Puncak kesatriaan seorang pemimpin teruji ketika menghadapi problematika etis.
Prabu Basukarno dan Perang Batarayudha
Prabu Basukarno adalah salah seorang senopati dari Kurawa yang menjadi kekuatan tempur utama dalam Perang Baratayudha. Ironisnya, dia juga adalah kakak tertua Pandawa. Pengakuan Dewi Kunti bahwa Prabu Basukarno sebenarnya anak tertua yang ia larung ke sungai bisa mengubah tata politik Dinasti Hastina dan Amarta sekaligus. Terlebih, Bisma Dewabrata pun sudah mengetahui realitas itu sejak dulu. Pengetahuan itu yang membuat Bisma mencoba menjauhkan Basukarno dari Kurawa.
Kita bisa mengandaikan Pandawa dan Kurawa seperti kategorisasi sosial yang berbasis spiritualisme dalam trikotomi: santri, priyayi, dan abangan, yang diperkenalkan Clifford Geertz. Trikotomi ini bersifat tertutup dan cenderung antagonistik. Integrasi kategori-kategori hanya bisa berlangsung dalam transaksi ekonomis yang sekuler atau dijembatani tipe campuran.
Prabu Basukarno adalah tipe campuran yang berada di tengah antara dua kutub antagonistik itu. Berbasis pengakuan Dewi Kunti dan Bisma Dewabrata, Prabu Basukarno absah untuk menjadi raja Dinasti Hastinapura dan Amarta sekaligus. Bila itu terjadi, Perang Baratayudha tidak lagi memiliki legitimasi untuk dilaksanakan karena tujuan Pandawa untuk mengambil kembali Hastinapura telah tercapai. Prabu Basukarno adalah pemimpin Pandawa itu sendiri. Puntadewa dan adik-adiknya pun tidak dapat melakukan apa-apa bila setelah menduduki raja kedua dinasti itu. Prabu Basukarno menyerahkan Hastinapura dan Amarta kepada Prabu Duryudana karena rasa kesetiaannya menjaga pertemanan dengan Prabu Duryudana.
Penceritaan skenario imajinatif dari lakon Prabu Basukarno ini disusun berdasarkan pendekatan paradigmatik dari kontruksi sintagmatik cerita Mahabharata itu sendiri. Namun, sebagaimana jalan cerita yang ditampilkan dalam pewayangan, Prabu Basukarno tetap membela Kurawa dan mati dalam lakon Karno Tanding di tangan adiknya sendiri, Arjuna. Basukarno tetap memilih bertanding dan mati di tengah kemungkinan skenario politik lain yang mampu mencegah perang dan menguntungkan dirinya sendiri.
Prabu Kresna menyebut Perang Baratayudha adalah soal memerangi angkara murka (Kurawa) dan menegakkan kebenaran (Pandawa) bukan semata soal perebutan politik kekuasaan atas Hastinapura. Keputusan etis Prabu Basukarno untuk tetap berada di pihak Kurawa memberi landasan politis untuk berlangsungnya perang tersebut. Prabu Basukarno sebagai jembatan lebih memilih kematian, agar dua sisi tetap absah melaksanakan perannya masing-masing. Prabu Basukarno adalah realitas etis dan politis yang sulit dipahami dalam kerangka polaristik.
Keputusan Etis Gus Dur Menghadapi Kemelut Kekuasaan
Indonesia pun memiliki riwayat kepemimpinan yang menunjukkan keluhuran pilihan etis dalam menghadapi sengkarut politik kekuasaan. Gus Dur dalam wawancara di acara Kick Andy 2008 menyebut pilihannya memakai kaos dan kolor untuk menyapa orang-orang di luar istana saat pelengseran dirinya oleh Sidang Istimewa MPR 2001 ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan lagi presiden. Kita bisa menganggap itu seloroh yang memang khas dari sosok Gus Dur.
Namun, bila kita tempatkan pernyataan itu dalam kondisi aktualnya, kita bisa menilai bahwa dengan berpakaian seperti itu Gus Dur tengah mendelegitimasi keabsahan perang sabil mempertahankan pemimpin yang sah karena dalam acara yang sama, Gus Dur menyebut ada arus massa yang menuju ke Jakarta untuk membelanya. Gus Dur lebih memilih keputusan etis bahwa ‘tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian’.
Panduan etis dalam menilai perhelatan politik praktis penting ditanamkan kepada masyarakat Indonesia. Agama atau religiusitas perlu dihujamkan sebagai dasar kepanduan etis tersebut. Upaya ini dapat membuahkan kekebalan kultural dalam diri masyarakat untuk menghadapi eksploitasi sisi eksoteris dari agama yang menghasilkan simbol dan identitas. Penampilan politik dalam simbol agama, tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting bila masyarakat sudah memiliki kekebalan tersebut.
Peran Agamawan, Budayawan, atau Intelektual
Upaya ini hanya dapat dilakukan oleh agamawan, budayawan, atau intelektual. Klasifikasi ini didasarkan bahwa mereka dipandang sebagai kelompok sosial yang setia pada pengetahuan dan kebenaran. Keterlibatan kelompok ini dalam politik praktis sebenarnya merupakan perwujudan harapan publik bahwa diskursus perumusan kebijakan itu dipandu oleh pengetahuan dan kebenaran.
Sebagaimana Prabu Basukarno, kalangan agamawan, budayawan, dan intelektual menjadi jembatan antara kawula dan gusti. Mereka mendidik kawula sekaligus gusti. Kawula yang terdidik memberikan potensi kritik etis terhadap gusti yang menyimpangkan kekuasaan, serta gusti yang terdidik memberikan landasan politik dari upaya mewujudkan kebaikan bersama. Pemilihan pemimpin 2024 perlu dijadikan momentum untuk menaikkan kelas demokrasi Indonesia, tidak lagi terjebak dalam politisasi identitas, tetapi ditransformasikan menjadi dialektika etis.
Editor: Soleh