Tauhid merupakan prinsip dasar iman di dalam Islam yang membedakan dirinya dengan segenap agama lain. Bahwa Allah itu esa, tidak berbilang, tidak jamak. Maka dari itu, muslim tegas menolak keyakinan agama lain mengenai Tuhan yang tiga, apalagi banyak, dan bahkan beranak-pinak.
Bagi mayoritas ulama, tauhid dalam satu sisi adalah persoalan yang tuntas. Tidak ada satu muslim yang dapat mengakui keislamannya tanpa penerimaan tauhid. Sehingga, shalat dan segenap ibadah itu ditujukan kepada Allah nan satu. Tidak kepada seorang manusia berkuasa atau makhluk lain.
Meski demikian sedikit yang tahu bahwa dari sisi makna, tauhid memiliki keragaman yang menyesuaikan kapasitas hamba-Nya. Ada mereka yang pada satu tingkatan memahami keesaan dan eksistensi Tuhan selaku sifat yang berbeda dari wujudnya. Sementara yang lain memahami bahwa, wujud, esa dan Tuhan adalah satu entitas.
Dasar Masalah
Problem pertama yang harus diatasi adalah orientasi dari iman itu sendiri. Disini dapat dibedakan dua pendekatan iman yang jamak. Pertama, iman esensial atau keyakinan kepada Tuhan sebagai dzat yang maha segala. Proposisi ‘Iman kepada Tuhan’ adalah manifestasi keimanan esensial. Pada jenis iman ini seseorang menyatakan persaksian ‘kepada’ esensi atau dzat Tuhan.
Iman ini keliru karena ia menerabas eksistensi Tuhan dan melihat esensi dari-Nya sebagai yang utama dan jelas. Kedua, eksistensi Tuhan atau Allah tidaklah menjadi bagian inti dari iman. Puncaknya, sifat-sifat Tuhan yang merupakan gambaran relatif dari sisi manusia itu kemudian menindih pengetahuan sejati tentang Tuhan.
Padahal gambaran-gambaran manusia itu, atau segala esensi yang mungkin di imaji bukanlah sesuatu yang nyata. Ia adalah cara pikiran manusia dalam membatasi dan mendefinisikan setiap individu atau identitas yang ada di realitas. Sementara Tuhan melampaui pikiran manusia yang sempit dan selalu bias oleh kefanaan mereka.
Maka jenis iman yang tepat adalah iman eksistensial. Ia diwakili oleh proporsi ‘iman tentang Tuhan’. Kata ‘tentang’ dipilih menggantikan ‘kepada’ karena penekanan pada eksistensi Tuhan yang maha luas, ketimbang kepada esensi artifisial Tuhan yang direka-reka oleh manusia. Pada jenis iman inilah akan dipahami bahwa Tuhan adalah wujud, pula sebaliknya.
Faktanya, wujud itulah esensi Tuhan. Bahwa wujud ialah yang segalanya, yang batasnya adalah wujud sendiri. Demikian juga Tuhan. Bahwa wujud itu hanya satu pada dirinya, dan segalanya bersumber pada wujud. Lagi-lagi itu juga Tuhan. Bahwa wujud bertingkat dari yang tergantung dan mungkin seperti pada segala makhluk hingga yang mandiri dan niscaya yang hanya berlaku pada Tuhan atau Allah.
Tauhid Aksidental
Sama seperti iman esensial, keyakinan keliru lain yang jamak dimiliki muslim adalah tauhid aksidental. Disini eksistensi (wujud) Tuhan dianggap sebagai sifat yang melekat pada substansi atau dzat Tuhan.
Lewat tauhid aksidental, seorang ateis mudah menembus dengan kritik logis sederhana. Bagaimana bisa Tuhan dilekati sifat wujud atau ada, jika dia sendiri tidak memiliki eksistensi sebelumnya? Sudah pasti hal ini bermasalah. Sifat atau aksiden membutuhkan wujud untuk berpijak. Maka, sesuatu harus wujud dahulu barulah segala sifat dapat melekat.
Melalui analisa yang seksama akan ditemukan bahwa yang mendasar di realitas itu adalah wujud (eksistensi). Maka, meletakkan wujud sebagai aksiden itu menjadi kekeliruan besar. Toh bagaimana yang mendasar justru bergantung kepada yang lain? Saat ia bergantung maka kemendasaran dari wujud akan batal. Padahal, mustahil ada yang lebih mendasar dari wujud.
Tauhid Esensial
Tauhid lain yang lebih canggih namun tidak kalah keliru adalah tauhid esensial. Artikulasi umum dari tauhid esensial adalah ‘dzat Allah itu satu’. Disini esensi Tuhan atau apa yang membedakan dia dengan entitas lain di realitas adalah pada ‘Tuhan hanya satu’.
Selintas bagi orang yang awam dan tidak memahami pokok-pokok metafisika akan melihat hal ini tidak problematis. Sebab itu perlu kritik dalam bahasa awam untuk mengatasi.
Coba kita amati setiap yang ada di realitas. Mereka semua juga satu. Penulis ini satu, pun Anda satu. Hape kita yang sama merk dan nomor seri juga masing-masing satu. Dua orang kembar identik sekalipun juga masing-masing satu. Maka, apa yang spesial dengan menjadi ‘satu’? Singkatnya, ‘Allah itu satu’ tidak mengangkat dia kepada derajat-Nya yang sejati, melainkan memadankan dia dengan ciptaan-Nya.
Dapat dimengerti bahwa tauhid esensial bermakna ‘Tidak ada Tuhan yang layak disembah selain Allah’. Masalahnya pengertian yang timbul dari tauhid esensial tidak mengatasi fakta bahwa segala entitas di dalam realitas memang satu pula. Sehingga, ketimbang menyatakan Allah sebagai Tuhan yang hak, para esensialis menista Tuhan melalui perserikatan diri dengan Tuhan dalam sifat ‘satu’.
Tauhid Filosofis atau Tauhid Eksistensial
Lantas bagaimana seharusnya kita bertauhid? Tauhid yang benar harus menyatakan Tuhan sebagaimana diri-Nya. Bahwa Tuhan itu adalah wujud. Hal ini telah jelas sebagaimana analisa sebelumnya. Pada Tuhan dan wujud kita menemukan keduanya merujuk kepada konsep yang sama dipikiran dan entitas yang sama di realitas.
Berikutnya kita temukan bahwa wujud itu sendiri satu. Secara makna, Jokowi wujud dan Anies wujud adalah tidak berbeda. Demikian pula entitas apapun yang diprediksi wujud tidak memiliki makna ‘wujud’ yang berbeda. Tentu yang dimaksud bukan wujud sebagai bentuk, melainkan wujud sebagai eksistensi.
Wujud itu satu atau esa juga kita mengerti dalam makna bahwa segalanya berada di dalam wujud. Apa yang di luar wujud adalah ketiadaan. Artinya wujud melingkupi segalanya dalam satu-kesatuan. Semesta jamak yang dibatasi oleh kevakuman merupakan hal yang mustahil ada.
Akhirnya, dapat kita terapkan kedua proposisi dari tauhid eksistensial. Pertama, Tuhan itu wujud. Kedua, wujud itu esa. Maka, kesimpulan logisnya adalah ‘Tuhan itu esa’. Komponen-komponen dari tauhid eksistensial inilah yang meneguhkan pemahaman yang sejati tentang keesaan Tuhan.
Penutup
Sayangnya memang teologi esensial dan aksidental merupakan pemaknaan tauhid yang dominan dalam teologi. Banyak muslim yang menganutnya dan gagal menemukan kekeliruan dari keduanya karena tidak memiliki dasar pengetahuan metafisika yang memadai.
Kelemahan ini membuat banyak muslim gagal mengatasi kritik kaum ateis atau dari agama lain. Sebabnya jelas karena muslim mengabaikan apa yang mendasar di realitas (yaitu wujud/ eksistensi) dan kemudian beralih kepada aksiden dan substansi yang bergantung dan relatif.
Editor: Soleh