Review

Islamisme Kelas Menengah NU: Pergeseran dari Moderatisme ke Post-Islamisme

6 Mins read

Post-Islamisme – Sebagai ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dikenal dengan ideologi Islam moderat. Atau dalam istilah Masdar Hilmy, NU as the champion of Indonesia’s Moderate Islam (NU sebagai jawara Islam moderat).

Namun demikian, sesungguhnya ideologi tersebut bukan bersifat tunggal. Artinya, sebuah ormas Islam, ada ragam pemikiran yang berkembang di dalam NU, termasuk pula di Muhammadiyah.

Dalam konteks ini, Masdar Hilmy berargumen bahwa rumusan teologis moderatisme Islam yang dikembangkan NU dan Muhammadiyah sudah tidak mampu lagi mengakomodir tantangan dan tuntutan zaman.

Oleh karena itu, dalam konteks Islam Indonesia, sangat dibutuhkan rumusan yang representatif tentang bagaimana Islam moderat itu dibangun. 

Terlepas dari bangunan ideologi masing-masing, sesungguhnya warna-warni ideologi pemikiran Islam telah lama saling berkontestasi dan berdialektika antara satu tokoh dengan yang lainnya.

Kalau akhir-akhir ini NU lebih identik dengan pemikiran Islam yang cenderung “moderat”, bukan berarti moderatisme ini adalah satu-satunya ideologi “resmi” dan dengan sendirinya menegasikan ideologi Islam lainnya.

Mengarifi hal ini, gagasan moderasi, demikian kata Greag Fealy, hanyalah salah satu aliran pemikiran yang berkontestasi untuk mendapatkan dominasi dalam organisasi.

Ada juga aliran konservatif, progresif, liberal yang semuanya mendesak masuk cum berjubel antri agar doktrin mereka diadopsi sebagai sikap “resmi” NU.

Dari sinilah, Rubaidi merasa perlu untuk meng-capture warna-warni ideologi yang lalu lalang dalam tubuh NU dengan penekanan pada kelas menengah dan Islamisme yang nantinya akan dikupas di bawah ini.

Selayang Pandang Kelas Menengah dan Gerakan Islamisme

Rubadi, dalam pengantarnya, menuturkan bahwa buku ini sesungguhnya secara khusus ingin mengeksplorasi “Islamisme” yang menguat di internal NU, baik karena persinggungan dengan ide-ide kelompok Islamisme atau karena faktor internal yang dari dulu memang telah ada bibit “Islamisme”. 

Studi semacam ini penting karena sejauh ini belum banyak kajian tentang menguatnya Islamisme di dalam tubuh NU di satu sisi, dan peran kelas menengah NU di sisi lain, terlebih lagi pada era pasca-Reformasi.

Dalam pada itu, karena limitasi dimensi ruang dan waktu, buku ini hanya menghadirkan fenomena pada era pasca Reformasi dan Jawa Timur sebagai dimensi tempat yang dipilih. Adapun, unit analisis lebih difokuskan pada kategori kategori kelas yang dalam ilmu sosial disebut sebagai kelas menengah (NU).

Bukan tanpa alasan Rubaidi memfokuskan hal ini, karena posisinya sebagai “orang dalam” (bahasa Jawa: wong njero) atau insider sehingga memudahkannya dalam mengkaji kelas menengah dan gerakan Islamisme di tubuh NU (hal. xi-xii).

Kelas Menengah dalam Bingkai Marxian vis-a-vis Weberian

Dalam hal ini, Rubaidi tidak menyatakan secara gamblang konsepsi kelas menengah itu apa dan bagaimana, namun ia menyodorkan “hidangan teoretik” kanon ilmu sosial terutama yang bercorak Marxian dan Weberian. 

Masdar Hilmy dalam Mengurai Jalan Buntu Teoretik dalam Ilmu-ilmu Sosial: Islamisme Radikal dalam Perspektif Teori “Modus Produksi” menjelaskan bahwa salah satu aspek fundamental dari paradigma Marxian dalam ilmu-ilmu sosial adalah penekanannya yang lebih atas aspek material dalam kehidupan manusia, melebihi aspek ideal atau gagasan.

Baca Juga  Pendidikan, Akhlak, dan Hukum Islam di Universitas Al-Azhar Mesir

Maka tidaklah heran, jika Karl Max kemudian mengidentifikasi adanya tiga kelas dalam masyarakat kapitalis sebagai imbas dari background knowledge-nya. Tiga kelas itu adalah buruh upahan (proletar), kapitalis (borjuis), dan pemilik tanah. Untuk penjelasan lebih rinci, sila pembaca karya-karya Marx tentang tiga kelas di atas.

Lanjut kepada paradigma Weberian yang diatribusikan kepada sang perintis: Max Weber. Ilmuwan ini begitu sangat populer dan mendominasi jagat akademik sejak ia menerbitkan magnum opus-nya: The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism (1904).

Gagasannya, demikian kata Masdar Hilmy, bertumpu pada kekuatan ide atau pikiran yang diasumsikan menjadi motor penggerak bagi perubahan sosial. Rumusnya adalah: perubahan sosial tanpa ide atau pikiran adalah mustahil.

Bukan sebaliknya. Pikiran lah yang menjadi ordinat, dan hal-hal lain di luar pikiran menjadi subordinat. Tidak jauh berbeda dengan Marx, Weber mengklasterisasi kelas menjadi tiga, yaitu upper class (kelas atas), middle class (kelas menengah) dan lower class (kelas bawah).

Santri sebagai Kelas Menengah

Berangkat dari “keangkuhan teoretik” masing-masing paradigma di atas, Rubaidi berargumen kelas menengah itu adalah kaum santri. Asumsi dasarnya adalah bahwa kelas menengah santri NU berada di antara santri komunitas Islam lainnya.

Lebih jauh, NU sebagai bagian dari entitas santri – meminjam istilah Clifford Geertz – dalam banyak aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural sama keberadannya dengan kelompok “santri” lain di Indonesia (hal. 50).

Mengikuti Benedict Anderson, bahkan istilah santri ini dapat disamakan dengan “umat”. Dalam benak Anderson, santri tidak lain adalah entitas komunitas umat Islam Indonesia yang terbentang dari Aceh hingga Papua tanpa melihat etnis, suku, ras, bahasa, budaya dan semacamnya. Mereka diikat oleh kesamaan ideologi agama, yaitu doktrin Islam sebagai worldview dalam relung kehidupan mereka.

Rubaidi menandaskan latar belakang kelahiran kelas menengan santri tentu berbeda dengan kelahiran kelas menengah Eropa. Jika di Eropa lebih disebabkan karena revolusi Industri yang kemudian melahirkan kedua paradigma raksasa di atas, Marxian dan Weberian, maka kelahiran kelas menengah NU, misalnya, salah satu pemicunya adalah penetrasi kelas menengah Muhammadiyah (hal. 52).

Untuk mendalami kelas menengah Muhammadiyah, anda dapat membaca tulisannya James L. Peacock, Mitsuo Nakamura, Irwan Abdullah, dan sebagainya. Hasil riset Irwan Abdullah, misalnya, menegaskan bahwa eksistensi kelas menengah Muhammadiyah secara nyata memang ada sejak dahulu kala dan terus bertahan hingga saat ini.

Tidak mau kalah, NU juga mendirikan asosiasi perdagangan, Nahdlatut Tujjar pada 1918 di bawah komando KH. Wahab Hasbullah dan Hasan Gipo. Bahkan, Hasan Gipo selaku ketua NU periode pertama dikenal sebagai generasi muda dan saudagar sukses sebagaimana dikemukakan M. Ali Haidar dalam Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia.

Pergeseran Kelas: dari Moderatisme Menuju Islamisme dan Post-Islamisme

Islamisme dalam tubuh NU, termasuk Muhammadiyah, sesungguhnya tidak hanya terjadi di era pasca Reformasi saja, melainkan telah berjalin erat sejak awal-awal proses pendiriannya. Namun dalam skala yang masif, terbuka dan activist baru menemukan momentumnya di era reformasi, di mana kran-kran demokrasi terbuka luas.

Baca Juga  Naskah Digital Tuntunan Salat dari Kampung Situ Gede

Dalam hal ini, Rubaidi mengasumsikan bahwa fakta sosial, terutama di era Reformasi memperlihatkan adanya simbol-simbol gerakan Islamisme dalam tubuh kelas menengah NU.

Fakta sosial gerakan Islamisem yang Rubaidi maksudkan merujuk pada dua hal mendasar, yaitu maraknya perda (peraturan daerah) yang bernuansa syariat Islam di beberapa wilayah, dan tingginya tingkat perilaku intoleransi dan diskriminasi berjubah agama terhadap kelompok minoritas baik minoritas muslim sendiri maupun non muslim (hal. 172). Menariknya, dua fakta sosial dari simbol Islamisme ini ternyata banyak melibatkan kelas menengah NU.

Sejauh pelacakan Rubaidi, proses transformasi gerakan Islamisme di kelas menengah NU dapat dibagi ke dalam tiga sumber yang berbeda, yaitu pengaruh global, pengaruh lokal, dan internal. Pertama, pengaruh global ditandai dengan maraknya gerakan transnasionalisme seperti HTI, PKS, Salafi (neo-Salafi) dan masih banyak lagi.

Kedua, pengaruh Islamisme lokal yang merujuk pada paham atau ideologi yang diusung oleh Sarekat Islam (SI), Masyumi, Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Front Pembela Islam (FPI), dan lain sebagainya.

Ketiga, pengaruh internal. Dokrin “fiqih oriented” ditengarai menjadi basis utama dalam melahirkan individu maupun kelompok Islam konservatif dan cenderung ke arah Islamis. Padahal, doktrin tersebut identik dengan Aswaja yang berisi tiga basis ajaran; fiqih, teologi (kalam), dan tasawuf.

Sublimasi ketiga ajaran ini membentuk equilibrium pemikiran yang holistik dan moderat. Sungguhpun demikian, tidak sedikit kelas menengah muslim santri yang lebih mendasarkan pemikiran hanya berkutat dan berbasis ajaran “fiqih oriented”. Implikasinya, corak pemikiran mereka cenderung menjadi konservatif dan Islamis (hal 172-173).

Post-Islamisme: Visi Baru Relasi Islam dan Demokrasi

Rubaidi menawarkan satu solusi yang ia sebut dengan Post-islamisme. Istilah Post-Islamsme sendiri diintrodusir oleh Asef Bayat pada tahun 1996. Inti gerakan Post-Islamisme sebagaimana digagas Bayat adalah sebuah proyek yang dapat mengombinasikan atau menggabungkan antara cita-cita sebuah tatanan negara dan etika-etika agama dengan “demokrasi agama” sebagai misi politiknya. Dalam pandangannya, “pe-merger-an Islam dan demokrasi tidak hanya mungkin, tetapi penting sekali.

Dalam konteks Indonesia, gerakan Islamisme secara setting sosio-politik maupun historis memang dalam banyak hal berbeda dengan pengalaman, baik di Iran maupun Mesir.

Dalam sejarahnya, Islamisme di Indonesia dari dahulu hingga saat ini belum mampu mendesakkan tujuan politiknya, yakni mendirikan negara Islam, mulai dari DI/TII, Masyumi, hingga Parpol Islam, seperti PBB, PPP, PKS dan seterusnya juga gagal, baik melalui revolusi Islam, lebih-lebih mendirikan negara Islam (hal. 183)

Baca Juga  Kritik Farag Fouda terhadap Perindu Khilafah Islamiyah

Salah satu faktornya adalah corak sufisme yang mengakar dan memengaruhi konstruksi dan worldview sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia dapat menjelaskan sebagiannya tentang ciri khas Islam Indonesia yang dikenal lebih inklusif, kultural dan demokratis.

