Saya masih ingin menanggapi pandangan sahabat saya Ulil Abshar Abdalla yang mengetengahkan gagasan soal “fikih lingkungan” dan dengan keras membedakannya dari “ideologi lingkungan”. Tentu saja itu bisa dibedakan. Tapi fikih lingkungan, menurut saya, tidak bisa tidak ber-ideologi lingkungan. Dengan kata lain, fikih lingkungan saja tidak cukup. Fikih lingkungan memerlukan ideologi lingkungan. Apa maksudnya?
Lingkungan hidup adalah anugerah yang diberikan Allah kepada manusia. Islam sebagai agama yang komprehensif mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk lingkungan. Fikih lingkungan, sebagai cabang dari fikih, berfokus pada prinsip-prinsip dan hukum Islam terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Lewat artikel sederhana ini, saya mau coba menjawab pertanyaan apakah fikih lingkungan cukup untuk mengatasi krisis iklim. Ini berarti fikih lingkungan akan ber-ideologi lingkungan.
Fikih lingkungan adalah penerapan hukum-hukum Islam yang mengatur interaksi manusia dengan lingkungan. Ini mencakup penggunaan sumber daya alam, perlindungan flora dan fauna, serta tanggung jawab menjaga keseimbangan ekosistem. Fikih lingkungan bertujuan untuk memastikan bahwa tindakan manusia tidak merusak lingkungan dan bahwa sumber daya alam digunakan secara berkelanjutan.
Banyak buku fikih lingkungan yang saya perhatikan, memuat dasar-dasar prinsip untuk fikih lingkungan, seperti:
Tauhid: Keyakinan akan keesaan Allah. Semua ciptaan adalah amanah dari Allah dan harus diperlakukan dengan rasa hormat dan tanggung jawab.
Khilafah: Manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.
Adil: Keadilan dalam penggunaan sumber daya alam, memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dan sumber daya dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Maslahah Mursalah: Prinsip kemaslahatan umum yang menekankan bahwa segala tindakan harus membawa kebaikan bagi umat manusia dan lingkungan.
Hisbah: Pengawasan dan penegakan hukum terkait lingkungan untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan yang ada.
Setiap individu Muslim memiliki tanggung jawab untuk menjaga lingkungan. Dalam Islam, ada konsep bahwa kerusakan lingkungan tidak hanya berdampak pada kehidupan duniawi tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Dalam fikih lingkungan ditegaskan larangan israf (pemborosan) dan tabzir (pemborosan yang berlebihan)
Fikih lingkungan melarang pemborosan dan penggunaan sumber daya alam secara berlebihan (QS. Al-A’raf: 31). Fikih lingkungan juga mengajarkan perlindungan terhadap makhluk hidup. Fikih lingkungan mengajarkan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup. “Barangsiapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada masa Rasulullah, perhatian terhadap lingkungan sudah diajarkan melalui berbagai hadits. Salah satu contoh adalah hadits yang menganjurkan untuk tidak membuang air di sumber air yang mengalir dan larangan untuk mencemari sumber air.
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, terdapat kebijakan yang mendukung konservasi lingkungan. Khalifah Abu Bakar As-Siddiq misalnya, dalam perintahnya kepada pasukan yang berperang, melarang menebang pohon dan merusak tanaman.
Fikih lingkungan di masa modern mendapatkan tantangan, yaitu adanya perubahan iklim dan krisis lingkungan. Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dunia saat ini. Ini mencakup pemanasan global, peningkatan emisi gas rumah kaca, deforestasi, dan polusi. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana fikih lingkungan dapat berkontribusi dalam mengatasi krisis ini.
Kebijakan dan Regulasi: Pemerintah di negara-negara mayoritas Muslim dapat mengadopsi prinsip-prinsip fikih lingkungan dalam regulasi dan kebijakan lingkungan.
Edukasi dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui pendidikan berbasis nilai-nilai Islam tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Praktik Kehidupan Sehari-hari: Mengintegrasikan prinsip-prinsip fikih lingkungan dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengurangi penggunaan plastik, menghemat energi, dan mendaur ulang.
Meskipun fikih lingkungan memiliki prinsip-prinsip yang kuat, ada beberapa keterbatasan dalam penerapannya:
Kurangnya Implementasi: Banyak negara mayoritas Muslim yang belum sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip fikih lingkungan dalam kebijakan mereka. Termasuk kurang mengembangkan argumen-argumen fikih lingkungan yang baru atau kontekstual.
Tantangan Global: Krisis iklim adalah isu global yang memerlukan kerjasama internasional. Fikih lingkungan mungkin tidak cukup efektif jika diterapkan secara terpisah tanpa adanya sinergi dengan upaya global lainnya.
Perubahan Sosial dan Ekonomi: Perubahan perilaku dan kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi krisis iklim sering kali berbenturan dengan kepentingan ekonomi dan sosial yang sudah mapan.
Fikih lingkungan menawarkan kerangka kerja moral dan etis yang kuat untuk perlindungan lingkungan. Namun, untuk mengatasi krisis iklim secara efektif, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif yang mencakup kerjasama internasional, inovasi teknologi, dan perubahan sistemik dalam ekonomi global. Oleh karena itu, meskipun fikih lingkungan adalah bagian penting dari solusi, ia tidak dapat berdiri sendiri.
Kesimpulannya: fikih lingkungan menawarkan panduan moral dan etis yang penting dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan berdasarkan ajaran Islam. Meskipun memiliki prinsip-prinsip yang kuat, implementasi dan efektivitasnya dalam mengatasi krisis iklim masih menghadapi berbagai tantangan. Oleh karena itu, sementara fikih lingkungan adalah elemen penting dalam upaya menjaga lingkungan, pendekatan yang lebih komprehensif dan global diperlukan untuk mengatasi krisis iklim secara efektif. Ini melibatkan sinergi antara prinsip-prinsip Islam, kebijakan internasional, inovasi teknologi, dan perubahan sosial ekonomi.
Nah, persis sampai di sini, saya kurang setuju dengan Ulil, bahwa fikih lingkungan terpisah dari ideologi lingkungan. Fikih lingkungan justru memerlukan ideologi lingkungan.
Perlukah fikih lingkungan berideologi lingkungan? Ini pertanyaan yang mau saya renungkan. Fikih lingkungan sendiri sebenarnya sudah memiliki landasan ideologis yang kuat dalam ajaran Islam. Namun, mengingat kompleksitas krisis iklim saat ini, ada argumen bahwa mengintegrasikan ideologi lingkungan modern dengan prinsip-prinsip fikih lingkungan dapat memperkuat efektivitasnya. Alasan mengapa fikih lingkungan perlu berideologi lingkungan:
Sinergi Nilai dan Prinsip: Ideologi lingkungan modern seperti ekosentrisme dan keberlanjutan dapat memperkuat prinsip-prinsip fikih lingkungan tentang tanggung jawab manusia terhadap alam.
Adaptasi dan Relevansi: Mengadopsi ideologi lingkungan dapat membantu fikih lingkungan tetap relevan dalam menghadapi tantangan lingkungan kontemporer.
Kerangka Kerja yang Terpadu: Ideologi lingkungan dapat menyediakan kerangka kerja yang lebih terpadu untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip fikih lingkungan dalam kebijakan publik dan tindakan sehari-hari.
Ideologi lingkungan juga yang bisa membantu fikih lingkungan dalam isu-isu penting ekologi, seperti:
Keberlanjutan (sustainability): Keberlanjutan adalah konsep yang mengedepankan penggunaan sumber daya alam secara bijaksana sehingga kebutuhan generasi saat ini dapat terpenuhi tanpa mengorbankan generasi mendatang. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam atau agama apa pun, yang menekankan pentingnya menjaga amanah Allah.
Pengelolaan Sumber Daya: Fikih lingkungan dapat mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan melalui kebijakan yang mendukung energi terbarukan, pertanian organik, dan pengelolaan limbah yang efektif.
Edukasi dan Kesadaran: Mengajarkan prinsip keberlanjutan dalam kurikulum pendidikan Islam dan program-program masjid.
Salah satu ideologi yang penting untuk fikih lingkungan adalah ekosentrisme. Ekosentrisme, kita sudah tahu, adalah ideologi yang menempatkan ekosistem sebagai pusat perhatian, di mana semua makhluk hidup dianggap memiliki nilai intrinsik dan penting untuk menjaga keseimbangan alam. Sehingga integrasi ideologi ekosentrisme ini dalam fikih lingkungan bisa memberi:
Perlindungan Flora dan Fauna: yaitu menerapkan hukum yang melindungi flora dan fauna serta habitat alami mereka.
Konservasi: mempromosikan kegiatan konservasi yang menghargai nilai intrinsik semua komponen ekosistem.
Ideologi lain yang juga penting adalah Deep Ecology. Deep Ecology menekankan pada kedalaman hubungan antara manusia dan alam, mengakui bahwa manusia adalah bagian integral dari ekosistem dan harus hidup selaras dengan alam.
Integrasi Deep ecology dalam fikih lingkungan, akan memberikan: etika lingkungan, yaitu mengembangkan etika lingkungan yang mendalam berdasarkan prinsip-prinsip Islam dan Deep ecology. Dan kemudian, gaya hidup berkelanjutan: yaitu mendorong gaya hidup yang lebih sederhana dan berkelanjutan yang menghormati batasan alam.
Satu lagi ideologi lingkungan yang penting untuk fikih lingkungan adalah ekologi sosial. Ekologi sosial menekankan hubungan antara masalah sosial dan ekologi, mengakui bahwa ketidakadilan sosial seringkali berkontribusi pada degradasi lingkungan.
Integrasi ideologi ini dalam dalam fikih lingkungan, akan mengembangkan paham ini dalam fikih lingkungan:
Keadilan Sosial: Menerapkan prinsip keadilan sosial dalam kebijakan lingkungan, seperti distribusi sumber daya yang adil dan perlindungan hak-hak komunitas yang rentan.
Pemberdayaan Komunitas: Mempromosikan pemberdayaan komunitas lokal untuk mengambil peran aktif dalam pengelolaan lingkungan.
Jadi integrasi ideologi lingkungan dengan fikih lingkungan dapat memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dan efektif dalam mengatasi krisis iklim. Keberlanjutan, ekosentrisme, Deep ecology, dan ekologi sosial adalah beberapa ideologi lingkungan yang dapat membantu memperkuat kontribusi fikih lingkungan dalam masyarakat Muslim. Dengan menggabungkan prinsip-prinsip Islam dengan nilai-nilai dan konsep-konsep dari ideologi lingkungan modern, umat Muslim dapat lebih efektif dalam menjaga lingkungan dan mengatasi tantangan krisis iklim.
Dengan penjelasan ini, maka gagasan soal fikih lingkungan, yang dengan keras oleh Ulil dibedakan dari ideologi lingkungan, itu hanya mungkin dalam konsep, tapi tidak mungkin dalam praktiknya. Setiap putuskan fikih lingkungan, seperti yang berkali-kali dikemukakan Ulil, misalnya soal “najis” atau tidaknya batu bara, itu tergantung dari ideologinya.
Editor: Soleh