Perspektif

Moderasi Beragama Al-Azhar

3 Mins read

Beberapa hari lalu, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan, Universitas Al-Azhar Kairo Mesir berusia 1080 tahun. Universitas Al-Azhar yang resmi berdiri pada hari Jum’at tanggal 7 Ramadhan 361 H atau tanggal 22 Juni 972 M, disebut sebagai universitas tertua di dunia. Eksistensi dan kontribusi pemikirannya diakui di dunia Islam. Terutama tentang moderasi beragama di Al-Azhar.

Moderasi Beragama Al-Azhar

Salah satu pemikiran Al-Azhar yang cukup sentral adalah tentang moderasi beragama atau Islam wasathiyyah. Sebagai alumnus dari Universitas Al-Azhar, saya ingin sharing dalam catatan pendek ini refleksi saya mengenai konsep dan praktek wasathiyyah Al-Azhar, sejauh yang saya alami dan amati selama 4 tahun studi disana.

Universitas Al-Azhar, yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah (Pemerintahan ini menganut Syiah Ismailiyah) pada abad ke-10 M ini, merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam terkemuka di kalangan Muslim Sunni di berbagai belahan dunia. Di awal berdirinya, Al-Azhar hanyalah sebuah zawiyah (pojok) untuk kajian keIslaman di Mesjid Al-Azhar.

Saat ini Al-Azhar telah menjadi kiblat ilmu keIslaman, bahkan menjadi referensi utama wacana keIslaman global. Setiap tahun Al-Azhar menerima sekitar 30.000 mahasiswa asing yang datang dari berbagai negara. Mereka datang ke kampus ini untuk menimba ilmu pengetahuan agama. Sebagian besar dari mereka bertujuan untuk menjadi ulama di negara masing-masing.

Menjadi bahan renungan yang menarik mengenai bagaimana Al-Azhar sebagai institusi keIslaman tradisional bisa menjadi destinasi studi yang paling populer dan menarik minat puluhan ribu mahasiswa asing setiap tahunnya dalam rentang waktu lebih dari 11 abad. Waktu yang sangat panjang!

Upaya Strategis

Hal ini pasti membutuhkan pemikiran, ideologi dan visi yang matang dalam menjaga keberlangsungan kualitas sebuah instusi pendidikan. Belum lagi, membayangkan bagaimana upaya strategis Al-Azhar membentuk perspektif Islam wasathiyyah puluhan ribu mahasiswa yang beragam latarbelakangnya ini.

Baca Juga  Peneguhan Moderasi Islam ala Muhammadiyah

Sejauh yang saya alami, Universitas Al-Azhar tidak menyeleksi calon mahasiswanya berdasarkan latar belakang paham keagamaan atau madzhab keagamaan tertentu. Semua yang berminat untuk belajar di Al-Azhar diterima secara terbuka, selama memenuhi persayaratan akademik seperti bahasa Arab dan hafalan Al-Qur’an.

Mahasiswa Al-Azhar adalah perpaduan dari banyak latar belakang keagamaan seperti Sunni, Syiah, Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya. Selain itu, Al-Azhar tidak pernah memberlakukan penyeragaman kepada para mahasiswa dalam cara berpikir, berperilaku dan cara berpakaian.

Di kampus ini, para mahasiswa disuguhkan dengan materi kuliah yang mencakup berbagai madzhab dan aliran pemikiran. Para dosennya berasal dari berbagai latar belakang madzhab keagamaan. Ekspresi pemikiran, perilaku dan cara berpakaian mahasiwa Al-Azhar sangat majemuk. Keterbukaan semacam ini mendukung terpeliharanya identitas budaya para mahasiswa.

Maka, cukup mudah mengenali asal negara para mahasiswa asing di Al-Azhar dari cara berpakaiannya. Dengan kata lain identitas budaya dari negara asal masing-masing mahasiswa tidak luntur, karena tidak diseragamkan oleh Al-Azhar. Padahal, sebagai pemegang otoritas keagamaan yang sangat disegani, Al-Azhar bisa saja memberlakukan aturan tunggal dan men’disiplin’kan para mahasiswanya.

Nilai Penting Wasathiyyah

Nilai penting dalam beragama yang dikembangkan oleh Al-Azhar adalah wasathiyyah (moderatisme/moderasi). Wasathiyyah kerap diterjemahkan dalam berbagai kata seperti middle-way, moderatism, centrism, tidak radikal atau ekstrim. Konsep wasathiyyah Al-Azhar hadir, sebagai alternatif dari corak keislaman yang puritan.

Corak puritan dalam bidang ibadah dan sosial seperti yang berkembang dalam Wahabisme (varian Salafisme yang berkembang di Arab Saudi). Di saat bersamaan, konsep tersebut juga menjadi penyeimbang dari militansi Ikhwanul Muslimin yang merupakan representasi Islam politik atau Islamisme yang ingin membawa agama ke dalam kehidupan negara.

Baca Juga  Sekularisme Prancis: Kritik Terhadap Agama Dilindungi Hukum

Harus diakui bahwa konsep wasathiyyah mengandung beragam persepsi di masyarakat Indonesia. Sebagian menganggap konsep ini menampilkan Muslim yang longgar karena fleksibilitasnya dalam memahami dan mengimplementasikan pesan agama. Karena itu seringkali wasathiyyah disamakan dengan Islam yang liberal. Apa sebenarnya makna wasathiyyah yang dikonseptualisasi oleh Al-Azhar?

Menurut Syeikh Al-Azhar, Ahmed Tayeb, konsep wasathiyyah Al-Azhar terletak pada pendekatannya yang netral dan tidak ekstrim; penghormatannya pada ragam dan perbedaan pendapat dalam menyikapi sebuah wacana keagamaan; dan upayanya dalam ikut melawan ektrimisme, radikalisme dan terorisme.

Manhaj ini juga dikuatkan oleh Syeikh Al-Azhar dalam Dokumen Al-Azhar Januari 2011 yang memuat prinsip-prinsip reformasi Arab pasca Arab spring. Di antara prinsip-prinsip tersebut adalah: mendukung negara demokratis dan konstitusional; menghargai kebebasan pendapat dan kebebasan beragama/berkeyakinan; menghormati hak-hak perempuan dan anak; serta melawan intoleransi beragama dalam bentuk apapun.

Karakteristik Wasathiyyah Islam

Di antara karakteristik wasathiyyah Islam yang menjadi platform universitas Al-Azhar, adalah: Pertama, adanya representasi pemikiran 4 madzhab sunni (Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi)  yang seimbang dalam kurikulum Al-Azhar.

Al-Azhar lebih mengedepankan penguasaan terhadap perdebatan keilmuan dalam 4 madzhab ini, ketimbang taqlid kepada hanya satu madzhab. Tentu ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan sunni Muslim yang menolak kecenderungan penafsiran yang ketat dan kaku.

Kedua, wasathiyyah Al-Azhar terkait erat dengan sikap toleransi dan kesediaan untuk berdialog. Al-Azhar misalnya, menganjurkan untuk toleransi dalam berinteraksi dengan ragam pemikiran keIslaman termasuk Syiah dan tasawuf, dan memberikan ruang untuk mengekplorasi pemikiran Salafi dan ikhwanul Muslimin. Juga kesediaan berdialog dan hidup berdampingan secara harmonis dengan Kristen Koptik Mesir.

Ketiga, menghindari ekstremisme (tasyaddud) dalam pemikiran. Al-Azhar sangat terbuka dan memakai pendekatan yang netral dalam menyikapi ragam pemikiran keIslaman. Bagi Al-Azhar, ada hal positif jika muncul ragam pandangan yang berbeda bahkan kontras dalam satu wacana keIslaman. Al-Azhar mengajarkan mahasiswanya untuk mengapresiasi ragam dan perbedaan pendapat ketika membaca teks-teks keIslaman.

Baca Juga  Mu'tazilah: Warisan Intelektual Islam yang Masih Relevan untuk Anak Muda

Termasuk, meskipun Al-Azhar memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok Salafi dan Ikhwanul Muslimin, tetapi Al-Azhar memberikan kesempatan yang sama terhadap para dosennya yang memiliki pandangan Salafi atau berafiliasi ke Ikhwanul Muslimin untuk mengajar di kampus tersebut.

Editor: Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *