupakan manifestasi dari perintah langsung Allah” (Da’ud Ibn Ibrahim Al-Shawni, 2013). Kalimat penutup dalam kisah dengan tema “The Madness of God” setidaknya menetralisir pikiran-pikiran liar pembaca.

***

Selanjutnya, penulis juga menceritakan sebuah kisah menarik yang secara tersirat meyakinkan pembaca akan keagungan Tuhan (Allah). Tema yang kedua yaitu “The Men Who Have The Elephant”. Dalam buku dan tema ini diawali dengan kisah-kisah singkat yang luar biasa menyentuh. Namun terdapat satu kisah yang secara tersirat menunjukkan batasan pikiran manusia dalam memahami dunia ini, yaitu kisah sang raja Yaman Abrahah.

Abrahah merupakan seorang raja Yaman yang sangat teguh dengan keimanannya pada Tuhan. Dia bersumpah bahwa akan selalu meletakkan singgasana-Nya (Tuhan) di atas singgasannya sendiri. Hingga pada suatu hari sang raja mendirikan sebuah gereja yang sangat luar biasa indahnya, dan dinyatakan sebagai gereja terbaik pada masa itu.

Namun, suatu ketika terdapat salah satu pedagang muda dari suku Quraisy yang tidak senang dengan kepemimpinan sang raja. Pemuda tersebut mengotori dan merusak gereja yang telah dibuat oleh sang raja. Tentu hal tersebut membuat sang raja marah dan memutuskan untuk mencari asal-usul dari pedagang muda tersebut. Ternyata pedagang muda tersebut berasal dari suku Quraisy (Arab) yang berada di mekkah. Pada saat itu mekkah memiliki rumah ibadah, yang sekarang di kenal dengan Ka’bah.

Akan tetapi, pada masa itu Nabi Muhammad sedang dalam kandungan Siti Aminah sehingga suku Quraisy termasuk sang pedagang muda menyembah berhala-berhala terkutuk yang di letakkan di dalam Ka’bah.

Baca Juga  Asy-Syahrastani (2): Apresiasi dan Kritik atas Al-Milal wa An-Nihal

Mengetahui hal tersebut sang raja mengubah haluan tidak hanya ingin menangkap sang pedagang muda, tapi juga akan meratakan rumah ibadah sesat yang dimiliki suku Quraisy tersebut. Sang raja sudah mengambi keputusan secara tegas dan bulat.

***

Menariknya, tema ini dan banyak pelajaran yang dapat diambil adalah ketika sang raja meminta pertimbangan dari sahabatnya atas keputusan yang telah dibuat. Namun, sang sahabat yang intinya menyatakan ketidak setujuannya atas keputusan gegabah yang hanya dilandaskan pada dendam sang raja. Hingga pada bagian ini terjadi perdebatan panjang yang inti dari argumen sang sahabat bahwa tugas untuk menghancurkan suku Quraisy yang sesat bukan tugas sang raja.

Rumah ibadah yang ada pada suku Quraisy bukanlah milik suku tersebut, melainkan milik Tuhan (Allah). Sang Sahabat berusaha mencegah sang raja agar tidak menyerang Ka’bah, sebab Allah tidak akan membiarkan rumahnya dihancurkan.

Sang raja tidak percaya, dan menyampaikan argumennya yang menyatakan bahwa tidak mungkin Tuhan membiarkan rumahnya diisi oleh berhala-berhala terkutuk. Akhirnya pasukan sang raja menyerang Ka’bah dengan gajah-gajah yang perkasa.

Namun seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa pasukan Abrahah hancur berantakan dan badan pasukannya  bolong-bolong seperti daun yang telah dimakan ulat. Peristiwa itu bertepatan dengan lahirnya nabi besar Muhammad SAW.

Dari kisah yang kedua dalam buku ini penulis menjabarkan secara rinci perdebatan yang lagi-lagi menggunakan analogi-analogi tingkat tinggi. Pelajaran yang bisa diambil dari kisah yang kedua yakni tetap pada kerendahan hati dan tidak mendahului perintah Allah sekalipun memiliki kekuasaan yang luar biasa.

***

Sang raja merasa sudah menjadi seseorang yang menerima perintah langsung dari Tuhan untuk menghancurkan Ka’bah. Raja Abrahah merasa keimanan dan Tuhannya perlu dibela. Hal ini justru kesalahan tafsir fatal yang berujung pada kebalikan kehendak sang Raja.

Akhir dari kisah dalam buku ini menceritakan kisah yang menunjukkan bahwa logika manusia sama sekali tidak sama dengan logika Tuhan. Memahami Tuhan tidak bisa hanya dengan menafsirkan firmannya. Tidak cukup hanya memahami apa yang sudah terjadi di dunia ini. Memahami Tuhan hanya perlu dengan keimanan Pembahasan yang lengkap dan jelas, serta analogi yang luar biasa benar-benar menjadikan buku ini menarik.

Hati berdebar-debar ketika mulai membaca setiap kalimat yang ada. Selain itu banyak sekali pesan dan pelajaran yang dapat diambil untuk membuka pikiran dari hal yang tabu menjadi hal yang wajar untuk difikirkan. Membaca buku ini disarankan memiliki pemikiran terbuka agar lebih menjiwai dan dapat pelajarannya secara menyeluruh. Sekian.

Editor: Yahya FR

Naufalul Ihya' Ulumuddin
6 posts

About author
Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Surabaya
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *