Perspektif

Radikalisasi Simbol

5 Mins read

Seorang sarjana dari Deakin University, Michele Grossman, suatu ketika memberikan komentar bernada keberatan ketika saya membedakan antara konservatisme dan radikalisme. Konfirmasi bernada keberatan itu terjadi dalam sebuah konsorsium penelitian tentang globalisasi, radikalisasi dan sekularisasi di bawah koordinasi European University Institute, Florence, Italia. Michele dan saya adalah anggota konsorsium itu. Keberatan Michele adalah karena saya memberikan batas antara radikalisme dan konservatisme.

Saya mengajukan pendapat, seliteral atau sekaku apapun orang dalam memahami doktrin-doktrin keagamaan, sepanjang dia tidak menerjemahkannya dalam tindakan kekerasan atau tindakan fisik yang memaksa orang lain untuk mengikuti pandangannya, maka itu konservatisme. Namun, ketika pandangan keagamaan yang konservatif, bersifat closed-minded, dan berorientasi tunggal, kemudian diterjemahkan pada level yang lebih riil, yakni dalam bentuk kekerasan, maka itulah radikalisme.

Namun demikian, radikalisme bisa juga dalam konteks simbol, yakni ketika tindakan, keputusan atau kebijakan memberikan efek psikologis setara kekerasan kepada seseorang atau kelompok. Inilah yang saya ingin ajukan sebagai ”radikalisme simbolik.”

Itulah pemahaman saya tentang radikalisme. Tentu, tidak mudah mengundang orang lain sepakat dengan definisi seperti ini. Namun, rasanya, memberikan definisi atas sebuah istilah menjadi sangat penting, sebelum kita menggunakannya. Voltaire, seorang filsuf Perancis abad ke-18, pernah mengingatkan hal itu. ”If you wish to converse with me, define your term” (jika hendak berbincang dengan saya, definisikan dulu istilahmu).

Ini hal yang terlihat sepele, tetapi orang seringkali lupa menghadirkannya. Lebih dari sekadar memperoleh kejelasan konteks, mendefinisikan istilah sesungguhnya mengisyaratkan adanya ruang dialog antara subjektivitas dan objektivitas dalam memahami sebuah kenyataan.

Definisi atas sebuah istilah selalu mengandung aspek subjektif, tentu saja. Namun, pastilah ada aspek-aspek objektif yang dikandung. Objektivitas itu terutama menyangkut hal-hal yang tak bisa ditolak oleh indera, karena sifat objek materialnya yang memang demikian. Batu adalah batu. Itu objektif. Pandangan inderawi tak mungkin ingkar.

Mengatakan batu sebagai kayu adalah pengingkaran terhadap objektivitas. Namun, ketika benda bernama batu itu, lalu untuk sementara disepakati sebagai batas wilayah, sebagai penanda terhadap kepemilikan atas tanah atau bahkan sebagai alat pembayaran, misalnya, maka pada wilayah itulah terletak relevansi define your term ala Voltaire tadi itu. Jadi, batu yang objektif itu masih membuka ruang bagi pemaknaan subjektif, tetapi itu tidak mengubah hakikat batu sebagai batu.

Polemik Din Syamsudin Dituduh Radikal

Ketika kontroversi menyeruak ke publik berkaitan dengan pelaporan tokoh Islam moderat seperti Din Syamsudin sebagai radikal, kembali kepada hakikat defining the term itu harus dilakukan. Membaca surat Gerakan Anti Radikalisme-Alumni Institut Teknologi Bandung (GAR-ITB) yang ditujukan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), sebenarnya tidak ada penyebutan kata ”radikal” yang secara eksplisit dilekatkan secara langsung kepada Din Syamsudin. Lalu dari manakah kesimpulan Din Syamsudin disebut radikal itu berkembang luas?

Baca Juga  Sudarnoto: Masjid Tidak Boleh Dipolitisasi Kelompok Tertentu

Beberapa kemungkinan patut dikemukakan di sini. Pertama, kesimpulan media dan publik bahwa Din Syamsudin dituduh radikal itu barangkali muncul karena nama kelompok pelapor itu adalah Gerakan Anti-Radikalisme. Karena pihak pelapor adalah kelompok yang menamakan diri anti-radikalisme, maka dengan sendirinya lalu disimpulkan bahwa pihak terlapor adalah radikal.

Kedua, meskipun tidak menyebut kata ”radikal” sama sekali dalam laporannya, tentu saja sangat dimaklumi ketika publik menyimpulkan pelaporan itu memiliki konotasi menganggap Din Syamsudin sebagai seorang yang radikal. Ini mengingat isu yang diangkat dalam laporan itu pada umumnya adalah sikap kritis Pak Din pada negara dan pemerintah. Bagi kalangan tertentu, sikap kritis barangkali dianggap sebangun dengan radikalisme.

Maka pokok diskusi harus diarahkan kepada poin-poin yang mendorong GAR-ITB meluncurkan laporan itu. Secara rinci, surat laporan GAR-ITB itu melaporkan sejumlah isu: a) Din Syamsudin dianggap bersikap konfrontatif terhadap lembaga negara dan keputusannya; b) Din Syamsudin disebut melakukan stimulasi perlawanan pada pemerintah yang bisa mengarahkan kepada disintegrasi bangsa; c) Melakukan framing menyesatkan; d) Mempersoalkan posisi Din Syamsudin sebagai PNS yang beroposisi terhadap pemerintah; e) Melakukan agitasi dan kebohongan publik; dan f) Pak Din dianggap melakukan eksploitasi sentimen agama.

Dari sejumlah fakta yang dilaporkan itu, sebenarnya fakta objektifnya hanya bisa disimpulkan dalam satu konteks, yaitu Pak Din bersikap kritis kepada pemerintah dan negara. Meskipun demikian, ada pula fakta-fakta yang lebih bersifat interpretatif. Poin ke-6 dari laporan GAR-ITB tentang eksploitasi sentimen agama, menurut saya, lebih banyak didominasi oleh persepsi ketimbang fakta.

Kita tidak memungkiri fakta objektif bahwa belakangan ini Din Syamsudin bersikap kritis kepada pemerintah. Akan tetapi, cara membaca fakta objektif ini tergantung sudut pandang. GAR menilai sikap kritis Din Syamsudin pada pemerintah itu dari sudut pandang Din Syamsudin sebagai seorang PNS. Tentu saja, menolak fakta Pak Din adalah seorang PNS merupakan pengingkaran pada kenyataan.

Akan tetapi, fakta lain yang tidak boleh dilupakan adalah Din Syamsudin adalah seorang pemimpin umat yang terlalu sempit jika hanya dinilai dari sudut pandang sebagai seorang PNS saja. Maka di sinilah relevansi defining term tadi.

Baca Juga  Anak Muda: Sasaran Empuk Paham Radikalisme

Karena Pak Din adalah seorang pemimpin umat, maka sikap kritis Din Syamsudin pada pemerintah harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas, yaitu sebagai agamawan. Meskipun berada di luar sistem pemerintahan, agamawan sebenarnya memiliki peran penting dalam turut mengarahkan haluan negara.

Mari menengok pernyataan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin tentang hubungan antara kerusakan rakyat dengan kerusakan penguasa dan ulama’. Tentang kerusakan rakyat, al-Ghazali menyebutkan: ma fasadat al-raiyyah illa bifasadati al-muluk, wa ma fasadat al-muluk illa bi fasadi al-ulama; bahwa rakyat (atau negara) tidak akan mungkin mengalami kerusakan, kecuali para pemimpinnya rusak, dan tidak lah rusak para pemimpin kecuali dengan rusaknya para agamawan.

Formula ini sangat penting dan relevan dihadirkan dalam konteks Indonesia, yang meskipun bukan negara agama secara konstitusional, tetapi menempatkan hubungan agama dan agamawan dengan negara dalam posisi yang bersifat simbiotik. Pernyataan al-Ghazali itu menyiratkan bahwa pangkal kerusakan masyarakat, rakyat, dan negara justru para agamawan, yakni ketika para agamawan tidak lagi memainkan kontrol terhadap keberlangsungan negara dan pemerintahan.

Lebih lanjut, al-Ghazali menyebut secara spesifik tentang agamawan seperti apakah yang menjadi pangkal dari kerusakan itu. Fa fasadu al-ri’aya bi fasadi al-muluk wa fasadu al-muluk bi fasadi al-ulama’ wa fasadu al-ulama’i bi al-istila’i hubbi al-mali wa al-jahi, wa man istawla ’alaihi hubbu al-dunya lam yaqdir ala al-hisbati wa al-iradzali fa kaifa ala al-muluki wa al-akabir wa-Llahu al-musta’anu ’ala kulli hal.

Maka sesungguhnya kerusakan rakyat itu disebabkan oleh kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Rusaknya para ulama adalah karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Maka barangsiapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara-perkara yang besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal.

Jika menempatkan posisi Din Syamsudin dalam konteks agamawan yang berfungsi sebagai nasih al-muluk atau pemberi nasihat kepada para penguasa, maka sikap kritis Din Syamsudin terhadap negara dan pemerintah belakangan ini bisa ditempatkan. Akan tetapi, sudut pandang politik akan melihatnya secara berbeda dan melahirkan kesimpulan yang tidak sama.

Di sisi lain, laporan itu menyebut eksploitasi sentimen agama. Rasanya sulit difahami, jika menyebut Din Syamsudin mengeksploitasi sentimen agama. Sependek yang saya ketahui, Din Syamsudin tidak terlalu suka dikelompok-kelompokkan dalam kategori Islam A, Islam B atau Islam C, dan seterusnya.

Baca Juga  Perjalanan 100 Tahun Nahdlatul Ulama, Terus Berjalan Menuju Sang Pencipta

Namun, untuk kepentingan kejelasan dan dalam upaya menghindari kesemena-menaan tak berdasar dalam memasukkan seorang tokoh dalam kategori tertentu tanpa dasar-dasar ilmiah (karena kategorisasi pada umumnya adalah pekerjaan ilmiah), maka mau tidak mau memasukkan Din Syamsudin dalam satu kategori tertentu menjadi penting. Dalam konteks inilah lalu saya melihat Pak Din adalah seorang tokoh yang berjuang untuk moderasi Islam.

Melalui banyak inisiatif, Din Syamsudin adalah leading force dalam mempromosikan moderasi keberagamaan, khususnya Islam. High Level Consultation of World Muslim Scholars on Wasatiyyat Islam yang digelar pada tahun 2018 di Bogor merupakan bukti tak terbantahkan akan kepeloporan Pak Din dalam moderasi ini.

Tak hanya tingkat nasional, bahkan secara global Din Syamsudin memainkan peran itu. Selain sebagai presiden International Conference for Religion and Peace (ICRP), Pak Din juga tercatat sebagai salah satu anggota dewan pertimbangan King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID) yang berpusat di Austria.

Lembaga ini mengabdikan diri pada dialog dan perdamaian di antara berbagai perbedaan identitas, utamanya agama dan budaya. Maka sangat sulit diterima akal sehat, ketika seorang tokoh yang duduk dalam posisi penting di lembaga seperti itu lalu disebut melakukan eksploitasi sentimen agama.

KAICIID, di mana saya juga menjadi bagian di dalamnya sebagai international fellow, adalah sebuah lembaga yang justru bertujuan mengikis sentimen keagamaan yang terlalu kental, karena itu merupakan salah satu faktor lahirnya ketegangan dan konflik dengan basis identitas keagamaan. Dengan tujuan seperti itu, rasanya tak mungkin KAICIID akan mengambil seorang tokoh, jika tokoh tersebut terlibat dalam tindakan eksploitasi simbol agama.

Dengan melihat kontroversi yang berkembang ini, meskipun kata radikal tidak secara langsung ditujukan kepada Din Syamsudin, laporan itu memang memiliki potensi untuk melakukan penggiringan kepada label ”radikal.”

Tindakan seperti ini bisa disebut sebagai radikalisasi simbolik. Kembali kepada diskusi saya dengan Michele tentang batas konservatisme dan radikalisme di atas, maka ketika sebuah laporan yang berpotensi melakukan kekerasan secara simbolik kepada seseorang, dan telah memberikan akibat luas yang setara dengan kekerasan, pada dasarnya pada saat itulah radikalisasi simbolik telah terjadi.

Editor: Yusuf

37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds