Dalam tulisan pertama saya menjelaskan bahwa makna dan konsep purifkasi KHA Dahlan adalah lebih bagaimana memurnikan jiwa, membersihkan hati atau spiritualisasi syariat. Dalam bagian kedua ini saya akan lebih mengulas makna kedua purifikasi KHA Dahlan, yakni rasionalisasi pemahaman agama dan menyehatkan akal pikiran.
Dawam Rahardjo dalam bukunya Intelektual Intelegensia, 225-226, menyatakan bahwa KHA Dahlan membaca Muhammad ‘Abduh dan Farij Wajdi, dua tokoh Mesir yang ingin membangkitkan ilmu pengetahuan.
Dalam penjelasan Kuntowijoyo, pada waktu itu Muhammadiyah menghadapi tiga front, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme. Modernisme sudah dijawab dengan pendirian sekolah-sekolah. Tradisionalisme dengan tabligh (penyampaian) dengan mengunjungi murid-muridnya. Padahal waktu itu “guru mencari murid” adalah aib sosial-budaya.
Tabligh merupakan perlawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama, yaitu menghilangkan monopoli ulama atas agama, sehingga budaya lisan, dihilangkan oleh tabligh. Agama yang semula bersifat esoteris-mistis milik kaum virtuosi (spesialis) menjadi agama etis rasional milik orang awam. Orientasi yang rasional dan terbuka menjadi landasan bagi pembaruan sosial yang dilakukan di Muhammadiyah. Hal ini yang mengantarkan Pemikiran keagamaan Dahlan bercorak rasionalistik, terbuka dan berorientasi pembaruan sosial (social reform).
Sementara dalam merespons Jawaisme, Dahlan menggunakan metode menghapuskan mitos-mitos (demitologisasi). Salah satu mitos yang hidup saat itu adalah bahwa keberuntungan disebabkan memelihara jimat dan tuyul(pesugihan) atau minta-minta di kuburan keramat. Berbagai mitos yang berkembang tersebut dihapus dengan ajaran bahwa keberuntungan adalah kehendak Tuhan. Sementara salah satu jalan untuk meraihnya adalah shalat sunnah. Di sini Muhammadiyah dengan gerakan rasionalisasi dan purifikasi agama menjadi “ideologi baru” di Indonesia.
Menurut Abdul Munir Mulkhan, KHA Dahlan telah berhasil mengganti jimat, dukun, dan hal-hal yang keramat (mistis-irrasional) dengan ilmu pengetahuan sebagai basis gerakan pencerahan umat yang memihak kaum lemah. Di masa lalu, sebelum gerakan pembaruan dilakukan Ahmad Dahlan, ajaran Islam itu misterius, penuh mistik, dan tahayul, hanya terkait persoalan sesudah mati, sebaliknya tidak terkait dengan kehidupan riil dalam masyarakat. Dunia sosial pemeluk Islam dipenuhi selimut tebal jimat, perdukunan, benda dan orang keramat, serta kisahkisah membingungkan karena tidak rasional.
Adalah Dawam Rahadjo menyatakan:
“Sadar terhadap lingkungannya, yaitu masyarakat dan golongan menengah, KHA Dahlan ingin menyajikan Islam sebagai ajaran agama yang mudah dipahami dan mudah dijalankan. Atas dasar pandangannya itu, maka dia sebenernya melakukan semacam “rasionalisasi”, dengan menyingkirkan paham-paham yang dianggapnya bid’ah dan khurrafat” . (Lihat Intelektual Intelegensia, 226).
Hal ini senada dengan Mutohharun Jinan bahwa gerakan purifikasi cenderung menjadi gejala urban yang banyak diikuti oleh kaum terpelajar dan pedagang di perkotaan.
Dengan demikian isu pemurnian Islam, yang merupakan pengaruh Wahabiah dan reformisme Rasyid Ridha, pada masa Dahlan, lebih dipahami sebagai penyadaran peran umat dalam kehidupan sosial daripada sebagai pemberantasan praktik takhayul, bid`ah, dan churafat (TBC). Bagi Dahlan, penyakit TBC telah mentradisi di tengah masyarakat Islam akibat kebodohan mereka. Dari itu, pendidikan adalah satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan mereka.
Hal ini barangkali yang disebut oleh Kutowijoyo belakangan dengan istilah “Ilmuisasi Islam”, bagaimana beragama dengan akal sehat secara rasional, sehingga melahirkan pemahaman yang baru yang kontekstual dengan kehidupan.
Sebagaimana saya sebut dalam tulisan pertama, bahwa bagi Kiai Dahlan, akal dan hati suci sebagai inti kesalehan syariah. Menurutnya, hati suci bukan hanya pangkal memahami Islam, tapi hati suci ialah akar ibadah, dasar hidup sosial dan keagamaan. Hati suci ini pula yang akan membebaskan seseorang dari kebodohan. Karena itu, juga bebas dari ikatan tradisi.
Pemurnian akal dilakukan dengan memurnikan hati suci. Kesucian nalar dan hati melahirkan apa yang disebut dengan etika “welas asih”, yakni kelembutan hati (rahmat) terhadap kaum dhuafa dan mustadh`afin dalam masyarakat.
Maka dari itu, sebenarnya proyek besar KHA Dahlan bukanlah memberantas TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churrafat), tetapi pencerahan akal pikiran dengan memberantas kebodohan, sehingga orang beragama secara rasional. Kalau sudah pintar, cerdas dan rasional, orang dengan sendirinya akan meninggalkan TBC sebagai sesuatu yang tidak rasional dan tidak masuk akal. Di sinilah purifikasi KHA Dahlan bermakna memurnikan akal pikiran, mencerahkan nalar dan menyehatkan akal serta membebaskan dari tradisi.