Oleh: Ngainun Naim*
(Review buku Hilman Latief, Post Puritanisme, Pemikiran dan Arah Baru Gerakan Islam Modernis di Indonesia 1995-2015, Yogyakarta: LP3EM UMY, 2017)
Muhammadiyah disebut oleh Prof. Dr. Deliar Noer sebagai Islam modernis. Sebutan ini bisa sebagai pujian sekaligus tantangan. Pujian karena menunjukkan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi yang bisa menjawab berbagai persoalan dan kebutuhan zaman modern. Tantangan karena kemampuan tersebut tidak bersifat tetap. Sangat mungkin sekarang disebut modern, tetapi di masa berikutnya tidak modern lagi karena kegagapan menghadapi dinamika perkembangan zaman.
Buku yang ditulis oleh intelektual muda Muhammadiyah ini memaparkan secara menarik dinamika di tubuh Muhammadiyah selama 20 tahun, yaitu antara tahun 1995-2015. Dalam rentang waktu 20 tahun ini, Muhammadiyah mengalami tiga kali kepemimpinan, yaitu M. Amin Rais, Ahmad Syafii Maarif, dan M. Dien Syamsudin. Masing-masing pemimpin memiliki corak tersendiri dalam kepemimpinannya.
Ketika M. Amin Rais menjadi Ketua Umum, Muhammadiyah sangat kritis terhadap pemerintah. Saat itu, M. Amin Rais adalah tokoh yang memberikan kritik pedas terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Tentu, sikap ini berpengaruh terhadap relasi pantara Muhammadiyah dengan pemerintahan Soeharto.
Di Muhammadiyah, geliat pemikiran—khususnya di kalangan generasi muda—lebih mengemuka ketika Ahmad Syafii Maarif memegang posisi sebagai Ketua Umum. Perhatian Ahmad Syafii Maarif ini memiliki implikasi terhadap tumbuhnya iklim intelektual di organisasi ini. Kajian, penelitian, dan penerbitan berbagai tulisan tumbuh subur pada era Buya Syafii.
Dua periode kepemimpinan M. Dien Syamsudin ditandai dengan capaian dalam berbagai bidang. Pemberdayaan masyarakat, dialog agama, dan berbagai bidang, yang pada era sebelumnya belum mendapatkan perhatian secara memadai, mendapatkan kesempatan berkembang di era M. Dien Syamsudin.
Buku ini menunjukkan bagaimana Hilman Latief adalah seorang ilmuwan muda Muhammadiyah yang produktif. Buku ini awalnya adalah paper yang dipresentasikan di berbagai seminar, artikel di berbagai jurnal ilmiah, dan beberapa book chapters. Hilman kemudian merekonstruksi tulisan-tulisan berserak tersebut menjadi buku utuh, tentu saja dengan penyesuaian, penambahan referensi, dan pengayaan perspektif.
Bab 1 buku ini menyajikan eksemplar pemikiran yang sangat menarik. Hilman me-review buku yang ditulis antropolog Jepang, Mitsuo Nakamura. Judul buku Nakamura adalah The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Movement in Central Javanese Town. Hilman secara artikulatif mengulas bagaimana buku ini memainkan peranan penting dalam memotret Muhammadiyah. Aspek yang menarik bagi saya adalah saat Hilman menjelaskan tentang Nakamura.
Nakamura adalah contoh yang layak diteladani dalam menjalin relasi dengan subjek penelitian. Dedikasinya sungguh luar biasa. Buku yang awalnya adalah disertasi tersebut memiliki pengaruh yang besar bahkan hingga sekarang ini. Nakamura terus melakukan kunjungan rutin ke Kotagede. Ini jarang dilakukan oleh peneliti lain. Konsistensi Nakamura adalah teladan yang penting. Ia juga peneliti yang kritis, tetapi juga bersikap empati terhadap subjek penelitiannya. Jika kebanyakan peneliti relasinya saat penelitian saja, Nakamura tidak (h. 5).
Tahun 1990-an merupakan tahun mulai tumbuh dan berkembangnya pemikiran progresif liberal di Muhammadiyah. Secara detail, Hilman mengulas tentang bagaimana Majelis Tarjih (MT) bertransformasi menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Perdebatan antara “sayap kiri liberal” dengan “sayap kanan konservatif” berlangsung cukup sengit. Meskipun demikian, kedua sayap sesungguhnya dipertemukan oleh kepentingan mendasar, yaitu bagaimana Muhammadiyah bisa maju.
Filantropi dan pemberdayaan masyarakat merupakan aspek yang diulas secara mendalam di buku ini. Aspek ini menarik karena menunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki perhatian terhadap transformasi masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Paparan Hilman saya kira juga bisa menjadi inspirasi untuk melakukan aktivitas serupa dalam konteks yang lebih luas.
Satu bagian yang dijelaskan secara artikulatif adalah Caritas. Bab 7 yang bertajuk “Muktamar Satu Abad, Spiritualitas, dan Fikih Baru (2010-2015)” diawali dengan cerita Hilman yang mendapatkan undangan dari Cordaid, sebuah LSM berbasis Katolik dari negeri Belanda. Organisasi ini berdiri sejak 1914 dan terus aktif sampai sekarang. Eksplorasi Hilman mengantarkan pada pemaknaannya tentang konsep Caritas.
Meskipun tidak sama persis, Hilman menafsirkan Caritas dengan konsep Ihsan (h. 222). Berbuat baik kepada sesama menjadi bagian dari kinerja filantropi yang terus diperjuangkan oleh Muhammadiyah. Cordaid diposisikan sebagai sumber inspirasi untuk menyusun kinerja filantropi di Muhammadiyah.
Buku ini menghadirkan banyak informasi menarik di tubuh Muhammadiyah. Bagi peneliti Islam Indonesia, saya kira buku ini adalah referensi wajib. Saya kira buku ini ditulis dengan totalitas penuh oleh penulisnya. Sejalan dengan hobi penulisnya yang menyanyikan lagu Ari Lasso, Arti Cinta.
*Ketua LP2M IAIN Tulungagung