Rabiah Adawiyah, yang juga dikenal sebagai Rabiah Al-Basri, adalah salah satu tokoh terkemuka dalam sejarah tasawuf (mistisisme Islam). Lahir sekitar tahun 717 M di Basra, Irak, Rabiah Adawiyah dikenal karena dedikasi dan cintanya yang mendalam kepada Allah. Perannya dalam dunia sufi tidak hanya terbatas pada praktik spiritualnya, tetapi juga pada kontribusinya dalam memperkenalkan konsep cinta ilahi (mahabbah) yang menjadi inti dari ajaran tasawuf.
Rabiah lahir dalam keluarga yang miskin, dan setelah kematian orang tuanya, ia dijual sebagai budak. Namun, kesulitan hidupnya tidak menghentikannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Legenda menyebutkan bahwa majikannya suatu hari melihat Rabiah sedang berdoa di malam hari dengan cahaya ilahi yang menyinari dirinya, dan setelah menyaksikan kejadian ini, majikannya membebaskannya.
***
Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabiah pergi mengembara di padang pasir. Setelah beberapa saat tinggal di padang pasir, ia menemukan tempat tinggal. Di tempat itulah ia menghabiskan seluruh waktunya beribadah kepada Allah. Rabiah juga memiliki majelis yang dikunjungi banyak murid. Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain untuk bertukar pikiran.
Di antara mereka yang pernah mengunjungi majelis Rabiah adalah Malik bin Dinar (wafat 748/130 H), Sufyan as-Sauri (wafat 778 / 161H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H). Rabiah hanya tidur sedikit di siang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat sehingga ia dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah.
Rabiah Adawiyah dikenal karena pengajarannya tentang cinta ilahi yang tanpa pamrih. Dalam dunia sufi, konsep ini dikenal sebagai mahabbah. Baginya, cinta kepada Allah adalah tujuan tertinggi dalam hidup dan semua tindakan harus didasari oleh cinta ini, bukan oleh harapan akan pahala atau ketakutan akan hukuman. Rabiah sering kali dikutip dalam puisinya yang penuh gairah, yang mengekspresikan cintanya yang mendalam kepada Allah.
***
Salah satu puisinya pernah dikutip oleh Dr. Fakhruddin Faiz dalam laman pengajiannya, bahwa kisah tentang kebiasaannya yang tidak tidur sepanjang malam kecuali hanya sebentar mencerminkan diri Rabi’ah dengan tingkat ketakwaannya yang tinggi. Lalu ketika terbangun dari tidur singkatnya, Rabi’ah sering mengutuk dirinya sendiri dengan syairnya.
“Wahai jiwa, berapa lama engkau tertidur? sampai kapan engkau akan tertidur? engkau terlalu nyenyak tidur, akankah engkau tertidur saja tanpa terbangunkan kembali, kecuali oleh terompet hari kebangkitan?”
Kata-kata ini diucapkan dengan tujuan untuk mendidik dirinya sendiri, mengingatkannya akan pentingnya kesadaran spiritual dan persiapan untuk hari kebangkitan. Dalam ajaran sufi, refleksi diri dan pengendalian nafsu adalah bagian integral dari perjalanan menuju kesempurnaan spiritual. Rabiah Al-Adawiyah melalui syair-syairnya mengajak dirinya dan orang lain untuk selalu waspada dan tidak terlena oleh kenikmatan duniawi, serta selalu ingat akan tujuan akhir kehidupan yaitu pertemuan dengan Sang Pencipta.
Rabiah Al-Adawiyah memiliki pengaruh besar dalam perkembangan tasawuf, terutama dalam hal pengenalan dan penekanan pada cinta ilahi. Ajarannya menekankan bahwa hubungan dengan Allah harus didasarkan pada cinta murni, bukan pada transaksi atau ketakutan.
Banyak sufi setelah Rabiah yang terinspirasi oleh ajarannya. Tokoh-tokoh seperti Al-Hallaj dan Jalaluddin Rumi mengembangkan konsep cinta ilahi dalam karya-karya mereka, yang kemudian menjadi bagian integral dari tradisi sufi.
***
Selain itu, Rabiah juga menjadi contoh penting tentang peran perempuan dalam tasawuf. Meskipun hidup dalam masa yang didominasi oleh laki-laki, Rabiah berhasil mencapai kedudukan spiritual yang tinggi dan dihormati oleh banyak ulama dan sufi pada masanya.
Rabiah telah terkenal karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok negeri sehingga ia menerima banyak lamaran untuk menikah. Di antara mereka yang melamarnya adalah Abdul Wahid bin Zaid, seorang teolog dan ulama, Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir dari dinasti Abbasiyah yang sangat kaya, juga seorang gubernur yang meminta rakyat Basrah untuk mencarikannya seorang istri dan penduduk Basrah bersepakat bahwa Rabiah adalah orang yang tepat untuk gubernur tersebut.
Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Hasan al-Bashri, seorang sufi besar dan sahabat Rabiah, juga meminangnya, namun hal itu masih diragukan kebenarannya mengingat Hasan al-Bashri meninggal 70 tahun sebelum kematian Rabiah. Rabiah menolak seluruh lamaran itu dan memilih untuk tidak menikah.
Meskipun tidak menikah, Rabiah sadar bahwa pernikahan termasuk sunah agama, sebab, tidak ada kependetaan (bahasa Arab: Rahbaniyah) dalam syariat Islam. Rabiah memilih untuk tidak menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan anak-anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah. Tidak ada satu pun di dunia ini yang dicintai Rabiah kecuali Allah. Sehingga atas dasar itulah, Rabiah memutuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.
Rabiah Adawiyah adalah ikon cinta ilahi dalam dunia sufi. Kehidupannya yang penuh dengan pengabdian, asketisme, dan cinta yang mendalam kepada Allah memberikan contoh yang kuat tentang apa artinya menjadi seorang sufi. Ajarannya tentang cinta ilahi tanpa pamrih telah memberikan pengaruh yang mendalam dan abadi dalam tradisi tasawuf, menjadikan Rabiah sebagai salah satu tokoh terpenting dalam sejarah mistisisme Islam.
Rabiah Al-Adawiyah adalah bukti bahwa sufi tak harus dari kaum laki-laki.
Editor: Soleh