Ramadhan tahun ini serasa berbeda bagi saya, bukan karena hal magis atau keajaiban tertentu, namun karena ini bisa jadi Ramadhan terakhir saya di Mesir. Ada perasaan campur aduk yang tak bisa dijelaskan dengan Ramadhan kali ini, antara bahagia karena tahun depan akan merasakan bulan Ramadhan di tanah air, atau perasaan sedih karena ini momen terakhir Ramadhan di Mesir. Terhitung sejak datang pada tahun 2020 awal, ini adalah Ramadhan kali kelima yang saya rasakan selama di Mesir.
Sore setelah Maghrib, sambil membaca buku tipis berjudul “al-Mujaddidun fi al-Islam” saya mendengarkan acara “Ihtifaliyyah dar-ifta al-Misriyyah li Isthidla’I Hilal Syahri Ramadhan Mubarak” acara yang judulnya panjang ini biasa disebut Sidang Isbat kalau di Indonesia. Saya hanya ingin mendengar ucapan dari Mufti Mesir yang tidak lebih dari 10 detik tentang kapan bulan Ramadhan akan dilaksanakan.
Syaikh Syauqi Allam -Mufti Mesir- akhirnya mengumumkan bahwa hari senin tanggal 11 maret 2024 adalah awal bulan Ramadhan. Hal pertama yang terlintas dalam otak saya, mau sahur apa ya nanti malam? Maklum harga-harga barang pokok naik semua, jadi harus hemat-hemat saat membeli bahan untuk sahur. Namun, saya segera bergegas siap-siap untuk melaksanakan salat tarawih pertama, ya sekalian abis pulang tarawih bisa beli makanan untuk sahur.
Al-Azhar dan Ramadhan
Turun dari rumah yang ada di lantai lima, saya mempercepat jalan agar segera sampai di masjid al-Azhar. Jalanan yang biasa saya lewati ini sering sepi dan lengang, namun malam ini jalanan ramai dengan warga Mesir dan warga asing seperti saya yang berlalu lalang. Suara klakson mobil dan bajai bersautan untuk memberi isyarat agar jalan yang sempit itu diberikan padanya, suara petasan dari anak-anak menambah keramaian malam ini. Jalanan yang cukup becek, serta teriakan orang mesir di jalanan juga menghiasi perjalananku menuju masjid al-Azhar.
Masjid al-Azhar tahun ini dikabarkan akan mengadakan banyak sekali kegiatan dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. Kegiatan tersebut bukan hanya kegiatan seremonial-formal pada umumnya, namun acara yang syarat akan manfaat kongkrit bagi penerimanya. Kabarnya, al-Azhar telah menyiapkan parsel sejumlah lima ribu setiap harinya untuk buka puasa para pelajar asing. Jika ditotal akan ada 150 ribu parsel selama bulan suci Ramadhan yang akan diberikan al-Azhar bagi pelajar asing.
Selain itu, setelah dzuhur akan ada kajian tematik di masjid al-Azhar yang akan diisi oleh para ulama’ al-Azhar, harapanya ini dapat memuaskan dahaga ilmu para pelajar di al-Azhar. Pada pukul dua siang, juga akan ada acara “Multaqa Fiqhiyyan Yaumiyyan” yang akan memberi wadah bagi siapa saja untuk bertanya tentang persoalan Fikih utamanya puasa. Menurut website resmi al-Azhar, pasca tarawih juga akan ada pengajian yang membahas persoalan kontemporer.
Al-Azhar sendiri diresmikan pada bulan Ramadhan tahun 361 Hijriyyah, pada masa dinasti Fathimiyyah. Hingga saat ini al-Azhar telah berusia 1.084 tahun, dan selama itu pula al-Azhar telah konsisten untuk menjadi tempat terbaik bagi para pelajar dari seluruh dunia.
Tarawih di Al-Azhar
Tepat saat takbir rakaat pertama salat Isya, aku mulai bergerak masuk melalui gerbang belakang masjid al-Azhar. Memang masjid ini terkenal punya banyak sekali akses masuk, menurut Su’ad Mahir Muhammad -Arkeolog Perempuan Mesir- ia menuliskan bahwa ada sembilan gerbang di masjid al-Azhar, dan semuanya dibangun oleh setiap penguasa. Meski begitu, tidak seluruhnya difungsikan untuk akses masuk, hanya ada beberapa saja gerbang saja seperti Gerbang Mazinayni yang dianggap gerbang asli dan dibangun sebagai akses masuk ke masjid al-Azhar pertama kali.
Gerbang tempat saya masuk malam ini, terletak di samping masjid al-Azhar, aksesnya cukup mudah buat saya yang memang tinggal di sekitar masjid al-Azhar. Gerbang ini berdekatan dengan jalan Muhammad Abduh, atau teman-teman mahasiswa lebih popular dengan toko buku bernama Dar al-Kutub. Saya bergegas masuk, dan menyisiri jalan yang penuh dengan manusia untuk mencari shaf yang masih kosong, saya menghitung shaf malam itu sekitar 14, dan di shaf ke 15 inilah saya berdiri untuk melaksanakan salat.
Sebelum sampai pada shaf ke 15 ini, saya geleng-geleng melihat al-Misykah-lentera- yang menghiasi masjid al-Azhar dengan warna putih terangnya malam itu, indahnya suasana masjid malam itu menambah kekhusyuan saya, ditambah dengan suara merdu dari imam dan suara menggema dari jamaah saat mengucapkan “Aamiin” menggema dan menjadi pengalaman spiritual yang sungguh luar biasa.
***
Di lama resmi al-Azhar juga telah dijelaskan bahwa Ramadhan pada tahun ini akan menghadirkan banyak sekali pembaca Al-Qur’an, ada 130 imam yang akan melantunkan ayat suci Al-Qur’an selama bulan Ramadhan tahun ini. 5 imam akan disiapkan setiap harinya untuk pelaksanaan salat Isya’ dan Tarawih.
Malam ini, tarawih akan dilaksanakan 23 rakaat, pelaksanaan tarawih yang cukup baru buat saya yang termasuk di golongan tarawih 11 rakaat -Muhammadiyah-, tapi meski 23 rakaat, ternyata imamnya tidak membaca shalawat bareng-bareng diantara salatnya lo, disini saya merasa tersanjung ternyata cara ibadah Muhammadiyah juga terakomodir. wkwkwww.
Pelaksanaan tarawih berlangsung khidmat, dan ada hal baru yang saya amati yaitu pergantian imam saat jeda salat. Imam diganti bukan tanpa sebab, setiap imam akan membacakan qiraat yang berbeda menurut riwayat masing-masing. Beginilah cara al-Azhar menjaga tradisi keislaman yang ada, dengan mengajarkan semua qiraat serta dengan sengaja menghidupkan pelaksanaan dari bacaan qiraat tersebut.
Shalat Isya hingga tarawih pertama, saya mendengar bacaan yang dilantunkan imam sama dengan yang saya dengar saat di Indonesia. Namun, mulai dari salat tarawih ke dua hingga 10, saya banyak mendengar cara baca yang tidak saya dengar sekalipun dari imam masjid di Indonesia. Seperti huruf mim dalam surat al fatihah yang dibaca pendek, atau penyebutan kata musa menjadi muse, serta pembacaan alaykum menjadi alaykumu, dll.
Setelah salat tarawih, Imam melanjutkan dengan salat witir dua rakat + 1 rakaat. Terhitung pelaksanaan salat tarawih malam pertama ini adalah sekitar dua jam 30 menit, mulai dari sekitar pukul 19.20 hingga 21.10. Waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan mushalla rumahku yang selesai tarawih sekitar 30 menit saja gak boleh lebih, kalau lebih dua menit saja pasti jamaah udah pindah salat di tempat lain yang lebih cepat.
Al-Azhar dan Ilmu Pengetahuan
Dari pelaksanaan salat tarawih pertama di bulan Ramadhan ini, saya mendapat pelajaran yang berharga bahwa al-Azhar al-Syarif yang telah berdiri 10 abad ini memiliki perhatian yang sangat besar pada ilmu pengetahuan. Jika mau, tentu al-Azhar tidak usah capek-capek menghadirkan 130 imam, cukup satu imam saja dengan bacaan qiraat yang sama hingga selesai pelaksanaan salat tentu lebih simpel. Namun, al-Azhar tidak demikian, cara salat yang telah saya ceritakan tadi, justru akan menjadi pendidikan berharga bagi jamaah di situ termasuk saya.
Saya menganggap salat malam ini adalah salat yang sangat ilmiyyah sekali, karena dengan pelaksanaan tarawih ini saja, saya bisa membayangkan betapa luasnya khazanah keislaman, bahkan untuk membaca kitab sucinya saja ada banyak sekali riwayat. Artinya agama yang saya anut ini memiliki perhatian yang sangat luar biasa pada ilmu, yang awalnya saya hanya diajari baca iqro’ oleh bapak saya sebagai bekal untuk bisa baca Al-Qur’an. Ternyata, lebih dari itu, bacaan Al-Qur’an memiliki keragaman yang absah dan al-Azhar mengenalkannya pada saya. Pengalaman yang luar biasa!.
Editor: Soleh