Tulisan Geertz di dalam Islam Observed yang membandingkan antara dinamika Islam di Indonesia dan Maroko menguatkan tesis ini (hal. 184).

Segmen Kelas Menengah NU sebagai Pionir “Proyek” Post-Islamisme

Salah satu entitas kekuatan, baik yang telah mendorong lahirnya gerakan post-Islamisme maupun “proyek” post-Islamisme sesungguhnya di masa mendatang tidak lain adalah segmen kelas menengah NU.

Tanpa diduga sebelumnya, sebagian lapisan kelas menengah NU yang bergeser dari induk organisasi sekaligus ideologinya itu sendiri (Aswaja NU), ternyata di sisi lain sebagian mengilhami lahirnya ide-ide post-Islamisme di organisasi yang baru.

Keberadaan kelas menengah NU yang pindah institusi seperti HTI, PKS, FPI, MUI, LPS2SI, dan LPAI tidak serta merta larut dalam ritme dan irama ideologi Islamisme yang menjadi platform mereka.

Sebaliknya, tidak sedikit dari kelas menengah NU di insitusi-institusi dimaksud tetap memiliki garis pemikiran Islam yang relatif moderat yang diwarisinya dari NU sebelumnya. Kelompok yang direpresentasi kelas menengah NU juga elemen muslim lainnya diyakini berperan menjadi embrio serta lokomotif lahirnya gerakan post-Islamisme di Indonesia di masa mendatang (hal. 185-186).

Dalam konteks riset, spirit post-Islamisme yang lahir dari pergeseran kelas menengah NU tidak hanya terjadi di dalam PKS Jawa Timur saja, melainkan di luar kelompok salafi-neo salafi. Semangat memadukan antara nilai-nilai Islam dan demokrasi tampak terlihat dan disuarakan oleh lapisan kelas menengah NU di ormas baru mereka seperti di MUI, FPI, HTI, maupun LP2SI dan LPAI.

Tentu saja, gradasi gerakan pemaduan kedua nilai ini berbeda antara satu dengan lainnya. Terlepas dari motif non-ideologis, harapan akan hadirnya Islam di ruang-ruang publik dan “duduk” berdampingan dengan demokrasi menjadi spirit yang mudah di lihat (hal 192-193).

Penutup

Bagian sentral dari diskusi tentang bertemunya kelas menengah dan Islamisme ini sejatinya menghasilkan pembahasan mengenai fenomena baru yang disebut “populisme Islam” sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Hanya saja, buku karya Rubaidi ini tidak sampai mengupas fenomena populisme Islam sebagai ekspresi baru Islamisme kelas menengah di perkembangan baru Islam Indonesia. Alih-alih, perhatian besar diberikan oleh buku ini kepada pembahasan analitis mengenai kecenderungan Islamisme itu sendiri, tidak saja di lapisan kelas menengah umum Muslim, melainkan juga kelompok kelas menengah Muslim pesantren.

Artinya, buku ini memandang bahwa fenomena Islamisme menyeruak di sejumlah komponen kelas menengah Muslim di negeri ini, terlepas dari basis sosial awal yang menjadi latar belakang mereka dan terlepas pula dari kuantitas masing-masingnya (hal. xxxii)

Judul Buku: Kelas Menengah dan Gerakan Islamisme
Penulis: Dr. Rubaidi, M.Ag
Penerbit: Intrans Pubslishing
Tahun Terbit: 2021
Tebal: 216
ISBN: 978-623-6709-09-2

Editor: Yahya FR

Avatar
32 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Buku Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” Buku kumpulan cerpen (kumcer) dari Kuntowijoyo…
Review

Inilah Kitab tentang Kepribadian Nabi Karya Hasyim Asy'ari

4 Mins read
Kitab al-Nūr al-Mubīn fī Maḥabbati Sayyid al-Mursalīn. Kitab ini merupakan salah satu karya tulis Hasyim Asy’ari dari berbagai karyanya dalam ragam disiplin…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds