Ibadah

Psikologi Sedekah Membentuk Karakter Dermawan

5 Mins read

Ranah psikologi bukanlah pada hal-hal yang bersifat teoritis. Psikologi juga mencakup segala pri-kehidupan manusia itu sendiri. Baik tentang dirinya, orang lain, pergaulan, maupun alam sekitar dimana manusia itu ada dan bergumul sampai akhir hayatnya.

Psikologi Islam adalah ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang berisi filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam (ayat kauniyah), akal, indra, dan intuisi (ayat kauliyah) (Ancok dan Suroso, 1995: 141).

Psikologi dan karakter manusia tidak dapat dipisahkan. Psikologi berkenaan dengana gejala kejiwaan yang melahirkan laku hidup manusia. Sedangkan karakter telah “terpahat” dan menjadi “identitas” diri seseorang yang berproses dalam hidupnya, baik perilaku yang plus maupun perilaku minus.

Maka sangat perlu melihat bagaimana gejala kejiwaan (psikologis) mempengaruhi perilaku hidup. Dalam konteks ini, bukan sekedar yang bersifat stimulus saja, tetapi termasuk bagaimana potensi dasar manusia yang diberikan Allah sejak lahir, seperti: akal, ruh, nafsu, dan nurani/kalbu, mampu membentuk karakter (akhlakul karimah)

Psikologi Sedekah Wujud Karakter Dermawan

Dalam Islam, beramal ritual dalam bentuk ibadah mahdah memiliki posisi tersendiri di hadirat Allah. Namun, tidaklah berarti amal saleh yang dianggap kecil dalam bentuk ibadah ghairu-mahdah memiliki nilai yang kurang di sisi-Nya.

‘Sinyal’ Langit secara tegas menjelaskan:

“Barangsiapa beramal baik yang sekecil-kecilnya ia akan melihat (hasil)nya.”

QS. Az-Zalzalah: 7

Esensi amal saleh tidak dilihat dari besar atau kecilnya amal yang dilakukan. Akan tetapi, siapa yang memerintahkan mengerjakan amal saleh itu? Dan, kepada siapa amal saleh itu dipersembahkan? Jawabnya tentu kepada Allah semata.

Apabila amal saleh hanya mengejar “pahala” dunia yang berupa ambisi, materi, gensi, dan kursi, tentu nilai amal hanya bersifat formalitas dan pencapaian pristise semata. Sehingga nilai amal itu hanya tertuju pada pengabdian (loyalitas) pada manusia yang diagungkan.

Kemudian, apabila amal saleh untuk mendapatkan pahala akhirat, tentu sang hamba tidak melihat kuantitas kecil atau besarnya amal saleh. Akan tetapi, sang hamba lebih memperhatikan kualitas amal saleh dari keikhlasan beramal, serta lebih mengarahkan amal saleh kepada Sang Maha Pemurah.

Sebagaimana dari sabda Nabi Muhammad Saw dalam kitab Al-Mawa’iduh Usfuriyah karya Asy-Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-Usfuri, tentang karakter dermawan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana penjelasan berikut:

Dari Ja’far bin Muhammad dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata: Ali bercerita kepadaku, bahwa pada suatu hari Ali pulang ke rumah dari rumah Nabi Saw hingga ia masuk menemui Fatimah yang sedang duduk memintal, sementara Salman Al-Farisi sedang memisah-misahkan bulu domba.

Baca Juga  Keutamaan Sepuluh Hari Pertama di Bulan Zulhijah

Ali berkata, “Hai perempuan mulia, apakah engkau punya makanan untuk suamimu?”

Fatimah menjawab, “Demi Allah, aku tidak punya sesuatu, akan tetapi ini ada enam dirham yang diberikan Salman kepadaku sebagai upah memintal, hendak kubelikan makanan bagi Hasan dan Husen.”

Maka berkatalah Ali, “Hai perempuan mulia, berikanlah kepadaku uang itu.” Kemudian Fatimah memberikan uang itu kepada Ali. Ali keluar, rencananya akan membeli makanan.

Tiba-tiba terlihat seorang laki-laki sedang berdiri seraya berkata, “Siapa yang mau menghutangi Allah dengan piutang yang baik?”

Mendengar itu, Ali mendekat dan tanpa pikir, ia memberikannya enam dirham kepada laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Terus Ali pulang menemui Fatimah dengan tangan hampa, karena tidak jadi membeli makanan. Uang yang enam dirham disedekahkannya pada laki-laki yang tidak dikenalnya tadi.

Tatkala Fatimah melihatnya, dengan tanpa membawa apa-apa, ia pun menangis. Maka Ali berkata, “Hai perempuan mulia, mengapa engkau menangis?”

Fatimah menjawab, “Hai putra paman Rasulullah, kulihat engkau tidak membawa apa-apa.”

Ali berkata, “Hai perempuan mulia, uang itu telah kupinjamkan kepada Allah Swt.”

Fatimah berkata, “Engkau benar.”

Ali pergi menuju Nabi Saw, di tengah jalan berjumpa dengan seorang Arab dusun (A’rabi) sedang menuntun seekor unta. Ali mendekat, dan orang itu berkata, “Hai bapak Hasan, belilah unta ini dariku.”

Ali menjawab, “Aku tidak punya apa-apa.”

Orang itu mengatakan, “Aku akan menjualnya kepadamu dengan pembayarannya kemudian.”

Ali bertanya, “Berapa?”

Orang itu menjawab, “Seratus dirham.”

Ali berkata, “Kubeli jika begitu.”

Tiba-tiba muncul seorang Arab dusun yang lain datang ke situ. Orang itu bertanya, “Hai bapak Hasan, apakah engkau menjual unta ini?”

Ali menjawab, “Ya.”

Orang itu bertanya, “Berapa?”

Ali menjawab, “Tiga ratus dirham.”

Orang itu berkata, “Kubeli, kalau begitu.”

Dibayarlah harga unta itu dengan 300 dirman tunai. Kemudian Ali menyerahkan unta itu kepada orang dusun, dan ia kembali ke rumah Fatimah.

Melihat kedatangan Ali tersenyumlah Fatimah, dan ia bertanya, “Apakah ini, hai bapak Hasan?”

Ali menjawab, “Hai putri Rasulullah, kubeli seekor unta secara tempo seharga seratus dinar dan kujual dengan tiga ratus dirham secara kontan.”

Baca Juga  Pandangan Psikologi Islam tentang Katarsis

Fatimah berkata, “Engkau telah mendapat taufiq.”

Kemudian Ali keluar menuju Nabi Saw. Ketika ia masuk pintu masjid, Nabi Saw melihatnya dan tersenyum. Setelah tiba dan memberi salam, Nabi Saw bersabda, “Apakah engkau yang menceritakan kepadaku ataukah aku yang menceritakan kepadamu?”

Ali menjawab, “Baginda saja yang menceritakan kepadaku.”

Nabi Saw bertanya, “Hai bapak Hasan, tahukah engkau siapa orang dusun yang menjual unta kepadamu dan orang dusun yang membeli unta darimu?”

Ali menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Maka berkatalah Nabi Saw, “Beruntunglah engkau hai Ali kau berikan pinjaman kepada Allah Saw enam dirham dan Allah memberimu tiga ratus dirham, satu dirham mendapat ganti lima puluh dirham.”

“Orang dusun yang pertama adalah Jibril dan yang kedua adalah Israfil.” Menurut riwayat lain, yang pertama adalah Jibril dan yang kedua adalah Mikail.

Cerita dalam hadits di atas menjadi sebuah ibrah dalam kehidupan, antara lain:

Pertama, kaca bening kalbu senantiasa terisi dengan nilai-nilai kebajikan, sehingga menuntun manusia untuk senang dan gemar melakukan kebajikan, walaupun di pandang mata kebajikan itu kecil.

Kedua, keimanan yang autentik menjadi kesalehan aktual hingga melahirkan karakter dermawan.

Ketiga, karakter dermawan berlandarkan keimanan dan amal saleh yang disandarkan mencari karunia dan ridha Allah, maka jiwa kedermawanannya tanpa tendensi apapun.

Keempat, perilaku ikhlas dalam melakukan kebaikan, menjadi kunci rahasia mendatangkan pertolongan Allah dengan cepat.

Kelima, perilaku ihsan (memberi dengan spontan yang menjadi laku hidup sehari-hari) akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah: visi supra-rasional.

Keenam, manusia-tauhid tidak akan pernah menyangsikan kerugian dalam berbuat baik; tidak pernah “menistai” janji-janji kebajikan yang akan diterima, baik di dunia maupun akhirat; dan, tidak pernah merasa kecewa bila harta yang dimiliki diberikan kepada orang lain yang layak menerimanya.

Spiritualisme Sedekah sebagai Aktualisasi Kepribadian Takwa

Dalam sedekah terdapat tujuh nilai spiritualitas sebagai aktualisasi kepribadian takwa, antara lain adalah:

Pertama, sedekah itu bisa membebaskan seseorang dari kesulitan. Sebagaimana risalah Rasulullah Saw menyatakan: “Sesungguhnya sedekah itu bisa menolak tujuh puluh macam bencana.”

Kedua, sedekah adalah ‘pengobat’ (tabib). Seperti sabda Nabi Muhammad Saw, “Obatilah orang sakit di antara kamu dengan sedekah.”

Baca Juga  Tak Usah Susah, Sedekah Cukup dengan Senyum!

Ketiga, sedekah sebagai ‘pelindung’ (penjaga). Sebagaimana dijelaskan dalam risalah Rasulullah Saw, “Lindungilah harta bendamu drngan sedekah.”

Keempat, sedekah bisa meredam ‘murka’ Allah. Seperti dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad Saw, “Sedekah itu bisa memadamkan kemarahan Tuhan.”

Kelima, sedekah menumbuhkan sikap kasih sayang di antara manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam risalah Rasulullah Saw, “Sedekah itu hadiah, hendaklah kamu saling memberi hadiah, niscaya kamu saling mencintai.”

Keenam, sedekah menimbulkan kelembutan hati. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw, “Barangsiapa mengalami kekerasan hati hendaklah ia memperbanyak sedekah.”

Ketujuh, sedekah menambah (keberkahan) umur. Sebagaimana termaktub dalam risalah Rasulullah Saw, “Sedekah itu bisa menolak bencana dan menambah (keberkahan) umur.”

Sedekah sebagai Terapi Psikologis

Esensi harta bukanlah kepemilikan mutlak. Esensi harta adalah titipan Allah. Maka selayaknyalah harta memiliki fungsi sosial-kemanusiaan. Apalah artinya sebutan hartawan bila tidak mampu berbagi kebahagiaan. Apa guna status kaya-raya bila tidak mampu mengangkat kemudian kemanusiaan yang termarginalkan. Tidak berdaya apa-apa bila sikap kedermawan hanya berharap meraih ambisi, gensi, materi dan kursi.

Apabila tendensi pamrih duniawi dihilangkan, maka sedekah sesungguhnya memiliki efek bagi kesehatan jiwa (terapi psikologis) bagi orang-orang yang memiliki karakter dermawan. Sesungguhnya sedekah adalah “jembatan-hati” yang menyambungkan silaturahim antara sesama manusia.

Perilaku sedekah merupakan penguat “buhul” ikatan kalbu sesama insan ciptaan Tuhan yang mempertautkan ukhuwah insaniah; dan, sedekah menjadi sarana welas asih antara warga bangsa dan negara dalam ukhuwah wathaniah.

Sebaliknya, apabila harta tanpa disedekahkan, maka harta akan menjadi “fitnah” atau bencana bagi pemiliknya. Betapa banyak pemilik harta yang menggunakan harta untuk “membanting” kartu di meja judi, “mencekik” miras di diskotik, memperturutkan nafsu di restoran mewah, dan “menengguk” dan menghisap narkoba, serta tindakan asusila dan amoral lainnya. Tidak ada karakter dermawan sedikitpun.

Harta yang disedekahkan dalam jumlah yang besar kepada kaum mustadha’afin akan berdaya mengangkatkan kemuliaan kemanusiaannya. Akan berhasil guna bila diarahkan penggunaannya bagi kaum termarginalkan. Akan berfungsi menaikkan status fakir-miskin apabila ada bimbingan dan pengawasan. Serta akan terarah dalam kegiatan produktif apabila ada pendampingan (advokasi).

Jadi, harta yang di makan, akan jadi kotoran; harta yang di simpan, akan jadi warisan yang diperebutkan; namun, harta yang disedekahkan akan menjadi amal, bekal dan pertolongan di akhirat bagi pemiliknya.

Editor: Yusuf


Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Ibadah

Mengapa Kita Tidak Bisa Khusyuk Saat Salat?

3 Mins read
Salat merupakan ibadah wajib bagi umat Islam. Di dalam Islam, salat termasuk sebagai rukun Islam yang kedua. Sebab, tanpa terlebih dahulu mengimani…
Ibadah

Empat Tingkatan Orang Mengerjakan Shalat, Kamu yang Mana?

4 Mins read
Salah satu barometer kesalehan seorang hamba dapat dilihat dari shalatnya. Dikatakan oleh para ulama, bahwa shalat itu undangan dari Allah untuk menghadap-Nya….
Ibadah

Sunah Nabi: Hemat Air Sekalipun untuk Ibadah!

3 Mins read
Keutamaan Ibadah Wudu Bagi umat Islam, wudu merupakan bagian dari ibadah harian yang selalu dilakukan terutama ketika akan melaksanakan salat. Menurut syariat,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds