Tulisan ini merupakan kritik terhadap pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang “metafisika yang mendasari aktivisme lingkungan”, yang dituangkan dalam seri terakhir tulisannya tentang tambang (dalam fb-nya, dua hari lalu).
Kritik ini akan menelaah argumentasi Ulil dengan menggunakan berbagai pendekatan interdisipliner dan sudut pandang, termasuk perspektif teologis, filosofis, dan ekologis. Selain itu, tulisan ini akan menyoroti beberapa kekeliruan asumsi dan kesimpulan yang diambil oleh Ulil serta memberikan alternatif pandangan yang lebih komprehensif dan berimbang.
Ulil memulai dengan asumsi bahwa kritik aktivis lingkungan terhadap sumber energi fosil (termasuk batu bara) tidak semata-mata mengenai perusakan lingkungan, melainkan juga didorong oleh semacam “akidah” atau metafisika tertentu tentang bumi. Ia mencurigai adanya pandangan kosmosentrisme yang menempatkan bumi sebagai pusat, bukan manusia. Asumsi ini, tentu saja, perlu dikritisi karena terlalu menyederhanakan motivasi dan tujuan aktivisme lingkungan.
Aktivisme (para aktivis) lingkungan umumnya didorong oleh kesadaran akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh eksploitasi alam yang berlebihan, termasuk perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan. Motivasi ini bukanlah semata-mata karena keyakinan metafisis tentang kesucian bumi, melainkan karena fakta empiris dan ilmiah tentang kerusakan yang terjadi dan kebutuhan mendesak untuk melindungi ekosistem yang menopang kehidupan manusia.
Ulil menuduh bahwa para aktivis lingkungan memiliki pandangan kosmosentrisme yang menempatkan alam sebagai pusat, dan menggeser manusia dari posisinya sebagai pusat realitas. Pandangan Ulil ini sebenarnya adalah pandangan antroposentrisme ekstrim yang telah mendominasi selama berabad-abad, di mana alam dianggap sebagai objek yang dapat dieksploitasi tanpa batas.
Pandangan antroposentrisme ekstrem sudah ditinggalkan dalam ekologi. Pandangan kosmosentrisme dalam ekologi, berusaha mengembalikan keseimbangan dengan menekankan bahwa manusia adalah bagian integral dari ekosistem dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestariannya.
Ulil juga mengkritik gagasan deep ecology dan ecofeminism yang menurutnya mendasari gerakan lingkungan modern. Namun, penafsiran Ulil terhadap kedua konsep ini cenderung simplistik dan mengabaikan kompleksitas argumen yang diajukan oleh para pendukungnya.
Deep ecology, yang awalnya diperkenalkan oleh Arne Næss, menekankan nilai intrinsik semua makhluk hidup dan mengajak manusia untuk hidup selaras dengan alam. Pandangan ini tidak bertujuan untuk menafikan kepentingan manusia, melainkan untuk menekankan bahwa kesejahteraan manusia bergantung pada kesehatan ekosistem secara keseluruhan. Dengan demikian, deep ecology berupaya mengatasi pandangan yang sempit dan egois tentang hubungan manusia dengan alam.
Ecofeminism menghubungkan penindasan terhadap perempuan dengan eksploitasi alam, dengan argumen bahwa keduanya memiliki akar yang sama dalam sistem patriarki dan dominasi. Ecofeminism tidak hanya menyoroti kerusakan lingkungan tetapi juga menekankan keadilan sosial dan gender. Dengan demikian, ecofeminism menawarkan perspektif yang holistik dan interseksional dalam memahami isu-isu lingkungan.
Ulil menggunakan argumen teologis untuk membela antroposentrisme dalam Islam, dengan menyebutkan bahwa manusia adalah pusat kosmos dan khalifah Tuhan di bumi. Namun, argumen ini dapat diperdebatkan, karena ajaran Islam juga menekankan tanggung jawab manusia untuk menjaga dan merawat alam.
Dalam Islam, konsep khalifah (wakil Tuhan di bumi) mengandung tanggung jawab besar untuk memelihara bumi. Manusia diperintahkan untuk tidak merusak lingkungan dan untuk hidup secara berkelanjutan. Dengan demikian, antroposentrisme dalam Islam tidak memberikan lisensi untuk eksploitasi alam secara sembarangan, melainkan mengharuskan manusia untuk bertindak sebagai penjaga yang bijaksana.
Pandangan bahwa bumi memiliki nilai intrinsik juga dapat ditemukan dalam ajaran Islam. Misalnya, Alquran menyebutkan bahwa segala sesuatu di alam semesta bertasbih kepada Tuhan. Ini menunjukkan bahwa alam memiliki nilai spiritual yang harus dihormati. Oleh karena itu, pandangan Deep Ecology yang mengakui nilai intrinsik bumi tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sejumlah intelektual Muslim seperti Seyyed Hossein Nasr, Ibrahim Ozdemir, Ziauddin Sardar, Fazlun Khalid, Nawal Ammar, dan Mohammed Abed al-Jabri, mengamini pandangan Deep Ecology ini. Para intelektual ini melihat bahwa prinsip-prinsip Islam, seperti tanggung jawab manusia sebagai khalifah (penjaga) bumi, pengakuan akan kesucian alam, dan keseimbangan (mizan), sangat sejalan dengan konsep-konsep dalam Deep Ecology yang menekankan nilai intrinsik dan hak-hak alam.
Ulil mengajukan oposisi biner antara ideologi dan fikih sebagai kerangka untuk melihat masalah-masalah modern. Menurutnya, fikih memiliki keterbukaan semiotis, sedangkan ideologi cenderung tertutup. Pandangan ini juga perlu dikritisi karena menyederhanakan perbedaan antara keduanya.
Fikih memang memiliki fleksibilitas dalam menafsirkan hukum Islam, tetapi juga memiliki batasan-batasan yang ditentukan oleh teks-teks agama. Fleksibilitas ini tidak berarti bahwa fikih selalu lebih terbuka daripada ideologi. Ideologi juga bisa bersifat dinamis dan responsif terhadap perubahan sosial dan lingkungan.
Ideologi lingkungan bukanlah semata-mata sebuah sistem tertutup, melainkan suatu kerangka berpikir yang berkembang berdasarkan bukti ilmiah dan pengalaman empiris. Ideologi lingkungan berusaha mencari solusi untuk masalah-masalah yang dihadapi umat manusia dalam menjaga kelestarian bumi dan kesejahteraan bersama.
Daripada melihat fikih dan ideologi sebagai dua entitas yang berlawanan, lebih bermanfaat untuk mencari pendekatan yang mengintegrasikan teologi dan ekologi. Pendekatan ini dapat mendorong agama untuk mendukung upaya perlindungan lingkungan dan kesejahteraan manusia (Lihat, misalnya buku David Landis Barnhill & Roger S. Gottlieb (eds.), Deep Ecology and World Religions: New Essays on Sacred Ground)
Teologi ekologis adalah pendekatan yang menggabungkan prinsip-prinsip teologis dengan kesadaran ekologis. Dalam konteks Islam, teologi ekologis dapat menekankan tanggung jawab manusia sebagai khalifah untuk menjaga alam, sambil mengakui nilai intrinsik alam sebagai ciptaan Tuhan.
Pendekatan holistik mengakui bahwa masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi saling terkait. Pendekatan ini mendorong kerja sama antara berbagai disiplin ilmu dan tradisi untuk mencari solusi yang berkelanjutan dan adil bagi semua makhluk hidup.
Maka pandangan Ulil mengandung beberapa kelemahan dan penyederhanaan. Saya sudah menunjukkan bahwa aktivisme lingkungan didorong oleh fakta ilmiah, dan kebutuhan untuk melindungi ekosistem, bukan semata-mata oleh keyakinan metafisis tentang kesucian bumi. Selain itu, pendekatan yang mengintegrasikan teologi dan ekologi dapat memberikan landasan yang lebih kuat untuk menjaga kelestarian alam dan kesejahteraan manusia. Dengan demikian, pandangan yang lebih komprehensif dan holistik diperlukan untuk memahami dan menangani tantangan lingkungan yang kompleks saat ini.
Kesalahpahaman tentang Deep Ecology
Saya mau sedikit dalami apa yang poin-poinnya sudah di sebut di atas. Sekali lagi: menurut saya, tulisan Ulil mengandung sejumlah kekeliruan dan kesalahpahaman yang mendasar, terutama dalam pemahaman dan interpretasinya terhadap konsep Deep Ecology dan motif aktivisme lingkungan.
Ulil menunjukkan pemahaman yang dangkal dan salah kaprah terhadap konsep Deep Ecology. Deep Ecology bukanlah sekadar pandangan metafisis tentang kesucian bumi, melainkan sebuah kerangka filosofis baru yang mendalam tentang hubungan manusia dengan alam.
Ulil menuduh Deep Ecology sebagai pandangan yang mensakralkan bumi dan memandangnya lebih penting daripada manusia. Tuduhan ini tidak hanya keliru, tetapi juga mencerminkan pemahaman yang sempit tentang filsafat Deep Ecology. Deep Ecology menekankan nilai intrinsik semua makhluk hidup, bukan untuk mengesampingkan kepentingan manusia, tetapi untuk menegaskan bahwa semua makhluk memiliki hak untuk eksis dan berkembang. Ini adalah upaya untuk mengatasi pandangan antroposentrisme yang ekstrem, yang sering kali merugikan ekosistem secara keseluruhan.
Ulil tampaknya tidak memahami bahwa kritik terhadap antroposentrisme bukan berarti meniadakan peran dan kepentingan manusia, tetapi untuk mengakui bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan yang kompleks. Dalam pandangan Deep Ecology, kesejahteraan manusia tidak bisa dipisahkan dari kesehatan ekosistem. Kerusakan ekosistem akan berujung pada kerugian bagi manusia sendiri. Oleh karena itu, menjaga alam adalah juga sekaligus menjaga keberlangsungan hidup manusia.
Di atas sudah saya singgung, Ulil juga menunjukkan kesalahpahaman tentang motivasi di balik gerakan lingkungan. Dia mencurigai bahwa para aktivis lingkungan didorong oleh semacam “akidah” atau keyakinan metafisis tentang bumi. Ini adalah simplifikasi yang mengabaikan motivasi ilmiah dan empiris yang mendasari gerakan lingkungan. Bahkan untuk sebagian aktivis lingkungan, motivasi mereka juga spiritual, yaitu didorong oleh tanggung jawab etis untuk menjaga planet yang sudah diciptakan Allah.
Aktivisme lingkungan didorong oleh bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan dampak negatif eksploitasi alam terhadap perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan. Ini bukan soal metafisika, tetapi soal fakta empiris yang bisa diukur dan diamati. Mengabaikan ini sama saja dengan menutup mata terhadap kenyataan krisis lingkungan yang semakin mendesak. “Mendesak”, adalah kata kunci yang diabaikan dalam semua tulisan Ulil. Malah kesan saya, Ulil “menunda-nunda” pemecahan masalah lingkungan juga diakui adanya oleh Ulil.
Para aktivis lingkungan, banyak di antaranya yang berakar pada berbagai tradisi spiritual dan moral, memperjuangkan keadilan lingkungan bukan karena mereka mensakralkan bumi, tetapi karena mereka percaya pada tanggung jawab etis untuk menjaga planet ini bagi generasi mendatang. Menuduh mereka sebagai “pemuja alam” menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap kompleksitas motivasi etis yang mendasari tindakan mereka.
Di atas sudah saya sebut, Ulil juga salah kaprah dalam menafsirkan ecofeminism, yang ia anggap sebagai bagian dari kritik atas patriarki dan perusakan alam. Pandangan ini sekali lagi menunjukkan kurangnya pemahaman Ulil tentang inti dari ecofeminism.
Ecofeminism menggarisbawahi bahwa penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi alam memiliki akar yang sama dalam sistem dominasi patriarkal. Ini bukan sekadar ideologi yang ingin menggabungkan dua isu, tetapi sebuah analisis ilmiah mendalam tentang bagaimana struktur kekuasaan yang menindas dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan gender. Ecofeminism mengajukan pandangan bahwa untuk mencapai keberlanjutan lingkungan, kita juga harus mengatasi ketidakadilan sosial dan gender.
Ecofeminism telah memberikan kontribusi signifikan dalam memperluas pemahaman kita tentang interkoneksi antara lingkungan dan keadilan sosial. Menyederhanakannya sebagai sekadar “pemujaan bumi” adalah pengabaian terhadap kompleksitas dan kekayaan teori ini. Ecofeminism menawarkan pendekatan interseksional yang sangat relevan dalam upaya menghadapi tantangan global saat ini.
Sudah saya sebut di atas, bahwa Ulil berargumen bahwa Islam menempatkan manusia sebagai pusat kosmos dan bahwa hal ini bertentangan dengan pandangan ekologi modern. Tapi ini menurut saya, adalah pemahaman yang sempit tentang teologi Islam.
Konsep khalifah dalam Islam menekankan tanggung jawab manusia untuk menjaga bumi sebagai amanah dari Tuhan. Ini berarti manusia harus bertindak sebagai penjaga yang bijaksana dan bertanggung jawab, bukan sebagai penguasa yang eksploitatif. Banyak ulama dan cendekiawan Muslim modern yang menafsirkan ajaran Islam untuk mendukung keberlanjutan lingkungan dan menekankan bahwa eksploitasi alam yang merusak adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (lihat, dokumen ekologi yang dilaunching para intelektual Muslim dunia, yang diberi nama “Al-Mizan”, pada Februari 2024 lalu).
Pandangan umum dan ekologis para cendekiawan Muslim ini, juga diamini Ulil. Hanya saja Ulil menolak pandangan ini sebagai pintu masuk ke filsafat Deep Ecology.
Menurut saya, Islam juga mengajarkan bahwa semua makhluk ciptaan Tuhan memiliki nilai intrinsik dan bahwa alam adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan yang harus dihormati dan dilestarikan. Ini sejalan dengan pandangan Deep Ecology dan menunjukkan bahwa ada landasan teologis yang kuat, bahkan sangat kuat, dalam Islam untuk mendukung Deep Ecology, yang tujuan utamanya adalah upaya perlindungan lingkungan.
Akhirnya saya berani menyimpulkan pandangan Ulil tentang yang ia sebut “metafisika yang mendasari aktivisme lingkungan” itu, mengandung banyak kesalahpahaman dan penyederhanaan. Kritiknya terhadap Deep Ecology, ecofeminism, dan motivasi aktivisme lingkungan, menunjukkan pemahaman Ulil yang bias, yang mengabaikan fakta ilmiah serta keragaman pandangan filosofis dan teologis yang ada.
Deep Ecology, ecofeminism, dan aktivisme lingkungan didorong oleh keprihatinan terhadap kerusakan nyata yang terjadi pada ekosistem kita dan kebutuhan untuk bertindak cepat demi masa depan yang berkelanjutan. Sejatinya ini juga Pandangan Ulil. Hanya bedanya Ulil tidak mau bertindak cepat, dan mengambil sense of urgency (sebagai kondisi yang penting dan genting, supaya segera dipecahkan).
Sebagai alternatif dari pemikiran Ulil, kita perlu pendekatan yang lebih integral, lebih holistik dan berimbang yang mengakui nilai intrinsik alam serta tanggung jawab manusia sebagai penjaga planet ini.
Terima kasih Ulil sudah menstimulasi kita, berpikir lebih mendalam dan kritis tentang isu agama dan ekologi. Ini akan mendorong kontribusi agama dalam mengatasi kerusakan lingkungan yang semakin parah. Semoga. Wallahu a`lam.
Editor: Soleh